Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perihal Kehilangan

29 Agustus 2019   10:36 Diperbarui: 29 Agustus 2019   10:39 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam sebuah perjalanan kehidupan, seseorang---kita akan mendapati sebuah tangga yang itu menaik atau menurun. Sama halnya dengan emosi seseorang---bisa naik dan turun. Pertanyaannya, mengapa hal itu terjadi?

Sore kemarin, ada hal yang tak terduga saya rasakan. Saya marah, tidak. Saya kesal, tidak. Lalu apa? Luapan sering membuncah, tersadar ada berontak jiwa, berontak rasa, yang entah saya tidak tahu bagaimana mulanya. Sebagai seorang wanita, kehilangan seseorang adalah hal paling tak diinginkan. Termasuk saya. seperti tokoh-tokoh dalam buku yang pernah terbaca. Bagaimana seorang wanita yang ditinggal kekasihnya, suaminya, ayahnya, mereka akan mengalami hal terpuruk sekalipun.

Bukan tanpa alasan emosi tak berwujud, tak berbentuk itu. semua sadar, saya sadar, dan engkau sadar. Betapa rasa kehilangan adalah puncak dari tanda cinta. Namun, perlu diketahui, masih ada puncak lagi tanda cinta, yakni cemburu.

Cemburu? Saya rasa kita pernah mengalami. Wajar. Itu wajar. Kita manusia yang dibekali kekurangan, baik itu segi fisik dan batin. Tentunya, cemburu batinlah yang paling berat.

Kehilangan. Rasanya saya sulit menuliskan, menorehkan tentang kehilangan karena telah hilang. Lalu apa yang hendak ditulis. Sebagai makhluk sosial, saya sadar, kehilangan betapa berat dirasa. Karenanya, jangan dirasa, jangan dipikirkan, nanti akan stress sendiri.

Betapa, aku ingin berbicara jujur tentang semuanya. Tentang jiwa, tentang rasa yang saya alami, dan tentunya kalian pun demikian. Tatkala kehilangan, coba sejenak mengulang waktu pada momen kehilangan, kita butuh yang namanya tiang, sandaran, sebagai pelabuhan. Terkarena emosi yang naik-turun, sering kita alami siapa yang hadir, siapa yang mendekat atau terdekat adalah tiangan, adalah sandaran, adalah pelabuhan. Inilah yang membuat seseorang kacau.

Saya mengalami hal itu, mereka---orang terdekat adalah pelabuhan. Tempat untuk berlabuh, menumpahruahkan segala bentuk rasa yang sebenarnya tidak bisa dituturkan, digambarkan, begitu pula dijelaskan. Memaknai pelabuhan, rasanya begitu jahat terkarena mereka yang berlabuh belum bisa dipastikan nyata. Dan menyedihkan bagi pelabuhan, semisal saja ia begitu tulus, dan rela menjadi pembuangan terakhir bagi pelaku kehilangan.

Kehilangan. Sekali lagi berat untuk dirasa. Jangan rasakan!

Kehilangan. Sekali lagi berat untuk dipikirkan. Jangan dipikirkan!

Bangkit, ada cahya ada nur di depan. Tinggal melangkah, melupakan semunya, meski tahu musuh terberat adalah cinta dari masa lalu, entah itu cinta seperti apa.

Saya mengerti, saya memahami, dan saya menyadari, betapa kehilangan bukanlah yang kita mau. Sementara palabuhan yang benar adalah mereka yang rela, tulus, dan ikhlas menjadi wadah, menjadi tempat berlabuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun