Mohon tunggu...
Suci Ayu Latifah
Suci Ayu Latifah Mohon Tunggu... Guru - Mahasiswa

Satu Tekad Satu Tujuan

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menaikkan Iklim Literasi Sekolah

13 Desember 2018   18:08 Diperbarui: 13 Desember 2018   18:10 424
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salah satu media kita, edisi 20 Oktober 2018, menurunkan sebuah berita yang menarik. Berita berjudul Antusiasme Penulis Pacu Geliat Literasi, merupakan dorongan besar terhadap kepedulian membangun dan menumbuhkembangkan gerakan literasi dengan karya dan karya.

Anugerah literasi merupakan alih-alih memacu penulis untuk bergelut di dunia literasi. Sebanyak 1.135 karya tulis dari peserta literasi dengan berbagai latar belakang, seperti pegiat literasi di akar rumput, guru, dan pegawai negeri sipil.

Bukan karena apa, mengingat literasi adalah roh kehidupan. Tanpa literasi raga hanyalah simbolis yang diada-adakan daripada tak ada. Sayembara cipta karya tulis sebagai bahan bacaan untuk siswa sebagai wujud program peningkatan kemampuan literasi bangsa.

Seorang penulis Inggris, W.S. Gilbert berujar, "Hidup adalah lelucon yang baru saja dimulai". Membaca ulang ungkapan tersebut, mengingatkan literasi dianggap sebagai komedi di tengah gencarnya digital teknologi. Namun jangan salah, justru adanya literasi seseorang akan terbelalak dan muncullah kesadaran diri; sadar atas ilmu pengetahuan, sadar atas sosialitas, atas dasar komunitas, hingga sadar atas solidaritas.

Iklim Literasi Sekolah

Gerakan literasi di bidang pendidikan, sekolah sudah lama diterapkan. Alih-alih adanya kewajiban membaca buku non-pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Beberapa sekolah wilayah Jawa Timur seperti Kediri, Sidoarjo, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Ngawi, Lamongan, Lumajang, Pamekasan, dan wilayah lainnya sudah melakukan kawajiban tersebut.

Pertanyaannya, bagaimanakah dengan literasi guru? Dalam satu edisi, berita di atas mampu menjawab teka-teki bagaimana guru terhadap literasi. Di mana masih ada guru-guru kita yang belum terbiasa membaca dan menulis.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy berujar, bilamana kurikulum K-13 mengarah kepada peningkatan kemampuan literasi. Peningkatan ini tidak saja tertujukan kepada siswa semata. Akan tetapi, peran seorang guru atau tenaga pendidik perlu ditingkatkan.

Fenomena guru masa kini, telah menjadi bom di bidang pendidikan kita. Bukan bermaksud apa. Sebagai suri tauladan ketika seorang guru meminta siswanya membaca, guru pun harus demikian. Dengan begitu, nantinya akan ada sesi sharing dan diskusi bacaan antarpembaca. Dengan cara itulah, seorang pendengar sudah sama halnya seorang pembaca. Yaitu mengetahui isi dan kedalaman buku.

Sesungguhnya, pembelajaran itu ada empat pilar menurut UNESCO (1996), yaitu learning to think (belajar berpikir), learning to do (belajar berbuat), learning to be (belajar), dan learning to live together (belajar hidup bersama). Ke empat itu pada dasarnya tergolong kemampuan literasi (literasi skill).

 Literasi adalah sarana yang amat penting dan tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran guru. Artinya, guru yang mau berkecimpung di dunia literasi, akan memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Serta penguasaan literasi yang mumpuni untuk meningkatkan kapasitas mengajar. Terlebih ketika seorang guru memiliki karya, seperti opini, karya tulis, hingga produk macam buku.

Mengutip I Nyoman Tingkat dalam Sastra di Mata Guru (2013), pengembangan profesi guru dapat diwujudkan dengan menunjukkan adanya upaya dan hasil pengembangan profesi yang dilakukan guru, baik berupa buku, artikel, reviwer buku, maupun laporan penelitian.

Kekaryaan dalam rangka pengembangan profesi bagi guru, khususnya adalah motivasi memutus anggapan guru rabun literasi. Sebab, kemampuan dan kekreatifan guru dalam mengajar dapat dilihat apa yang dibaca dan ditelateni.

Produk Literasi Sekolah

Semarak literasi, sebenarnya sudah dikondisikan cukup baik di bidang pendidikan Indonesia. Hanya saja konsistensi dalam mengembangbiakkan iklim literasi, baik pada siswa dan guru kurang dikomunikasikan. Secara sadar, literasi bagi kehidupan amatlah penting. Kendati itu, gerakan literasi diwajibkan ada dan ditekankan pada kurikulum sekolah.

Perihal literasi pada siswa dinilai sudah nampak dipermukaan. Artinya, dibandingkan sebelumnya mengalami peningkatan yang dratis. Hal itu ditandai, banyaknya generasi muda yang mulai eksis di dunia kata. Mereka melahirkan gagasan dan pemikiran baru dalam menghadapi tantangan dunia.

Sebagaimana contoh gerakan sekolah literasi gratis yang didirikan tahun 2016 di Kota Ponorogo, kini melahirkan banyak penulis muda. Karya-karya yang dibukukan, di antaranya cerpen, esai, dan artikel ilmiah. Bukti nyata itu, adalah wujud keberhasilan dari pembiasaan iklim literasi.

Mengutip Ali Bin Abi Thalib, "Ikatlah ilmu dengan menuliskannya" menjadi pembiasaan literasi yang dapat dipratikkan. Pembiasaan literasi membaca dan menyatat hal penting menjadi bekal melatih kepekaan kita mengikuti perkembangan zaman.

Sudah pasti, produk literasi sekolah mampu melejit hebat dengannya pembiasaan tersebut. Namun, kaitannya hal itu pendampingan perlulah. Baik secara personal maupun komunitas.

Baiknya iklim literasi di sekolah akan berwarna terang dengan adanya kekaryaan dari berbagai pihak. Tidak saja di wajibkan pada siswa, tetapi juga guru. Misal dengan program satu guru satu buku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun