Salah satu media kita, edisi 20 Oktober 2018, menurunkan sebuah berita yang menarik. Berita berjudul Antusiasme Penulis Pacu Geliat Literasi, merupakan dorongan besar terhadap kepedulian membangun dan menumbuhkembangkan gerakan literasi dengan karya dan karya.
Anugerah literasi merupakan alih-alih memacu penulis untuk bergelut di dunia literasi. Sebanyak 1.135 karya tulis dari peserta literasi dengan berbagai latar belakang, seperti pegiat literasi di akar rumput, guru, dan pegawai negeri sipil.
Bukan karena apa, mengingat literasi adalah roh kehidupan. Tanpa literasi raga hanyalah simbolis yang diada-adakan daripada tak ada. Sayembara cipta karya tulis sebagai bahan bacaan untuk siswa sebagai wujud program peningkatan kemampuan literasi bangsa.
Seorang penulis Inggris, W.S. Gilbert berujar, "Hidup adalah lelucon yang baru saja dimulai". Membaca ulang ungkapan tersebut, mengingatkan literasi dianggap sebagai komedi di tengah gencarnya digital teknologi. Namun jangan salah, justru adanya literasi seseorang akan terbelalak dan muncullah kesadaran diri; sadar atas ilmu pengetahuan, sadar atas sosialitas, atas dasar komunitas, hingga sadar atas solidaritas.
Iklim Literasi Sekolah
Gerakan literasi di bidang pendidikan, sekolah sudah lama diterapkan. Alih-alih adanya kewajiban membaca buku non-pelajaran selama 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Beberapa sekolah wilayah Jawa Timur seperti Kediri, Sidoarjo, Ponorogo, Madiun, Nganjuk, Ngawi, Lamongan, Lumajang, Pamekasan, dan wilayah lainnya sudah melakukan kawajiban tersebut.
Pertanyaannya, bagaimanakah dengan literasi guru? Dalam satu edisi, berita di atas mampu menjawab teka-teki bagaimana guru terhadap literasi. Di mana masih ada guru-guru kita yang belum terbiasa membaca dan menulis.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy berujar, bilamana kurikulum K-13 mengarah kepada peningkatan kemampuan literasi. Peningkatan ini tidak saja tertujukan kepada siswa semata. Akan tetapi, peran seorang guru atau tenaga pendidik perlu ditingkatkan.
Fenomena guru masa kini, telah menjadi bom di bidang pendidikan kita. Bukan bermaksud apa. Sebagai suri tauladan ketika seorang guru meminta siswanya membaca, guru pun harus demikian. Dengan begitu, nantinya akan ada sesi sharing dan diskusi bacaan antarpembaca. Dengan cara itulah, seorang pendengar sudah sama halnya seorang pembaca. Yaitu mengetahui isi dan kedalaman buku.
Sesungguhnya, pembelajaran itu ada empat pilar menurut UNESCO (1996), yaitu learning to think (belajar berpikir), learning to do (belajar berbuat), learning to be (belajar), dan learning to live together (belajar hidup bersama). Ke empat itu pada dasarnya tergolong kemampuan literasi (literasi skill).
 Literasi adalah sarana yang amat penting dan tepat untuk meningkatkan kualitas pembelajaran guru. Artinya, guru yang mau berkecimpung di dunia literasi, akan memiliki kemampuan intelektual yang luar biasa. Serta penguasaan literasi yang mumpuni untuk meningkatkan kapasitas mengajar. Terlebih ketika seorang guru memiliki karya, seperti opini, karya tulis, hingga produk macam buku.