Tidak ada jawaban.
"Man...!" seru Sumiati dengan nada tinggi. Ia mulai marah. Wajahnya memerah.
Masih sama, tidak ada jawaban. Berkali-kali ia memanggil anaknya, Irman. Sumiati tidak menyerah. Ia kembali berteriak-teriak hingga membangunkan Ayahku yang tertidur di sofa. Beberapa setelah itu, ia terdiam menghadap ke depan dengan wajah terlipat, tepat pandangannya pada jalanan besar di depan sana.
Tiba-tiba, sumiati berdiri dan berlarian. Sesekali ia pun berteriak menyebut nama anaknya 'Man' ketika ada seorang anak laki-laki melintang di matanya.
Sumiati bertingkah. Ia sama sekali tidak menghiraukan bajunya terbuka, hingga nampaklah palung dada bergelombang itu. Kaki tanpa alas. Tak hentinya berlari melawan panas maupun hujan. Dari pagi hingga siang, kadang juga sore hingga terdengar bedug masjid ditabuh, ia baru bisa berhenti. Tidak ada satupun mampu mengendalikan tingkah Sumiati. Ibuku pun sering bosan dibuatnya.
Aku tahu persis gerak-geriknya yang aneh, manja pula setiap saat. Aku pikir-pikir tak pantas juga aku mengatakan demikian. Sumiati butuh kasih sayang. Sumiati butuh pendampingan. Sumiati butuh seseorang di hidupnya. Tekanan dan ujian hidupnya membuat ia seperti sekarang ini. Kerasnya kehidupan sudah dilahap mentah-mentah, habis. Bila saja aku berada diposisinya. Bisa jadi aku tak setabah, sekuat, dan senerima Sumiati.
Iba rasanya melihat tingkah Sumiati. Setiap hari pekerjaannya hanya: berteriak-teriak, berlarian, dan melamun di depan teras. Namun uniknya dari diri Sumiati, ketika hati dan pikirannya tenang, ia juga menyapu dan memasak, tapi itu sangat jarang.
Untung saja masyarakat sekitar mampu memahami kondisi Sumiati. Warga secara bergantian memberikan makanan dan memberi baju, serta merapikan rambutnya yang tinggal segelintir itu. Termasuk Ibuku. Suatu ketika, Ibuku berniat memandikannya. Sumiati rewel. Ia tidak mau menyentuh maupun terkena air. Justru ia berlari tanpa baju hingga jalanan besar. Bajunyadiangkat tinggi-tinggi, lalu diputar-putarkan di atas kepala. Wajahnya berbinar-binar. Senyumnya merekah ditambah gelagak tawanya nyaring menusuk telinga.
Hari itu, aku duduk di teras depan rumah sembari belajar menyongket. Sesekali mataku kuarahkan pada Sumiati. Miris. Ia seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Baginya hidup yang dijalani saat ini baik-baik saja seperti berjalan di atas angin. Namun, semua itu adalah sebaliknya. Antara sedih dan senang tidak ada bedanya.Â
Dalam larian Sumiati, tak jarang ia memanggilku. Aku hanya membalas dengan senyuman kecil. Kadang pula ia sempat menghampiriku, duduk bersama bercerita ketika hati dan pikirannya jernih.
"Itu! Di sana biasa Irman bermain kelereng," kata Sumiati menunjuk suatu tenpat, di bawah pohon cersen biasa anaknya bermain.