Asap putih tipis terbang melepaskan diri dari dua tungku di pekarangan rumah Sumiati.Â
Biasa orang di kampungnya menyapa dengan Sumi atau Ati. Hanya sesaat setelah embun pagi menguap, tungku-tungku batu bersusun itu telah membakar kuali seukuran tampah berisi racikan bumbu, kelapa yang sudah diperas, daging sapi, dan seperniknya.
Pagi itu, Sumiati hendak memasak rendang. Makanan kesukaan anaknya. Tangan lincah ke-ibuan dengan sigap menghaluskan bumbu rendang pada cobek yang terbuat dari batu. Wajahnya berbinar-binar.Â
Namun, sesekali Sumiati menghela napas berat beberapa waktu. Aku tidak tahu apa yang tengah ia rasakan ketika itu. Mungkin rasa lelah mulai menjalar di setiap ruas-ruas sendinya, sehingga tercipta punuk unta di balik baju tipis, sedikit kusam tak layak dipakai. Banyak jahitan di sana-sini. Mulai dari lengan baju, bahu kanan, jahitan samping, hingga kancing bajunya hilang satu per satu.
Rumah Sumiati bersebelahan dengan rumahku. Hanya saja berbatas lahan empon-empon miliknya. Jahe, kencur, lengkuas, temulawak, kunyit, semua ada di situ. Sebelah kanan rumahnya terdapat pohon cersen yang hampir menutupi rumah, karena begitu subur dan lebat pohon itu. Sejuk.Â
Di bawah pohon itu, biasa aku dan anaknya bermain bola kasti. Terkadang pula bermain masak-masakan dari kaleng susu diberi sedikit air, lalu potongan umbi ketela rambat kami masak dengan sederhana.
Kemudian, sebelah kiri rumah Sumiati, ada beberapa potongan bambu dan kayu bakar. Tak hanya itu, di belakang rumah juga terdapat beberapa tumpukan kayu bakar kering. Sengaja ia mengumpulkan kayu dalam stok banyak. Bukan untuk dijual atau sebagai pemandangan semata di gubuk tua itu. Namun, karena akan tiba musim hujan. Jadi Sumiati harus ada persiapan kayu kering dalam jumlah yang membeludak itu.
"Man, sudah siang. Bangunlah beri makan ayam-ayam, Kau!" Suara Sumiati melengking memecahkan kabut pagi.
Setiap pagi, ketika aku hendak mandi di belakang rumah. Sumiati selalu berteriak seperti itu. Meskipun tidak ada jawaban setiap paginya, tanpa lelah dan jemu Sumiati selalu berteriak demikian. Entah sadar atau tidak. Aku tidak tahu persis ketika itu. Akan tetapi, ketika itu ia dalam keadaan sadar. Bukan alam bawah sadarnya yang muncul seperti hari-hari sebelumnya.
"Man, bangun. Lihatlah ayam kau menangis minta jatah makanan!" kembali Sumiati berteriak suatu hari. Â Sama. Tidak ada jawaban. Tiba-tiba terdengar suara piring melayang keras pada lantai brbata.Â
Aku yang di depan kamar mandi, sontak terkejut. Aliran darahku seakan-akan mengepul di ubun-ubun, serasa akan meledak membanjiri daratan. Tangan serta kaki gemetaran beberapa saat. Tingkah Sumiati dari hari ke hari makin kelewatan. Bila saja ini terus berlanjut, besar kemungkinan barang-barang di rumahnya hancur sia-sia. Jangankan barang-barang kecil. Rumahnya pun bisa jadi dirobohkan.