Mohon tunggu...
Mbak Rini
Mbak Rini Mohon Tunggu... -

yuhuu...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titian Rindu 1 : Semburat Jingga di Cakrawala [Persembahan Perdana Seorang Komensianer]

6 Mei 2010   01:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Turun dari becaknya Pak Ratno sambil mengucapkan matur nuwun, Gadis kecil itu memasuki rumahnya. Jarak TK tempat ia bersekolah ke rumah hanya sekitar 1 km, tapi udara di kota pesisir Jawa Tengah memang panas, dan siang itu sinar matahari cukup terik. Ia ingin segera minum air dari kendi. Dilepasnya sepatu dan kaos kakinya. Ia rasakan keringatnya mengucur. Tanpa melepas tas mungil di pundaknya, ia menuju dapur. Hampir habis air dalam kendi itu ia teguk.

Terdengar suara Ibu memanggilnya, “nduk, ganti baju ndisik..”

Inggih, bu”, jawabnya.

Kemudian ia menuju kamarnya, ia lihat ibunya sedang menata baju-bajunya dan memasukkannya ke dalam tas.

Bade tindak pundhi  tho, bu ?”, tanyanya.

“Jakarta, nduk”.

Terdiam ia, tak mampu berkata apa-apa. Ia biarkan ibunya menata baju-bajunya.

-  - -

Di dalam bis, ia dan ibunya duduk di barisan depan. Selalu di barisan paling depan, tepat di belakang supir. Ibunya selalu mual jika duduk di belakang. Sambil memegangi tas koper merah ukuran kecil yang biasa dipakai ibunya untuk merias pengantin, diperhatikannya wajah ibunya yang kosong. Wajah wanita usia 35 tahun yang cantik dengan balutan baju berwarna biru tua motif bunga-bunga kecil. Sesekali ia melihat genangan air mata di sudut mata ibunya.

Gadis kecil itu tidak banyak bicara. Ia tahu bahwa ibunya sedang tidak ingin bicara. Sepanjang perjalanan sambil memakan permen lollipop warna-warni, ia bersenandung. Ibu gurunya tadi pagi mengenalkan sebuah lagu yang indah tentang kupu-kupu.

Perjalanan dari kotanya ke kota propinsi membutuhkan waktu 1 jam lebih. Ia senang melihat pemandangan di jendela. Melewati sawah, kebun, sungai dan rumah-rumah serta toko-toko. Jika ada plang nama toko, ia mengeja pelan-pelan huruf-huruf pada plang nama toko itu. Kakak sepupunya yang menjadi guru yang mengajarkan ia membaca, padahal masa itu tahun 80-an, jarang anak TK yang sudah diajarkan membaca.

-  -  -

Hari ini adalah hari pertamanya naik pesawat. Ia membaca tiket yang dipegang ibunya. Terlihat tulisan “Garuda Airways”. Ia mengikuti langkah kaki ibunya yang menggenggam tangan mungilnya. Ibunya meminta tas koper merah yang dipegangnya, namun ia bersikeras membawanya. Ada kebanggaan tersendiri yang dirasakannya saat memegang tas itu. Ia sering melihat ibunya merias pengantin. Pengantin yang wajahnya biasa-biasa saja bisa menjadi sangat cantik dengan sapuan kosmetik yang diulaskan ibunya.

Sesungguhnya ada perasaan takut saat tahu bahwa ibunya kali ini mengajaknya naik pesawat dan bukan naik kereta api seperti biasanya, namun ia tidak ingin membuat ibunya sedih. Mata kecilnya sering melihat ibunya menangis. Ia tidak pernah bertanya. Ibunya hanya mengelus lembut rambutnya setiap kali kedapatan menangis.

bade nengok Bapak nggih, bu ?”

Iyo nduk..”

Ia pegang erat tangan ibunya saat menaiki tangga pesawat. Pesawat itu sangat besar. Ia takut membayangkan kalau tiba-tiba pesawat itu jatuh.

Ibunya tahu kegalauan hatinya.

Dibisikinya gadis mungilnya, “nduk..iki pesawate Om Harno lho, ora usah wedhi”.

ndak iyo, bu..”.

Pertanyaan yang hanya dijawab senyum oleh ibunya. Seketika gadis kecil itu seakan pulih keberaniannya. Wajah ganteng Om Harno suami adik sepupu ibunya yang tinggal di Yogyakarta terbayang. Ia ingat Om Harno adalah seorang pilot. Di rumah Om Harno terpajang foto Om Harno sedang berada di belakang kemudi pesawat. Ia senang membayangkan bercerita tentang naik pesawatnya Om Harno kepada dik Bekti sahabatnya, yang juga merupakan keponakan Om Harno.

Ternyata naik pesawat tidak semenakutkan yang ia sangka, hanya pada saat pesawat lepas landas ia merasa takut karena bunyi mesin pesawat yang sangat keras. Ia terpukau melihat pramugari-pramugari yang sangat cantik. Salah satu pramugari menawarinya permen. Tanpa pikir panjang ia raup permen secakupan tangannya. Pramugari itu tertawa melihat tingkahnya. Senyum manis Pramugari itu secerah semburat jingga di cakrawala.

[caption id="attachment_134310" align="alignnone" width="300" caption="diunduh dari www.dagdigdug."][/caption]

Sejak hari itu ia ingin menjadi pramugari.

--  -

the past is never dead, it’s not even past

...to be continued...

catatan :

- matur nuwun : terima kasih

- nduk: panggilan kepada anak perempuan

- ndisik: dulu

- bade tindak pundhi  tho: mau pergi kemana sih

- bade nengok Bapak nggih: mau menengok bapak ya

- iki pesawate Om Harno lho, ora usah wedhi: ini pesawatnya Om Harno lho, tidak usah takut

- ndak iyo, bu: apa iya bu

[rawamangun, 06032010]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun