Mohon tunggu...
Mbak Rini
Mbak Rini Mohon Tunggu... -

yuhuu...

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Titian Rindu 1 : Semburat Jingga di Cakrawala [Persembahan Perdana Seorang Komensianer]

6 Mei 2010   01:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:23 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Perjalanan dari kotanya ke kota propinsi membutuhkan waktu 1 jam lebih. Ia senang melihat pemandangan di jendela. Melewati sawah, kebun, sungai dan rumah-rumah serta toko-toko. Jika ada plang nama toko, ia mengeja pelan-pelan huruf-huruf pada plang nama toko itu. Kakak sepupunya yang menjadi guru yang mengajarkan ia membaca, padahal masa itu tahun 80-an, jarang anak TK yang sudah diajarkan membaca.

-  -  -

Hari ini adalah hari pertamanya naik pesawat. Ia membaca tiket yang dipegang ibunya. Terlihat tulisan “Garuda Airways”. Ia mengikuti langkah kaki ibunya yang menggenggam tangan mungilnya. Ibunya meminta tas koper merah yang dipegangnya, namun ia bersikeras membawanya. Ada kebanggaan tersendiri yang dirasakannya saat memegang tas itu. Ia sering melihat ibunya merias pengantin. Pengantin yang wajahnya biasa-biasa saja bisa menjadi sangat cantik dengan sapuan kosmetik yang diulaskan ibunya.

Sesungguhnya ada perasaan takut saat tahu bahwa ibunya kali ini mengajaknya naik pesawat dan bukan naik kereta api seperti biasanya, namun ia tidak ingin membuat ibunya sedih. Mata kecilnya sering melihat ibunya menangis. Ia tidak pernah bertanya. Ibunya hanya mengelus lembut rambutnya setiap kali kedapatan menangis.

bade nengok Bapak nggih, bu ?”

Iyo nduk..”

Ia pegang erat tangan ibunya saat menaiki tangga pesawat. Pesawat itu sangat besar. Ia takut membayangkan kalau tiba-tiba pesawat itu jatuh.

Ibunya tahu kegalauan hatinya.

Dibisikinya gadis mungilnya, “nduk..iki pesawate Om Harno lho, ora usah wedhi”.

ndak iyo, bu..”.

Pertanyaan yang hanya dijawab senyum oleh ibunya. Seketika gadis kecil itu seakan pulih keberaniannya. Wajah ganteng Om Harno suami adik sepupu ibunya yang tinggal di Yogyakarta terbayang. Ia ingat Om Harno adalah seorang pilot. Di rumah Om Harno terpajang foto Om Harno sedang berada di belakang kemudi pesawat. Ia senang membayangkan bercerita tentang naik pesawatnya Om Harno kepada dik Bekti sahabatnya, yang juga merupakan keponakan Om Harno.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun