Mohon tunggu...
Mbak Day
Mbak Day Mohon Tunggu... -

A mother of two wonderful children. Dreaming to have a magical door to go where she wants

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluargaku

2 Oktober 2012   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:22 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari sudah hampir berganti. Aku melirik jam digital yang tergantung di atas pintu kamarku,  pukul 23:56.   Suara gemericik sisa air hujan yang turun dari atap genteng masih terdengar dari jendela kamarku yang tertutup rapat.  Aku masih belum bisa tidur.  Kucoba memejamkan mata lebih kuat lagi.... tidurlah... tiduurr.... Masih belum berhasil.  Suara-suara di dalam kepalaku masih terus terdengar bahkan semakin jelas bahkan mampu menampilkan tayangan gambar-gambar seperti sedang menyaksikan film bioskop. "Sialan...!" umpatku dalam hati. Ku ubah posisi tidur dengan memiringkan tubuh ke sebelah kiri... Gambar dan suara-suara itu malah semakin jelas dan keras.....


Sudah dua  bulan belakangan ini aku dibayangi oleh kejadian yang membuatku susah tidur.  Semua teman dan keluarga dekatku menyarankan agar aku melupakan saja kejadian itu dan melanjutkan hidup seperti sedia kala.  Ah, andai saja bisa semudah dan sesederhana itu.... Nyatanya, sampai saat ini, kejadian itu masih terus menghantui dan membekas di benakku.


Sejak diangkat menjadi Direktur Hukum dan Personalia di tempatku bekerja selama 3 tahun belakangan ini, kesibukanku terus bertambah.  Sebelumnya, aku adalah seorang mitra (partner) pada kantor pengacara yang cukup terkenal di Indonesia.   Sejak dulu aku memang gila bekerja bahkan cenderung memaksakan diri untuk bisa mencapai suatu target yang aku buat sendiri.  Ambisius.  Mungkin itulah kata yang tepat untuk menggambarkan kepribadianku dalam satu kata.


Perusahaan tempatku bekerja ini merupakan perusahaan induk yang memiliki banyak anak perusahaan dengan berbagai kegiatan usaha yang berbeda-beda.  Mulai dari kegiatan pertambangan, eksport-import, pabrik kimia, perkebunan, transportasi udara, hotel, telekomunikasi, media, investasi, sampai real estate.  Pemilik mayoritas di perusahaan adalah konglomerat besar di Indonesia dan perusahaan multinasional yang berasal dari salah satu negara di Eropa.  Hanya orang-orang terpilih yang bisa bekerja di perusahaan ini, apalagi sampai menduduki jabatan penting seperti Direktur di induk perusahaan yang membawahi puluhan anak perusahaan dengan berbagai kegiatan usaha.


Aku memang menyukai tantangan.  Spesialisasiku justru menyelesaikan berbagai masalah hukum korporasi agar dapat sejalan dengan rencana usaha yang menghasilkan keuntungan besar bagi perusahaan.  Berbagai transaksi bisnis berhasil aku selesaikan dengan baik berkat pengalamanku memainkan celah peraturan  yang berlaku dan memastikan bahwa transaksi bisnis yang dilakukan perusahaan tidak akan melanggar peraturan apapun.  Kebanyakan transaksi bisnis yang aku kerjakan melibatkan transaksi penggabungan usaha atau pengambilalihan perusahaan.  Tentu saja begitu, karena perusahaanku sangat aktif melakukan penanaman modal dengan mengambil alih perusahaan-perusahaan kecil dan menggabungkannya dengan perusahaan lain, atau menambahkan modal yang besar untuk mengembangkan usaha menjadi lebih besar.


Tiga bulan yang lalu, kepala bagian Personalia di tempatku bekerja, mengundurkan diri karena alasan kesehatan.  Sebagai Direktur yang langsung membawahi bagian Personalia, akupun kelabakan.  Sebelum menyetujui pengunduran dirinya, aku sudah memintanya untuk mencarikan pengganti.  Akan tetapi, sampai hari terakhir, pengganti itu belum aku dapatkan.  Semua kandidat yang mengajukan diri sepertinya kurang memiliki kemampuan yang memadai untuk bisa mengikuti irama kerjaku yang cepat.


Akhirnya, walaupun proses rekruitmen untuk mencari Kepala Bagian Personalia pengganti terus dilanjutkan, untuk sementara waktu, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh Kepala Bagian Personalia.  Biasanya, aku tinggal membaca laporan yang dia buat dan memberikan saran, revisi atau perbaikan untuk ditindaklanjuti oleh Kepala Bagian Personalia.


Pada saat yang bersamaan, terjadi restrukturusi di perusahaanku.  Tujuannya adalah agar setiap perusahaan di dalam grup perusahaan memiliki suatu bidang usaha yang lebih fokus dan sejalan dengan target grup secara keseluruhan.  Retsrukturisasi ini seharusnya sudah dilakukan sejak lama, tetapi terus tertunda karena terbentur masalah konstruksi hukum untuk transaksi pemindahan asset dan usaha dari satu perusahaan ke perusahaan lain agar terhindar dari pajak yang bertubi-tubi.   Sejak aku terlibat sebagai tim inti untuk membahas struktur transaksi restrukturisasi, kami berhasil menemukan konstruksi hukum yang tepat untuk diterapkan dalam program restrukturisasi yang sudah lama tertunda.


Salah satu dampak dari restrukturisasi tersebut adalah pengurangan karyawan, khususnya karyawan yang telah mendekati usia pensiun, atau sudah lama bekerja di perusahaan, tetapi keahliannya sudah tidak diperlukan lagi atau sudah tidak relevan dengan kegiatan usaha perusahaan.  Pemutusan hubungan kerja (PHK) ini tentu saja dibarengi dengan paket golden handshake yang cukup besar sebagai bekal bagi karyawan setelah berhenti bekerja.  Program pemutusan hubungan kerja itu dilanjutkan dengan program perekrutan karyawan baru yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan oleh perusahaan.


Sebagai Direktur yang membawahi bagian Personalia, saya mendapat tugas untuk menjadi 'corong' perusahaan dalam menyampaikan berita mengenai PHK tersebut.  Awalnya saya pikir ini adalah pekerjaan mudah, karena program yang akan saya sampaikan dibarengi dengan pemberian kompensasi yang lebih dari cukup kepada karyawan yang di PHK.  Ternyata, pekerjaan yang saya pikir mudah, berujung kepada sakit kepala dan mimpi buruk berbulan-bulan. Hal ini berawal ketika saya berhadapan dengan Pak Supeno, sosok seorang office boy berusia 55 tahun lebih yang sudah bekerja dan mengabdi di perusahaan kami hampir seumur hidupnya.  Dia mulai bekerja sejak usia 15 tahun.  Ketika itu, perusahaan masih dimiliki oleh pemilik yang lama, sampai akhirnya diambil alih oleh grup konglomerat internasional pemilik yang sekarang.  Ketika aku menyampaikan berita mengenai program PHK dengan paket PHK yang akan diberikan kepadanya, aku membayangkan bahwa reaksi Pak Supeno pasti akan sangat senang.


"Kalau Bapak setuju untuk mengambil pensiun dini, maka Bapak akan mendapatkan 60 kali gaji bulanan, ditambah dengan penghargaan masa kerja dari perusahaan.  Total uang yang akan Bapak dapatkan sekitar 1,5 milyar Rupiah".. kataku seraya menyodorkan kertas berisi rincian uang yang akan diterima oleh Bapak Supeno.


Pak Supeno diam.  Tidak ada reaksi atau gerakan apapun.  Sambil memandang nanar ke atas kertas yang aku sodorkan, tiba-tiba pundak Pak Supeno menggigil.... Dia menangis!  Aku mulai bingung.  Tapi kubiarkan saja Pak Supeno dengan tangisannya, sampai beberapa saat.


"Maaf ...  Pak Peno, Apakah ada yang ingin Bapak sampaikan kepada saya?" Aku mencoba membuka komunikasi.


"Terima Kasih neng... Bapak tidak tahu harus bagaimana...." Pak Supeno mulai bersuara dengan lirih. Masih terasa ada isakan yang tertahan di kerongkongannya, seolah ingin berlompatan keluar dan dengan sekuat tenaga tetapi terus ditahan oleh Pak Supeno.


"Apa yang membuat Bapak bingung? coba katakan aja, Insya Allah, saya bisa bantu Bapak, atau menjadi pendengar yang baik..".  Aku mencoba membuka jalan agar Pak Supeno mengutarakan isi hatinya.  Diam-diam, kupandangi sosok Pak Supeno yang kurus, dengan kulit agak gelap dan rambut sedikit botak.  Sosok ini sudah aku kenal sejak aku bergabung di perusahaan 3 tahun lalu.  Tidak ada yang tidak kenal dengan Pak Supeno, sang office boy yang legendaris. Semua karyawan, satpam, resepsionis gedung, tukang gorengan di jembatan penyebrangan sebelah kantor, sampai tukang parkir di gedung kantorku, semua mengenal Pak Supeno dengan baik.  Masih segar di ingatanku ketika hari pertama bekerja, Pak Supeno mendatangi ruanganku dan menawarkan minuman untuk disajikan di meja kerjaku.  Kopi pahit dan 2 liter air putih pasti sudah tersedia di ruanganku setiap hari beberapa menit setelah aku memasuki ruangan.  Jika sekretarisku tidak masuk, Pak Supeno pasti tidak lupa mengingatkanku untuk menelpon anak-anakku di rumah setiap jam 4 sore, untuk mengecek tugas sekolah mereka (ini memang kebiasaanku dan sudah menjadi tugas sekretarisku untuk mengingatkan karena aku sering lupa apabila terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan).  Belum lagi mengingat gaya bercanda Pak Supeno pada saat menemani anakku menggambar di ruang meeting manakala aku terhadang conference call mendadak sampai tengah malam. Ah, sosok ini ternyata begitu istimewa.  Bukan hanya aku, semua orang di kantor sangat menyayangi Pak Supeno karena perhatian dan dedikasinya yang luar biasa.


"Bapak ini bekerja disini sejak masih remaja. Bapak datang dari kampung.  Tidak punya orang tua dan tidak bisa apa-apa.  Karena kebaikan Pak Harun (pemilik perusahaan yang lama), Bapak diajak bekerja bantu-bantu disini sampai akhirnya Bapak bisa baca tulis, punya istri dan bekeluarga".  Pak Supeno kembali  bercerita di sela-sela helaan nafasnya yang dalam.


"Semua karyawan disini sudah seperti keluarga, anak, atau saudara buat Bapak.  Kalau perusahaan tidak mau menampung Bapak untuk bekerja disini lagi, maka Bapak akan kehilangan keluarga yang selama ini Bapak sayangi..." Pak Supeno berkata makin lirih.  "Apakah Bapak bisa tetap bekerja disini neng? ndak usah kasih uang sebanyak itu buat Bapak, karena Bapak sudah punya sawah dan ternak buat ngehidupin diri sendiri dan adik Bapak semata wayang di kampung.  Bapak ndak perlu apa-apa lagi, keluarga Bapak udah ndak ada semua (istri dan semua anaknya tewas tenggelam dalam kecelakaan kapal ferry tragis beberapa tahun yang lalu). Bapak ndak mau kehilangan keluarga lagi, Bapak ndak bisa ngebayangin hidup tanpa melayani orang-orang yang ada di kantor ini.  Tolong neng... biarkanlan Bapak terus bekerja disini, ndak usah digaji, tapi Bapak hanya minta agar  permintaan Bapak dipertimbangkan..".  Suara yang keluar dari mulut Pak Supeno semakin lirih dan menyayat hati.


Wajahku memucat mendengar permintaan Pak Supeno.  Kasus seperti ini belum pernah aku alami selama aku bekerja dan menangani berbagai masalah PHK. "Hhmmmm....." Aku mencoba menjawab.. Tetapi suaraku hilang ditelan angin.  Dengan susah payah dan sambil berpikir keras, aku mencoba berkomunikasi dengan Pak Supeno. "Walaupun Bapak tidak ikut serta dalam program PHK ini, usia Bapak sudah mendekati 56 tahun.  Beberapa bulan lagi, Bapak tokh tetap harus berhenti bekerja karena sudah memasuki usia pensiun sesuai Peraturan Perusahaan yang berlaku disini.  Mumpung ada program ini, menurut saya, sebaiknya Bapak ambil saja, karena kompensasi yang ditawarkan jumlahnya lebih besar dibandingkan Bapak menunggu sampai usia pensiun nanti. Uangnya bisa Bapak pergunakan untuk membeli sawah dan ternak tambahan lagi di kampung".  Aku mencoba menjelaskan sambil mencoba membasahi kerongkonganku yang kering.


"Bapak tidak perlu uangnya neng... Bapak hanya perlu bekerja, dan berada diantara anak-anak dan keluarga Bapak yang ada disini sampai ajal menjemput...." Pak Supeno menyelesaikan kalimatnya sambil menundukkan kepala.


"Wah, Bapak ini ada-ada saja... Tentu tidak bisa Pak.... itu tidak sesuai dengan Peraturan Perusahaan disini.  Lagipula, perusahaan akan dikenakan sanksi kalau ketahuan mempekerjakan karyawan usia lanjut, tidak digaji pula.." Aku menjawab sambil berusaha mencairkan suasana yang mulai melow.  Aku melanjutkan, "Begini saja Pak.  Saya akan coba bicarakan ini dengan Direksi, permintaan Bapak pasti akan saya sampaikan. Untuk sementara, karena penawaran untuk program ini hanya berlaku 1 bulan, saya sarankan agar Bapak tandatangani saja dulu.  Saya tidak bisa menjanjikan hasil apa-apa dari Rapat Direksi nanti, karena Pak Andi (Direktur Keuangan) baru kembali dari Canada bulan depan, setelah program ini berakhir.

"Tolong neng.. Bapak benar-benar minta tolong sanget..." kembali suara memelas Pak Supeno dengan wajah yang benar-benar sedih melintas dipelupuk mataku ketika aku mencoba memejamkan mata untuk tidur malam harinya bahkan sampai beberapa hari berikutnya. Luar biasa, ketulusan dan kasih sayang Pak Supeno kepada orang-orang di kantor yang sudah menjadi bagian dari hidupnya benar-benar telah berhasil membuat saya resah. Keinginan Pak Supeno itu sudah saya sampaikan ke Direktur Utama di perusahaan kami, dan keputusannya tentu saja diserahkan kepada saya, sebagai penanggung jawab utama untuk menangani masalah ini. Uang bukanlah masalah besar bagi perusahaan. Dengan meningkatnya produksi dan permintaan pasar saat ini, perusahaan sedang berada di titik tertinggi dalam pencapaian keuntungan.

Pagi itu aku sudah bersiap pergi ke kantor. Sejak semalam, aku berjanji kepada anak-anakku untuk mengantar mereka ke sekolah dan menemani mereka mengerjakan Pekerjaan Rumah pukul 6 sore hari. Anak-anakku berteriak kegirangan.. "Horeeee... Mama anter kita ke sekolah... Nanti sore Mama temani kita bikin PR ya Ma..." Senang sekali melihat mereka berteriak kegirangan.. senyuman mereka begitu lebar, dengan binar mata yang amat terang.. jauh lebih indah dibandingkan saat mereka mendapat kabar untuk diajak berlibur ke Amerika, Eropa atau ke tempat-tempat di belahan dunia manapun. Pada saat itu, aku baru menyadari bahwa anak-anakku membutuhkan aku sebagai ibunya untuk hadir menemani keseharian mereka. Kemana saja aku selama ini? mengapa aku tidak pernah menyadarinya? Ada rasa sesal yang sempat mengangguku sesaat, tetapi kemudian aku bertekad untuk tidak mau merasakan sesal itu lagi. Suamikupun hanya tersenyum dan mengecup keningku semalam sesaat setelah aku mengungkapkan janjiku untuk mengantar anak-anak. Seperti biasa, tidak banyak kalimat yang dia ucapkan, karena begitu mencintai dan memahami karakterku yang keras dan susah diatur.

Setelah mengantar anak-anakku ke sekolah, akupun segera meluncur ke kantor. Orang pertama yang ingin aku temui hari ini adalah Pak Supeno. Sang Office Boy yang telah berhasil mengubah cara pandangku tentang arti cinta, kasih sayang, dan rasa memiliki di dalam suatu keluarga. Pendidikannya boleh jadi amat jauh dibandingkan tingkat pendidikanku. Tapi justru dia lah yang mengajariku pelajaran yang amat berharga dalam hidup. Hari itu aku sudah siap dengan keputusanku mengenai status kepegawaian Pak Supeno. Aku berhasil meyakinkan Direksi bahwa tenaga Pak Supeno masih diperlukan untuk bekerja di perusahaan, tetapi mengingat usia pensiunnya, maka aku mengusulkan agar Pak Supeno tetap mengambil paket pensiun dini yang ditawarkan, dan selanjutnya mempekerjakan Pak Supeno kembali dengan status karyawan kontrak. Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku, karyawan kontrak tidak boleh melebihi 3 tahun dan harus diangkat menjadi karyawan tetap setelah lewat masa 3 tahun tersebut. Lagi-lagi, aku berhasil meyakinkan Direksi bahwa dengan rumusan kalimat di Peraturan Perusahaan yang ada saat ini, pengangkatan karyawan tetap yang berusia di atas 56 tahun dapat dilakukan oleh Perusahaan berdasarkan persetujuan Rapat Direksi. Dengan berbekal skenario itu, akupun siap bertemu Pak Supeno membawa kabar baik untuknya. Lebih dari itu, aku ingin berterima kasih kepada Pak Supeno atas 'pencerahan' yang telah ia berikan dalam hidupku. Aku sudah membulatkan tekad untuk berhenti bekerja dan merintis pekerjaan freelance dari rumah, agar aku bisa lebih dekat berada di tengah anak-anak dan suamiku. Aku tidak mau lagi terjebak dengan rutinitas deadline dan meeting yang tiada habisnya dari tahun ke tahun sampai akhirnya akupun tidak ingat kapan anak pertamaku mendapat menstruasi pertamanya, atau menemani anak keduaku di rumah sakit ketika tangannya sobek terinjak sewaktu bermain bola di sekolah, atau kehilangan kesempatan untuk mengibur anak keduaku yang amat bersedih karena kucing kesayangannya tertabrak motor di depan rumah. Aku selalu kehilangan setiap kejadian kecil maupun kejadian penting yang dialami anak-anakku. Cukup. hampir 20 tahun aku mengabdikan diri untuk perusahaan dan orang lain yang bahkan tidak pernah menghiburku disaat aku amat bersedih dengan kepergian ibuku, yang tidak tahu derita yang harus aku lewati melawan penyakit liverku yang semakin memburuk... semua kesedihan dan sakitku aku tumpahkan hanya kepada anak-anak dan suamiku di rumah. Merekalah orang pertama yang paling peduli dengan keberadaan senyum di bibirku. Kini giliranku untuk merangkul dan kembali kepada mereka....sebelum aku menyesal karena tidak memiliki kesempatan itu.

Aku tertegun di lobby kantorku ketika kulihat orang berkerumun sambil bertangisan. "Ada apa?" spontan aku bertanya kepada salah seorang rekanku yang sedang menangis berpelukan dengan rekan kantor yang lain. "Kita baru dapat kabar, Pak Supeno mengalami kecelakaan motor pagi ini. Motornya terseret truk dan nyawanya tidak tertolong...". Akupun lemas dan nyaris tidak bisa bernafas.... Inna Lillahi wa inna ilaihi Rojiun... Aku menyesal karena tidak sempat berterima kasih langsung kepada Pak Supeno. Tekadku semakin bulat... Tidak boleh ada penyesalan yang berikutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun