Mohon tunggu...
Mbak Day
Mbak Day Mohon Tunggu... -

A mother of two wonderful children. Dreaming to have a magical door to go where she wants

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Keluargaku

2 Oktober 2012   11:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:22 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


Pak Supeno diam.  Tidak ada reaksi atau gerakan apapun.  Sambil memandang nanar ke atas kertas yang aku sodorkan, tiba-tiba pundak Pak Supeno menggigil.... Dia menangis!  Aku mulai bingung.  Tapi kubiarkan saja Pak Supeno dengan tangisannya, sampai beberapa saat.


"Maaf ...  Pak Peno, Apakah ada yang ingin Bapak sampaikan kepada saya?" Aku mencoba membuka komunikasi.


"Terima Kasih neng... Bapak tidak tahu harus bagaimana...." Pak Supeno mulai bersuara dengan lirih. Masih terasa ada isakan yang tertahan di kerongkongannya, seolah ingin berlompatan keluar dan dengan sekuat tenaga tetapi terus ditahan oleh Pak Supeno.


"Apa yang membuat Bapak bingung? coba katakan aja, Insya Allah, saya bisa bantu Bapak, atau menjadi pendengar yang baik..".  Aku mencoba membuka jalan agar Pak Supeno mengutarakan isi hatinya.  Diam-diam, kupandangi sosok Pak Supeno yang kurus, dengan kulit agak gelap dan rambut sedikit botak.  Sosok ini sudah aku kenal sejak aku bergabung di perusahaan 3 tahun lalu.  Tidak ada yang tidak kenal dengan Pak Supeno, sang office boy yang legendaris. Semua karyawan, satpam, resepsionis gedung, tukang gorengan di jembatan penyebrangan sebelah kantor, sampai tukang parkir di gedung kantorku, semua mengenal Pak Supeno dengan baik.  Masih segar di ingatanku ketika hari pertama bekerja, Pak Supeno mendatangi ruanganku dan menawarkan minuman untuk disajikan di meja kerjaku.  Kopi pahit dan 2 liter air putih pasti sudah tersedia di ruanganku setiap hari beberapa menit setelah aku memasuki ruangan.  Jika sekretarisku tidak masuk, Pak Supeno pasti tidak lupa mengingatkanku untuk menelpon anak-anakku di rumah setiap jam 4 sore, untuk mengecek tugas sekolah mereka (ini memang kebiasaanku dan sudah menjadi tugas sekretarisku untuk mengingatkan karena aku sering lupa apabila terlalu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan).  Belum lagi mengingat gaya bercanda Pak Supeno pada saat menemani anakku menggambar di ruang meeting manakala aku terhadang conference call mendadak sampai tengah malam. Ah, sosok ini ternyata begitu istimewa.  Bukan hanya aku, semua orang di kantor sangat menyayangi Pak Supeno karena perhatian dan dedikasinya yang luar biasa.


"Bapak ini bekerja disini sejak masih remaja. Bapak datang dari kampung.  Tidak punya orang tua dan tidak bisa apa-apa.  Karena kebaikan Pak Harun (pemilik perusahaan yang lama), Bapak diajak bekerja bantu-bantu disini sampai akhirnya Bapak bisa baca tulis, punya istri dan bekeluarga".  Pak Supeno kembali  bercerita di sela-sela helaan nafasnya yang dalam.


"Semua karyawan disini sudah seperti keluarga, anak, atau saudara buat Bapak.  Kalau perusahaan tidak mau menampung Bapak untuk bekerja disini lagi, maka Bapak akan kehilangan keluarga yang selama ini Bapak sayangi..." Pak Supeno berkata makin lirih.  "Apakah Bapak bisa tetap bekerja disini neng? ndak usah kasih uang sebanyak itu buat Bapak, karena Bapak sudah punya sawah dan ternak buat ngehidupin diri sendiri dan adik Bapak semata wayang di kampung.  Bapak ndak perlu apa-apa lagi, keluarga Bapak udah ndak ada semua (istri dan semua anaknya tewas tenggelam dalam kecelakaan kapal ferry tragis beberapa tahun yang lalu). Bapak ndak mau kehilangan keluarga lagi, Bapak ndak bisa ngebayangin hidup tanpa melayani orang-orang yang ada di kantor ini.  Tolong neng... biarkanlan Bapak terus bekerja disini, ndak usah digaji, tapi Bapak hanya minta agar  permintaan Bapak dipertimbangkan..".  Suara yang keluar dari mulut Pak Supeno semakin lirih dan menyayat hati.


Wajahku memucat mendengar permintaan Pak Supeno.  Kasus seperti ini belum pernah aku alami selama aku bekerja dan menangani berbagai masalah PHK. "Hhmmmm....." Aku mencoba menjawab.. Tetapi suaraku hilang ditelan angin.  Dengan susah payah dan sambil berpikir keras, aku mencoba berkomunikasi dengan Pak Supeno. "Walaupun Bapak tidak ikut serta dalam program PHK ini, usia Bapak sudah mendekati 56 tahun.  Beberapa bulan lagi, Bapak tokh tetap harus berhenti bekerja karena sudah memasuki usia pensiun sesuai Peraturan Perusahaan yang berlaku disini.  Mumpung ada program ini, menurut saya, sebaiknya Bapak ambil saja, karena kompensasi yang ditawarkan jumlahnya lebih besar dibandingkan Bapak menunggu sampai usia pensiun nanti. Uangnya bisa Bapak pergunakan untuk membeli sawah dan ternak tambahan lagi di kampung".  Aku mencoba menjelaskan sambil mencoba membasahi kerongkonganku yang kering.


"Bapak tidak perlu uangnya neng... Bapak hanya perlu bekerja, dan berada diantara anak-anak dan keluarga Bapak yang ada disini sampai ajal menjemput...." Pak Supeno menyelesaikan kalimatnya sambil menundukkan kepala.


"Wah, Bapak ini ada-ada saja... Tentu tidak bisa Pak.... itu tidak sesuai dengan Peraturan Perusahaan disini.  Lagipula, perusahaan akan dikenakan sanksi kalau ketahuan mempekerjakan karyawan usia lanjut, tidak digaji pula.." Aku menjawab sambil berusaha mencairkan suasana yang mulai melow.  Aku melanjutkan, "Begini saja Pak.  Saya akan coba bicarakan ini dengan Direksi, permintaan Bapak pasti akan saya sampaikan. Untuk sementara, karena penawaran untuk program ini hanya berlaku 1 bulan, saya sarankan agar Bapak tandatangani saja dulu.  Saya tidak bisa menjanjikan hasil apa-apa dari Rapat Direksi nanti, karena Pak Andi (Direktur Keuangan) baru kembali dari Canada bulan depan, setelah program ini berakhir.

"Tolong neng.. Bapak benar-benar minta tolong sanget..." kembali suara memelas Pak Supeno dengan wajah yang benar-benar sedih melintas dipelupuk mataku ketika aku mencoba memejamkan mata untuk tidur malam harinya bahkan sampai beberapa hari berikutnya. Luar biasa, ketulusan dan kasih sayang Pak Supeno kepada orang-orang di kantor yang sudah menjadi bagian dari hidupnya benar-benar telah berhasil membuat saya resah. Keinginan Pak Supeno itu sudah saya sampaikan ke Direktur Utama di perusahaan kami, dan keputusannya tentu saja diserahkan kepada saya, sebagai penanggung jawab utama untuk menangani masalah ini. Uang bukanlah masalah besar bagi perusahaan. Dengan meningkatnya produksi dan permintaan pasar saat ini, perusahaan sedang berada di titik tertinggi dalam pencapaian keuntungan.

Pagi itu aku sudah bersiap pergi ke kantor. Sejak semalam, aku berjanji kepada anak-anakku untuk mengantar mereka ke sekolah dan menemani mereka mengerjakan Pekerjaan Rumah pukul 6 sore hari. Anak-anakku berteriak kegirangan.. "Horeeee... Mama anter kita ke sekolah... Nanti sore Mama temani kita bikin PR ya Ma..." Senang sekali melihat mereka berteriak kegirangan.. senyuman mereka begitu lebar, dengan binar mata yang amat terang.. jauh lebih indah dibandingkan saat mereka mendapat kabar untuk diajak berlibur ke Amerika, Eropa atau ke tempat-tempat di belahan dunia manapun. Pada saat itu, aku baru menyadari bahwa anak-anakku membutuhkan aku sebagai ibunya untuk hadir menemani keseharian mereka. Kemana saja aku selama ini? mengapa aku tidak pernah menyadarinya? Ada rasa sesal yang sempat mengangguku sesaat, tetapi kemudian aku bertekad untuk tidak mau merasakan sesal itu lagi. Suamikupun hanya tersenyum dan mengecup keningku semalam sesaat setelah aku mengungkapkan janjiku untuk mengantar anak-anak. Seperti biasa, tidak banyak kalimat yang dia ucapkan, karena begitu mencintai dan memahami karakterku yang keras dan susah diatur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun