"Nduk, bangun. Sudah waktunya sahur!"
Badan saya digoyang-goyang sama nenek, supaya cepat bangun untuk makan sahur. Tapi mata ini seolah lengket kayak ada lemnya. Rasanya kok barusan saja saya memejamkan mata eh kok sudah dibangunkan buat sahur. Akhirnya meski masih ngantuk dan malas banget, mau nggak mau saya harus beranjak dari tempat tidur.
Sembari mengintip jam di dinding.
Hah! Baru jam 1.30?
Padahal waktu sahur masih panjang banget sekitar 2 jam-an lagi. Tapi siapa yang berani menolak, kalau nenek sudah bilang "lebih baik bangun lebih awal daripada mepet-mepet".
Dengan mata yang masih ngantuk dan malas-malasan, saya mengambil air wudhu untuk menunaikan sholat tahajud. Setelah itu lanjut makan sahur yang sudah dipersiapkan nenek di meja makan. Makanpun tidak berlangsung lama. Paling cuma sekitar setengah jam.
Setelah itu tidur lagi? Tentu saja tidak!
Saya dan kakak harus belajar membaca Al Quran dengan dibimbing nenek sampai menjelang subuh. Sebenarnya saya sudah bisa membaca Al Quran, meski belum lancar banget. Tapi setiap bulan Ramadan, saya dan kakak ditarget nenek harus katam. Jadi sekaligus belajar tajwid dan cara pengucapan yang benar. Sambil menahan kantuk yang berat (dan kesel tentunya hahahaha), kami harus menghabiskan minimal 1 juz setiap harinya. Kadang sesekali nenek menegur cara membaca saya yang belum benar. Itu bisa di ulang-ulang sampai beberapa kali. Bahkan pernah saya sampai nangis lo, saking capek harus mengulang bolak balik hahahaha
Ketika adzan Subuh berkumandang, kami bergegas menuju langgar atau mushola untuk sholat berjamaah. Namanya Langgar Al Amin. Kebetulan letaknya persis ada di belakang rumah. Dilanjutkan dengan kuliah subuh, kurang lebih setengah jaman. Biasanya sambil dengerin kuliah subuh, saya dan kakak sudah setengah terkantuk-kantuk. Manusiawi juga sih, karena bangun dari jam 1.30 pagi. Padahal semalam baru tidur sekitar jam 9an karena setelah tarawih ikut pengajian remaja di komplek perumahan. Dan itu hukumnya wajib karena Namanya ngaji tadarusan. Yaitu ngaji rame-rame sampai katam malam itu juga. Tapi ada tujuan lain juga yaitu supaya anak-anak remaja dan yang mulai beranjak dewasa tidak menghabiskan waktu dengan hal-hal yang kurang tepat di bulan Ramadan ini.
Selesai Kuliah Subuh, saya mendapat tugas dari nenek yaitu berbelanja ke pasar. Karena hanya untuk keperluan bertiga saja yaitu saya, kakak dan nenek. Jadi tiap hari memang harus pergi ke pasar, tidak pernah nyetok barang banyak di rumah. Kata nenek, itu malah akan mubadzir. Mungkin jaman dulu juga belum ada promo atau diskon. Jadi kayaknya untuk stok barang tidak perlu kecuali kondisi urgent. Misal mau ada kawinan atau hajatan.
Setelah dari pasar, baru saya free. Mau main atau mau tidur, bebas! Karena nanti yang bertugas memasak adalah kakak saya. Tapi sebelum waktu dhuhur saya sudah harus kembali ke rumah. Setelah sholat Dhuhur, harus membaca Al Quran (lagi) bersama nenek. Itu supaya target khatam di bulan Ramadan ini tercapai.
Biasanya setelah sholat Dhuhur dan membaca Al Qur'an, saya memilih tidur sebentar. Karena jam-jam segitu perut sudah mulai berteriak-teriak. Meskipun sebagian teman ada yang ngajak main, tapi saya memilih di rumah saja daripada batal puasanya karena sesuatu.
Makhlum kan masih anak-anak. Kadang kalau lagi bermain, ada saja yang mengajari untuk membatalkan puasa. Ada teman yang pura-pura main, tapi lari ke toko buat beli jajan. Ada juga yang ngumpet-ngumpet minum di rumah tempat kita bermain. Kalau ketahuan nenek, saya bisa dimarahi habis-habisan. Lagian rugi juga kalau bohong tapi tetap lapar hehehe.
Ketika adzan Ashar berkumandang, saya sudah berangkat menuju langgar lagi. Itulah enaknya rumah dekat langgar atau mushola. Sholat selalu berjamaah dan selalu tepat waktu.
Selesai sholat Ashar, saya bantuin kakak yang lagi bertugas memasak menu untuk buka puasa nanti. Biasanya bantu yang ringan-ringan saja. Kayak nyuci sayuran, motong ikan, atau beliin bumbu kalau masih ada yang kurang ke warung sebelah. Sesekali saya juga hunting makanan khas puasa di tetangga-tetangga yang jualan di sekitar rumah. Â Biasanya yang saya cari itu es bligo, krupuk dengan bumbu gula merah pedas atau kue lapis dari bahan beras. Itu kudapan yang khas banget, yang hanya muncul di bulan puasa. Jadi bener-bener ngangeni.
10 menit menjelang maghrib, saya sudah duduk manis di rumah. Menunggu bedug dan menikmati menu puasa khas ndeso masakan nenek yang selalu bikin nagih kayak sambel goreng kacang teri atau pindang orak arik.
Dilanjutkan kemudian sholat Maghrib berjamaah di langgar Al Amin. Setelah maghriban, kembali baca Al Quran dan targetnya malam ini 1 juz sudah harus selesai. Dan itu juga sudah ultimatum dari nenek. Karena biasanya setelah sholat Isya dan Tarawih adalah waktunya Tadarusan. Paling lama selesai sampai jam 10 malam.
Begitulah setiap hari kegiatan rutin saya mengisi bulan Ramadan di rumah nenek yang sudah seperti pondok pesantren bagi saya dan kakak.
*
Kenangan suasana Ramadan di masa kecil itu sudah lebih dari 35 tahun yang lalu, tapi masih sangat melekat dalam ingatan saya sampai sekarang. Gimana tidak? Sejak kecil atau sejak mengenal puasa, saya dan kakak perempuan selalu menghabiskan sebulan penuh puasa Ramadan di rumah nenek di Kediri. Dan itu hukumnya WAJIB. Tentunya orang tua mempunyai tujuan yang baik, supaya saya dan kakak bisa belajar banyak ilmu agama. Sedangkan kalau bersama orang tua, mereka tidak ada waktu untuk mengajari sedetail itu. Disamping karena sibuk kerja, sibuk ngurusi adik-adik saya yang berjumlah 3 orang. Masih kecil-kecil lagi.
Puluhan tahun saya menghabiskan setiap momen Ramadan di kota kelahiran saya Kediri, bersama nenek yang hidup sendiri kalau saya tidak ada disana. Karena memang kakek sudah lama meninggal. Tapi ada kakak dari ibu yang tinggal tidak jauh dari nenek. Sehingga beliau -- almarhumah nenek tidak terlalu kesepian.
Meskipun dulu saya sering protes ke ibu, kenapa saya selalu dikirim ke Kediri kalau puasaan. Sesekali pingin berkumpul dengan ayah ibu dan saudara lain menikmati suasana Ramadan di Madiun. Pernah juga sih beberapa hari masih ikut puasa di Madiun sebelum dikirim ke Kediri.
Tapi sekarang saya benar-benar merasakan manfaatnya. Mengaji sudah seperti kebutuhan batin, karena dulu (sejak kecil malah) memang selalu dibiasakan nenek untuk sering-sering mengaji walau sesempit apapun waktu yang kamu punya. Meskipun tidak secanggih dan selancar para pembaca Al Qur'an lainnya. Paling tidak saya mengenal huruf dan bisa membaca dengan benar.
Kadang ada rasa sesal, kenapa sekarang saya kurang begitu telaten untuk mengajari anak sendiri mengaji. Kenapa harus mendatangkan guru ngaji, padahal orang tuanya juga sebenarnya bisa mengajari sendiri? Tapi anak dulu dengan sekarang memang beda. Kalau dulu saya begitu takut untuk membantah atau protes. Anak sekarang, malah bisa ngatur gurunya hehehe.
Yang pasti, pengalaman saya itu masih selalu terekam dalam ingatan sampai sekarang. Dan selalu menjadi motivasi untuk mengisi Ramadan dengan hal-hal positif yang diajarkan oleh almarhumah nenek. Dan tujuan orang tuapun untuk kebaikan putra putrinya. Semoga menjadi amal jariyah bagi beliau yang sudah mendahului kita.Â
Aamiin yaa robbal aalaamin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H