“Pokoknya lebaran ini Monik nggak mau pake baju kembaran. Malu maaaa…. Maluuuuuuuu…”
Jedaaaaarrrr….. Pintu kamar di banting Monik dengan sekuat tenaga. Seolah ingin melampiaskan semua kekesalannya pada pintu yang tidak berdosa itu. Kemudian diapun menghamburkan badannya di atas kasur sambil menangis tersedu sedan. Mama Mince hanya termangu sambil mengelus dada melihat polah anaknya yang nomor dua itu. Duh nak, seandainya kamu tahu....begitu keluh mama Mince dalam hati.
Tidak hanya sekali dua kali mama Mince berusaha memberikan pengertian kepada Monik sejak dia mengajukan protes itu. Bahwa dengan memakai baju kembar bisa menghemat pengeluaran mama di bulan ramadhan hingga lebaran. Mama harus menyediakan dana 3 kali lipat kalau harus membeli 3 baju di toko atau mall. Yaitu buat Monik dan 2 saudaranya Menik dan Mini. Makanya untuk menghemat, mama Mince membeli bahan yang gulungan.
Sejak kecil, 3 bersaudara Monik, Menik dan Mini selalu dibuatkan baju kembar setiap lebaran menjelang. Di samping lebih hemat untuk kebutuhan kain, juga tidak perlu mengeluarkan ongkos karena di jahit sendiri oleh mama mereka. Yang jago mendesain baju dengan jahitan yang rapi, tidak kalah dari yang di jual di toko atau mall. Dulu tidak pernah ada yang komplain. Bahkan anak-anak sangat bangga sampai dipamer-pamerkan ke teman-temannya.
Tapi itu dulu. Semakin besar, rupanya Monik sudah semakin sensitife terhadap lingkungannya. Semula dia cukup bangga ketika pamer pada teman-temannya baju buatan mama Mince yang menurut dia bagus dan cukup keren. Tapi betapa kagetnya ketika satu per satu teman-temannya mulai mencibir dan mengejek.
“Bagus apaan… Tiap tahun kembaran melulu. Emang mamamu nggak bisa beli baju ya? Atau jangan-jangan, itu memang baju jatah yatim piatu ya?”
Ejekan itu selalu diakhiri dengan tawa yang berderai dan berkepanjangan. Satu per satu teman Monik mulai ikutan ngeledek, dan akhirnya menjadi bahan tertawaan semua temannya. Dan yang menyakitkan adalah mereka selalu menyebutkan bahwa dengan baju kembaran itu mereka lebih mirip anak yatim piatau.
Berhari-hari Monik marah dan ngambek. Bahkan dia mogok nggak mau les, nggak mau beresin tempat tidur, nggak mau di suruh beli bahan jahit mama Monik, sampai nggak mau makan. Tapi yang terakhir nggak bertahan lama, karena Monik hobinya makan. Jadi takut kelaparan hehehehe…. Sampai mama Mince bingung. Monik yang biasanya rame dan suka membuat suasana meriah, berubah menjadi pendiam tapi sering marah-marah. Dan sasaran kemarahannya ke mama Mince. Permintaannya cuman satu, lebaran ini dia nggak mau pake baju kembaran sama saudara-saudaranya. Dia malu dikatain pakai baju jatah anak yatim piatu. Segala macam rayuan sudah di coba, tapi rupanya ejekan-ejekan dari teman Mini itu sudah cukup membuat dia gerah dan merasa malu.
Mama Mince jadi dilema. Di satu sisi dia membenarkan apa yang dikeluhkan Monik. Sudah 7 kali lebaran, dia selalu membuatkan baju kembar untuk anak-anaknya. Sejak suaminya meninggal dunia karena kecelakaan, praktis dia sendiri yang harus menanggung biaya hidup 3 putrinya yang masih kecil-kecil. Sedangkan keahliannya cuma bisa menjahit. Hasilnya hanya cukup untuk makan sehari-hari dan kebutuhan sekolah mereka.
Monik tersentak ketika mendengar suara batuk yang cukup keras membangunkannya. Tidak lama terdengar suara mesin jahit yang menandakan mamanya masih bekerja. Di tengok jam dinding, menunjukkan pukul 1 dini hari. Hampir tiap hari mama Mince bekerja sampai larut malam, padahal akhir-akhir ini sedang sakit batuk. Coba diintipnya dari balik kelambu kamar, tampak mama Mince sedang menjahit baju bermotif bunga-bunga. Meskipun dia melihat dari kejauhan, tapi tampak jelas begitu cantik sekali bunga merah kuning yang mendominasi. Monik ingin mendekat tapi urung. Ingin menegur, tapi dia masih memendam marah sama mama Mince.
“Wah itu warna kesukaanku. Bagus banget motif bunganya. Tapi meskipun bagus, aku tetep gak mau make kalo harus kembaran sama kak Minul dan Mini.” Kata Monik dalam hati.
Sebenarnya dalam hati Monik begitu menyesal telah melakukan protes kepada mamanya. Iba juga ia melihat perjuangan mama Mince yang harus menyelesaikan baju-baju itu sebelum lebaran tiba. Kelihatannya sih masih banyak di lihat dari tumpukan kain yang masih menggunung. Padahal lebaran tinggal 2 minggu lagi. Kemudian Monik kembali naik ke pembaringan untuk melanjutkan tidur. Dia sudah lupa dengan mama Mince yang batuknya makin parah.
Allohu akbar… Allohu akbar… Allohu akbar… Laa ilaaha illaloh huwallohu akbar… Allohu akbar walillaahilham
Suara takbir nyaring terdengar berkumandang di mana-mana. Hari kemenangan itupun tiba. Dari pagi sudah berbondong-bondong umat muslim menuju masjid atau surau untuk melaksanakan sholat Idhul Fitri. Tampak mama Mince sudah menata dan menyiapkan opor ala kadarnya di meja untuk disantap sepulang dari sholat ied. Hanya ada lontong, opor telur tanpa ayam dan kerupuk.
Monik masih malas turun dari tempat tidur. Dia hanya mengamati gerak gerik kakaknya Minul dan Mini sedang mematut diri di depan cermin. Keduanya tampak bahagia mengenakan baju baru. Lho…..?? Monik baru sadar ketika melihat baju kakak dan adiknya itu berbeda alias tidak kembar. Spontan dia meloncat dari tempat tidur dan setengah berlari keluar dari kamar hendak mencari mamanya. Karena buru-buru, Monik tidak bisa menghindari ketika mamanya baru akan masuk ke kamar. Mama Mince terpeleset dan baju yang dibawanyapun jatuh ke lantai.
Baju motif bunga yang malam itu di lihat Monik, yang menjadi impiannya selama ini. Tampak cantik dengan model yang lagi ngetrend. Apakah ini baju buatku? Belum selesai Monik termangu, dia melihat mama yang masih duduk karena terpeleset tadi. Mama menatap ke Monik dengan lembut, tanpa ada rasa marah. Dia mengambil baju yang tadi jatuh, kemudian menyorongkan ke Monik yang menandakan baju itu adalah baju lebaran untuknya. Sinar matanya yang sejuk, membuat dada Monik seperti membuncah. Spontan dia memeluk dan menghamburkan tangis di pelukan mama.
“Cepet berdandan dan berangkat sholat Ied bareng kak Minul dan Mini ya? Keburu terlambat nanti.” Ujar mama masih dengan nada yang lembut.
“Yuk kita berangkat sama-sama ke masjid ma?” tanya Monik. Di sambut gelengan kepala mamanya.
“Mama harus menyelesaikan beberapa baju yang akan di ambil hari ini, nak. Karena mereka semua sudah membayar. Uang itu buat beli kain dengan corak yang berbeda supaya mama bisa membuatkan kalian baju yang tidak kembar seperti tahun-tahun lalu.”
Tangis Monik pecah ketika mendengar alasan mamanya dalam mencari uang tambahan. Ini semua untuk menuruti keinginan Monik yang nggak mau pake baju kembaran karena malu. Malu di ejek teman-temannya. Padahal, kesehatan mamanya lebih penting. Sehingga sholat Ied kali ini mereka tidak bisa bersama-sama. Sunggu Monik merasa menyesal sekali.
“Maafkan Monik ya maaaaa…. Monik nggak akan dengerin omongan teman-teman lagi. Monik sayang mama. Monik gak pengen mama sakit.”
Minul dan Mini ikut memeluk mamanya yang bahunya terus terguncang karena batuk. Tangan mama mencoba merengkuh 3 tubuh mungil anak-anak kesayangannya itu.
“Sudahlah. Tahun ini kita nggak papa nggak bisa sholat sama-sama. Yang penting anak mama senang, bisa memakai baju yang special. Doakan mama sehat terus ya….” Sambil dikecupnya satu-satu kening anak-anak manis itu.
Penyesalan Monik sedikit terobati mendengar kata-kata mamanya barusan. Peristiwa ini membuat dia menjadi lebih menyadari bahwa cinta mamanya tidak perlu diragukan lagi. Sebaliknya, dia tidak ingin membuat susah orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Kebersamaan lebih penting dari sebuah baju lebaran. Memakai baju kembarpun tidak tidak akan mengurangi kebahagiaan dan suka cita di hari yang penuh fitri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H