Mohon tunggu...
Tri Wibowo Budi S
Tri Wibowo Budi S Mohon Tunggu... -

Editor/Penerjemah. Sesekali menulis.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tentang Novel, dan Mengapa Sebaiknya Kita Membaca Novel yang Baik

22 September 2010   10:19 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:03 947
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Medium novel adalah bahasa. Sedangkan obyek dan subyek novel adalah
manusia (karakter) dan kehidupannya. Kita tahu bahwa bahasa adalah
hasil konvensi. Sedangkan kehidupan dan manusia selalu unik, selalu
menghindari konvensi. Mengapa tempat duduk kita sebut "kursi"? Itu
karena konvensi. Andaikata dulu orang sepakat menyebut tempat duduk
sebagai "onde-onde" maka barangkali kita sekarang akan menulis "ada
lima pasang calon memperebutkan onde-onde presiden dan wapres."
Realitas tak bisa ditangkap seutuhnya oleh bahasa. Rasa sedih tak
bisa diungkapkan secara pasti dalam bahasa, kecuali dengan cara
tamsilan. Kita terpaksa menggunakan kiasan "hatiku perih seperti
tersayat sembilu" untuk melukiskan perasaan sedih yang mendalam.
Tetapi pembaca tak benar-benar merasakan kesedihan itu. Pembaca
hanya "tahu" bahwa si aku sungguh sedih, tetapi
tidak "merasakannya." Lagi pula, bahasa sering hanya
merepresentasikan sedikit sekali dari sesuatu. Bahasa bisa dipelintir-
pelintir. Ketika kita mengatakan bahwa "si A memperebutkan kursi
presiden" sesungguhnya yang kita maksud bukan kursi presiden, tetapi
kekuasaan, ketenaran dan lain sebagainya. Jadi kiasan, tamsilan,
imaji, adalah sesuatu yang sangat penting dalam karya sastra (entah
itu novel, cerpen, apalagi puisi), sebab "kehidupan" yang menjadi
obyek sastra adalah "realitas" yang diluar jangkauan bahasa untuk
mencakupnya secara utuh.

Jadi, seperti dikatakan seorang kritikus, bahasa dan obyek/subyek
seolah-olah mempunyai peran yang berkebalikan. Jika dulu bahasa
digunakan untuk mengomentari konflik sosial dan psikologis, kini
sosiologi dan psikologi dipakai untuk memaparkan ciri-ciri bahasa itu
sendiri. Ketika Sartre menyimpulkan, "meskipun diwujudkan
(realized) "melalui" bahasa, obyek sastra tak pernah
diberikan "dalam" bentuk bahasa. Sebaliknya, obyek sastra pada
dasarnya adalah semacam kebisuan dan musuh dari kata-kata …" maka
kita menyadari bahwa polaritas yang besar tersebut kini telah
mencapai kesimpulan baru yang mengejutkan. Bahasa menjadi sebuah
karakter di dalam novel. (G.B, 1956). Menurut Mendillow
(1952), "Bahasa tidak bisa menyampaikan pengalaman non-verbal; karena
bahasa bersifat suksesif dan linier maka ia tak bisa mengekspresikan
pengalaman secara bersamaan; karena tersusun dari unit-unit yang
terpisah dan dapat dibagi-bagi, bahasa tidak dapat mengungkapkan
aliran proses kehidupan yang tak terputus-putus. Realitas tidak bisa
diekspresikan atau disampaikan [oleh bahasa]- hanya ilusi dari
realitas itulah yang bisa." Ilusi yang dimaksud disini adalah kesan,
yang biasa diwujudkan dalam kiasan (seperti misalnya "hatiku perih
seperti tersayat sembilu," atau "hatiku berbunga-bunga"). Realitasnya
sendiri tetap diluar jangkauan bahasa.

Tetapi di lain pihak, imaji, metafora, kiasan, mengandung kekuatan
yang dahsyat untuk membangkitkan kesan mendalam. Metafora mengandung
ribuan arti. Novelis besar Inggris dan tokoh utama Bloomsbury,
Virginia Woolf, menyadari betul kekuatan imaji ketika dia
mengatakan "Bahkan imaji yang paling sederhana sekalipun
semisal `kekasihku laksana mawar merah, merah, yang baru mekar di
bulan Juni' menghadirkan kepada kita kesan yang memadukan kelembaban
dan kehangatan serta warna merah dan kelembutan daun bunga dan
merangkai alunan ritme yang menyuarakan hasrat dan keraguan-raguan
tentang cinta. Semuanya ini …. dapat ditangkap oleh kata-kata …. dan
hanya oleh kata-kata saja."

Karena itu pembaca karya sastra harus mempunyai imajinasi dan
kepekaan perasaan yang kuat. Imaji tidak bisa dikonversi ke konotasi
literal (harfiah). "Hatiku berbunga-bunga" tidak bisa dipahami dalam
arti literal, sebab bagaimanapun mungkin ada bunga tumbuh di hati
manusia? "Hatiku berbunga-bunga," ketika dipahami secara imajinatif,
akan memunculkan beragam perasaan bagi pembacanya, yang bisa jadi
berbeda-beda. Inilah kekuatan dahsyat dari kata imajinatif itu.
Karena itu makna metaforis dan literal tidak bisa bekerja
bergandengan, sebab, sekali lagi meminjam istilah Virginia
Woolf, "Mata dan otak akan hancur-luluh ketika keduanya mencoba
bekerja berpasangan." Tetapi perlu ditambahkan bahwa kata-kata
imaji, metafora, kiasan dsb., mempunyai keterbatasannya sendiri. Ia
terikat dengan konteks kultural, ruang dan waktu. Metafora akan
efektif jika pembaca metafora itu adalah orang-orang yang mengerti
betul konteksnya. Misalnya, ungkapan "dia sedang naik daun" akan
sulit dipahami oleh orang Afrika atau Eropa, kecuali mereka sudah
memahami konteksnya. Bagi penerjemah, persoalan seperti ini sangat
penting.

*

Sampai di sini saya sudah membicarakan beberapa aspek dari novel.
Tentu saja masih banyak lagi aspek lainnya, seperti ruang, waktu
kronologis dan psikologis, plot, karakter, bentuk-bentuk, dan lain
sebagainya yang membutuhkan lebih banyak ruang untuk membahasnya.

Mengapa Kita Mesti Membaca Novel Yang Baik?

Boleh dibilang manusia dibesarkan bersama dongeng dan kisah. Boleh
dikatakan manusia selalu diliputi cerita. Dan boleh dibilang sejarah
adalah sebuah cerita, dengan tokoh-tokohnya yang baik dan yang jahat.
Dan karena manusia adalah bagian dari sejarah, maka manusia itu
sendiri adalah bagian dari sebuah "cerita besar."

Sejak zaman dulu manusia telah terpesona oleh banyak sajak, drama,
novel, dongeng, legenda, dan kisah fakta sejarah. Kitab-kitab suci
juga berisi cerita, entah itu nabi atau orang suci. Beberapa
diantaranya begitu mempesona karena menyentuh langsung dengan dimensi
terdalam hidup kita, batin dan hati dan pikiran kita. Karena itu
orang bisa mengatakan ada karya besar, magnum opus, maha karya.
Bahkan beberapa cerita dianggap menjadi karya "abadi," karya klasik,
yang terus-menerus dibaca dan ditafsirkan. Homer, Virgil,
Shakespeare, Chaucer, Montaigne, Dante, atau di masa yang lebih
modern, Victor Hugo, Tolstoy, Dostoevsky, Ezra Pound, Virginia Woolf,
Pramoedya, Chairil Anwar, Rendra, adalah sedikit contoh dari
sastrawan yang telah menorehkan karya yang "abadi." Jadi, sampai
kini, siapa tak kenal, misalnya, Romeo-Juliet? Hamlet? The Divine
Commedy? Tetralogi Pulau Buru? Deru Campur Debu? Atau, siapa yang tak
kenal kisah-kisah dalam kitab suci, seperti Adam, Ibrahim, Nuh,
Yesus, Muhammd, para yogis, dan sebagainya?

Cerita-cerita mereka terus dikenang, ditulis ulang, dan bahkan
difilmkan. Misalnya, Troy, adalah adaptasi dari karya klasik tragedi Yunani karya
Homer. Ini adalah kisah klasik tentang Achilles, Hector, Helen of
Troy, dan Kuda Troya (yang menjadi inspirasi pembuat virus komputer
yang mengerikan, yang bernama virus Trojan Horse), serta keruntuhan
benteng Troya yang kokoh. Lihatlah, kisah ribuan tahun lalu ini
menggema kembali dalam wujud sinema, ditafsirkan ulang dalam bentuk
film, menjadi sumber inspirasi bagi banyak hal. Sedemikian dahsyatnya kisah ini, hingga mengilhami para
pengarang, pelaku perfilman, pembuat virus komputer, bahkan penulis
lagu di seluruh dunia, termasuk Indonesia (aku ingat Ahmad Albar
pernah bersenandung dalam lagu She Passed Away: "She wasn't Helen of
Troy …").

Kekuatan apakah yang ada dalam kisah-kisah besar semacam itu? Mengapa
cerita-cerita besar itu terus bergema dan mengguncangkan banyak
keyakinan dan kesadaran, bahkan sampai mengubah pandangan hidup
manusia? Mengapa kisah-kisah besar ada yang sangat ditakuti oleh para
penguasa, seperti Gulag Archipelago, Dr Zhivago, Madame Bovary, atau
Pulau Buru? Tentu saja ada banyak jawaban yang bisa diberikan.
Tetapi, barangkali, kisah-kisah itu begitu memikat karena kisah-kisah
itu berkaitan erat dengan seluruh unsur manusia dan kemanusiaan itu
sendiri – di sana ada kepahlawanan, cinta, kesedihan, filsafat,
penjahat, keindahan, kekejaman, kegilaan, kemunafikan, kekuasaan,
pengkhianatan, dan seribu satu paradoks kehidupan yang mendera batin
manusia, tak terkecuali kita. Dan para pengarang besar itu menulis
itu semua dengan jernih, dan secara sengaja atau tidak sengaja
memberi semacam pelajaran yang kadang-kadang efeknya tak terduga bagi
sejarah manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun