Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Malam Minggu Datang Lagi!

31 Mei 2024   09:12 Diperbarui: 31 Mei 2024   09:45 556
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

MALAM MINGGU DATANG LAGI!

Mbah Har

 

Malam Minggu datang lagi, menggali berlalunya lalui hari yang kemarin. Tak terasa!!!

Aku harus dapatkan, wajib dan mutlak. Tiada kata lain untuk menunda atau tidak...malam ini sebagai jawaban untuk besuk.

Selepas magrib aku genjot Honda BMW-ku. Biar buntut, tapi sanggup melaju di jalanan beraspal bersaing dengan setang-setang bunder. Ditemarami lampu kota, dibawah tengadah keceriaan seribu bintang dan satu rembulan -- tak mungkinlah matahari bersinar di kala gelap, nistalah! -- aku bersaing merebutkan satu tempat, satu kedudukan di atas bangku.

Sendiri? Tentu tidak. Tidaklah demikian aku merasa sendiri, ada angin mengiringiku. Ada pula lagu-lagu aku nyanyikan dalam hati, dalam siangan telingaku. Seputaranku membaur menjadi angan melambungkan rindu. Apakah tersebut belum cukup sebagai bukti aku tak sendiri? Dan satu lagi teman setiaku, dia yang kau takkan temukan di jog belakang, atau pula di sampingku. Tetapi nyatanya ada Yaa, adalah dia di dada memposisikan diri dengan sebutan 'tekanan' yang membuat aku senantiasa dengan caraku melibaskan mata, melihat dengan mata, mendengar dengan hati dan perasaan membawa penjelmaanku ke alam maya, sungguh!

Ke alam maya,yaa kira-kira! Membawa paruh tanganku dengan lapisan tinta mengkopi perasaan tertangkap sayap jiwa, entah itu rintihan, entah itu pula tangis bahagia -- apa saja -- jiwa lihat dan rasakan aku refleksikan.

Jam tujuh lebih sudah berangkat meninggalkan. Lukisan malam memadankan laju motorku yang lancar-lancar aja. Lancar-lancar menggodok lusinan gelintir pasang sijoli hilir mudik merapatkan pinggang di atas jalanan bersamaan aku lalui.

Real -- kalut ada -- aku belum bisa seperti mereka. Duduk-duduk di taman ngobrol dan mengobral setia. Berpegang tangan menarik perhatian untuk mengambil hati sang pujaan dengan berbagai alasan dan endusan nafas dibalik sipit mata melirik. Curi-curi kesempatan, terbang ke nirwana memuji dan memuji dunia ini milik berdua, aku bagaimana? Kau anggap apa aku, menumpang/mengontrak? Brengsek, sadis banget!

Lepas aku tinggalkan taman kota aku pandang dari kejauhan trafik light merah. Nggak ada keinginan untuk aku sekarang meneteskan pikiran di sana, teliti diriku meronta. Terlalu pagi, begitu batinku menandai!

"Terlalu dini/nggak punya?"

"Siapa kamu?" Tanya aku.

Dia yang aku Tanya menepuk kepalaku "dasar bodoh" berbisik lirih di telinga kiri.

Ah...angin lalu sahutku membela. Terus aja aku langkahi sisa-sisa pekat kota. Aku terjang asap-asap tak terlihat dengan bebas tanpa filter -- terasa deras di hidungku -- ingin aku maki mereka, tapi apakah aku punya hak?

Sudahlah...

"Aku duluan Dab!"

"Seek-seek!" Teriak akulah. Tak terdengarlah jua. Tahun '70-an lawan tahun '00-an, siapa yang siap, kecuali mengerutkan dahi dan mengumbar denyut nadi mengeras berkecepatan rada emosi tak terkontrol.

Sesaat kemudian "persetan denganmu dan pasanganmu" daripada menembah beban hidupku, lebih baik dengan pasangan jiwaku, bukan gitu? Aku dengan angin malam, aku dengan pelupuk mata mengendus-endus mencari sesosok kepala tak kelihatan pada ujung rambutnya mungkin aku bisa jadikan obyekan, atau sekedar teman sesama senasib sepenanggungan untuk genjot bersama keliling taman kota, atau mungkin kota-kotalah...tapi persetan dengan itu semua, peduli dengan mereka lakukan 'I don't care!".

Yang aku pedulikan adalah bagaimana besuk, bagaimana besuk aku bisa tetap meluruskan nafas. Yang aku pedulikan adalah dedaunan untuk menambal sayapku saat ini agak terkoyak tentu saja untuk aku terbang rendah raih ketinggian di surga putih, setidaknya meloncat dan melompat diantara anakan pijakan kaki kuku untuk kejaran di depan.

Sekali duduk ke sana? Satu juta tangan aku taruh di jidat. Tahu lautkan? apa yang kau lihat di tengah laut dari bibir pantai? Ketenangan? Mungkin saja, tetapi bukankah ombaknya bergelombang?

Tahu debu jalanan? Jelas tak terlihat tapi jelas berbahaya. Kata mbahku yang tak terlihat itu terkadang lebih berbahaya dari yang terlihat, tetapi yang transparan itu akan sangat membahayakan. Membingungkan yaa? Jujur, aku juga gak ngerti dengan aku katakan...sama.

"Hoooppp!" pasang jangkar, lepas kemudi, aku mendarat. Aku tanahkan kembali kaki, mata mencari-cari saat untuk ambil sikap. Dan sikap diam aku pilih, menyudut dan pesan jahe anget -- menghangatkan tubuh, sekaligus menetralisir hawa pekat di ubun-ubun.

Hawa murni lebih tepatnya, mengalir sejuk dari ubun-ubun turun menyebar menyapa segenap denyut nadi. Akan terasa tenang, kontan sesaat lelah dan cemas berharap tergantungkan dengan harapan baru...tentu saja!

Harapan, begitulah menyambungku. Harapan pula bakal menataku, membawaku berkembang sekaligus bertahan, dan mungkin mengambil posisi ideal puncak tertinggi.

"Rame, Pak?"

"Malam Minggu Mas! Giliran restoran sing panen. Besuk-besuk, Senin Selasa pada nangkring di sini lagi. Duwit habis buat malam mingguanlah, akhir bulan kiriman belum datang, buat SPP kadang-kadang, KTP dititipin."

Ambil penalaran, logika aku pacu. Melambai di congor asap putih bergelombang memutar putih warnai hitam temaram, pikirku saat ini haruskah pulang sekarang? Haruskah? Sudah berjam lamanya perasaanku tak terdetik juga, di sini lama-lama kantongku akan makin cepat kering, kenapa?

Si Bapak tersenyum. Giginya menyeringai kelihatan kuning dan tak teratur. Dahinya mengerut lantaran apa aku sendiri tak tahu kontras dengan di bibir, yang pasti tentu saja  menyiratkan sebuah bahasa pesan yang pesan tersebut aku terjemahkan 'kita tak sedang sendiri dan takkan pernah sendiri!' itulah kenapa Si Bapak ada di sini dengan sering melangut dan melamun bila tidak digongin . Tentu saja selama itu SI Bapak mengobrol dengan dirinya sendiri, dengan angan dan imajinasinya sendiri, dalam pandangan harapan dan keinginannya sendiri...Si bapak punya sendiri.

Kembali dalam diam, tetapi suara-suara dirantau menyergap. Sebut saja deru mesin, pula teriak caci-maki kanan-kiri yang aku tak mengerti apa mereka perdebatkan. Hanya saja yang menjadi fokusku kala itu adalah suaraa alam, perantara angin terus memanggil dan memanggil memaksakan diri dan kehendak. Why?

"Ngak ngapel Mas?"

"Oh...!" terkejut, sontak lamunanku terjaga. Tak terasa pikiranku kosong selama ini, selama kira-kira terbakarnya setengah sebatang rokok. Kau lihat, tinggal filternya saja sejak seruputan terakhit tadi, untung setan nggak masuk ke alam pikiranku, apa jadinya? Rupa segala rupa sekelilingku penglihatanku...!

"Apa Pak?"

"Ngelamun too, ati-ati setan lewat!"

"Enggak Pak!" Aku mengelak. Kataku, aku cuman terkesima dengan kesibukan kota. Banyak yang orang kerjakan, suara-suara dirantau -- sekali lagi -- tak sanggup aku terjemahkan, kecuali kabut-kabut asap tipis menyergap kejernihan berpikir dan bertindak.

Si Bapak membuang muka, tak menjawab. Aku membuka tangan saja lebar-lebar. Samalah mungkin dimaksudkan, sama ingin mengusung harapan, hanya saja dalam bentuk berbeda, dalam entitas dan jumlah yang tidak sama, tapi aku yakin dalam keyakinan yang sama.

"Jika Senin gak terbit, harus ngutang nih!"

Beralaskan tikar di trotoar aku memepetkan punggung beserta bahu pada bahu tembok. Sementara, sementara Si Bapak Angkringan...aku tak begitu yakin dengan penglihatanku, pikiranku kosong dan pandanganku mengabur.

Satu dua hari mungkin untuk sementara aku bisa pindah dari satu rumah ke rumah yang lain. Ikut nebeng, lumayan ngurangin jatah makan sekaligus nambah gizi sambil terus berharap kiriman datang ada lebihnya.

Atau, atau gadein motor butut ini...sayang, aku mungkin aku menangis dan menyesal jika terpaksa menggadaikannya. Emang banget wong sini bilang "Jer Basuki Mowo Bea"  -  kira-kira begitulah peribahasa tepat aku mendapatkannya, dua tahun aku sisihkan dari nulisku di majalah, jika mengharapakan kiriman pensiunan bokap...tidak berharap!!!

Angin yang menggoda, kuhirup panjang-panjang udara. Mulut mulai kecut lagi minta smoke. Asam banget, tapi jika aku paksain sama aja mempercepat kesengsaraanku, sama aja bunuh diri!

"Aaahhhhhhhhhhh!"

"Mas, ada apa? Cerita sama Bapak sini, Bapak juga pernah muda. Soal cewek too Mas, Bapak hanya bisa wanti-wanti untuk berhati-hati aja...eling lan waspodo!"

Aku senyum tipis dan refleks "Besuk harus terbit!" nerocos aja terlontar separtan, kira-kira lebih cepat dari waktuku untuk berpikir.

"Mas sampeyan kepriye, matahari besuk tentu terbit, kan belum kiamat...ono-ono wae Mas!"

"Bapak bercanda yaa? Tapi ngomong-ngomong bulan terlambat yaa Bapak, belum nampak!"

Kata mbahku lagi, Jika dibelit masalah, kadang mata tak bisa membedakan, mana yang gelap, mana yang terang, mana pula ditutupi dengan tertutupi

Si Bapak memalingkan muka dengan membawa senyum, sementara aku mengikis keraguan seisis kepalaku.

Apa enaknya pindah ke pojok beteng sana yaa? Barangkali ada cerita bisu yang menelusuri rasa lelahku menghadapi kenyataan yang terasa lama jika sendiri seorang diri. Apa begitu yaa?

"Aneh?"

"Apanya yang aneh, Mas?"

("Jahe siji, Pak-ee!") teriak seorang muda di dorongan. Si Bapak menghampiri dan melayani. Lama Si Bapak tidak balik-balik padaku, entah apa yang mereka bincangkan aku tak mendengarnya. Pula wajah seorang muda tersebut, agaknya langganan Si Bapak hingga terkesan akrab dan dekat. Sekali lagi aku tegaskan, aku ingin tahu si apa dia, dari postur tubuhnya...temaram, lampu teplok kalah gelap dari keterbatasan sinar mataku yang memang lagi sayu.

"Aneh!" Lagi aku berguman. Aneh Karena memang berbeda.

 "Mas rene wae, ngobrol-ngobrol di sini!"

Anggukan aku isyaratkan. Seolah merangkak, aku berjalan searah. Kutengok pekat malam, kurogoh saku celanaku memastikan seberapa larut sekarang, berapa lama telah aku habiskan sisa waktuku di sini. di sini yang aku maksudkan aku tidak bicarakan soal anak mami, di sini diriku sendiri yang harus kenali, bukanlah siapa-siapa.

"Coy, kowe toooo!"

Gelas di meja, karuan berpelukan. Adalah dia yang hilang datang dengan sendirinya. Adalah rahasia alam mengungkap kejujurannya. Menerangkan kekuasaannya, mengumbar bahagianya.

"Piye cuk kabare?"

"Horas Coy!" Aku balas mendekap.

"Anak pantai ketemu ombak, klop deh." Si Bapak tersenyum.

Yaaa, anak pantai ketemu ombak. Gelombang menerjang, itulah mutiaranya. Makin garang dan makin dalam makin hanyut ke dalam hati.

Yaaa, seperti ranting dengan daun. Daun butuh ranting menggantung diri, ranting butuh daun-daun untuk berteduh.

Kami bicara banyak, menuntaskan dua tahun terpisah daratan yang menyapu sama rata. Dua tahun kiranya dalam ingatan saja, kelupaan dalam pandangan, namun tak lepas dari mata. Selama itu asamnya gunung melunturkan asinnya lautan. Dalam kabut menimba menutup pandangan untuk berselancar di ombak.

Nana bagaimana punya kabar, pula si barat and si timur pernah jadi gacoan bareng, apakah makin montok? Pula si gendut Dewi berbaju merah yang membuat ketawa adalah yang tak pernah terlupakan.

Bayangkan duku iseng jelang malam di "Pasar Kembang" godain lonte-lonte dan banci, lalu tancap gas pengalaman sebelum akhirnya dipertemukan kembali sekarang. Luar biasa, sama gilanya. Sebelum pagi patungan ke caf gak pesan apa-apa karena memang kosong glondangan...pede tenan!

Soal kuliah? Jangan heran.

"Sapu wae, aku tahu dari wajahmu lagi kere...aku yang bayar!"

"Tumben Coy, biasanya aku yang bayar. Ngomong-ngomong udah dapat langganen tepat tante-tante girang yaa, piro sih pasaranmu?"

(Haa....haaa.....!")

***

Adalah yang tersebut di atas adalah yang aku tuangkan pada kertas putih. Adalah yang tersebut di atas kecil dari kenyataan yang tampak. Adalah tersebut di atas aku inginkan, selebihnya?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun