Akan sebaiknya dimulai...
MELAMUNKAN MIMPI
Sudah pagi rupanya...rupanya pagi sudah. Tak kusangka begitu  aku pejamkan mata, begitu pula aku buka mata. Sedetik lalu aku lupa, sedetik kemudian aku ingat kembali. Rupa-rupa dan berupa-rupa yang terjadi.
Kubuka jendela dan jendela terbuka beserta merta yang kulihat adalah segumpalan benda di langit. Aku sedang melamun dan membayangkan sekelompok awan putih yang dalam mimpiku aku tanggakan dengan kaki dan seluruh tubuhku.
Aku terbang...aku mengitari tanah dengan langkah-langkah yang tersusun berurutan. Kaki kiri diikuti langkah berikut dengan kaki kanan, begitu seterusnya meramaikan bertangan dan bertubi-tubi yang membuat aku terus dapat tersenyum lebih awal daripada pagi.
Dengan apa yang ada sekarang, aku telah buka jendela dan bicara pada jendela yang membukannya untuk aku. Aku membuat suatu perkataan dan aku ingin mengulanginya, aku ingin membuat perulangan dalam bentuk lain.
Dalam mimpiku itu...aku melihat inti sari tanah yang menggumpal...kurang jelas aku melihatnya karena tempatku dari ketinggian yang takkan terjangkau tangan dan kaki manusia. Aku ingin sebutkan tak mungkin terjangkau tangan dan kaki manusia.
Aneh memang karena mungkin memang bukan suatu kenyataan. Gumpalan itu berputar begitu hebatnya menebarkan senyum yang entah darimana menyembulnya dan untuk siapa. Cahyanya naik dan terus naik jauh lebih tinggi dari tempatku berada kini. Apa gerangan itu, gerangan perasaanku hanyalah sinar matahati belaka yang mencoba mengupgrade ulang kegagahanku.
Dia yang perlahan membentuk sesosok tubuh...aku kirimkan sapa sinyal menolaknya. Aku bilang proses awal yang kejadiannya tak mungkin dengan membuka mata sampai ke tempatku.
Aku tinggal dan aku hanya bisa bergerak mengikuti ke mana angin bergerak. Kadang aku bergerak ke utara, tetapi sebelum sampai ke utara aku balik ke selatan. Terkadang aku malah diam di tempat seperti benda tak bernyawa.
Sungguh...aku memang di atas, tapi tak bisa menentukan jalan yang aku minta. Tapi anehnya lagi aku masih juga bisa melambaikan tangan kepada 'everybody'...juga hewan dan tumbuhan yang aku jumpai melalui perjumpaan sekilas pandang. Aku di atas...teriakku.
Oooo...jawab seseorang dengan agak berserakan. Siapakah dia gerangan yang mengatai aku?
Suara itu begitu kencang menggema. Aku tak pernah menemukan solusinya untuk menemukan bnetuknya. Aku tak bisa leluasa melihat paradigma pandanganku, pandanganku terbatas karena aku disanteri angin yang terbang berputar begitu hebatnya.
Sudahlah...aku anggap itu pusara yang dibuat angin sehingga mengantarkan bentangan begitu hebatnya. Aku anggap akulah yang terhebat jika sudah dalam ambang mimpi-mimpi. Indah begitu indah, tidak ada yang lain mengubah atau mempengaruhi dan tak ada bakalan yang membuat aku kotor untuk sekarang...untuk sekarang.
Kisah aku punya cerita...berakhir sudah saat aku terbangun. Sama aku dengan mereka, sama aku menginjak tanah dengan telapak kaki yang terkadang angkuhnya dialasi telapak kaki buatan.
Aduh bunyi itu...aduh bunyi itu, histeris keheranan aku. Dari keheranan itu aku teringat yang lain yang terlewatkan...aku ingin ulang yang terlewatkan.
Dalam mimpi-mimpiku itu, aku tak pernah lagi lihat pandangan ke bawah. Pandanganku yang ada selalu tertuju datar ke atas dan terus ke atas...sementara untuk menjanjikannya adalah anganku belaka yang berdiri dalan agar-agar empuk kapan saja dicairkan.
Itulah kenapa aku ingin berbagi cerita ini, untuk diriku sendiri agar aku tak pernah lupa dan melupakannya dan bila aku sudah ingat, maka aku tak mungkin aku lupa lagi.
Ingat aku...tak kusangka bulan yang sudah sedemikian dekatnya direntangan tangan, memang hanya ada dalam jurusan yang salah. Some question dari aku dijawab seorang adik bayi itu. Dia lambaikan tangan dan ucapkan selamat tinggal padaku.
Dia meninggalkan aku dengan bertahap, dengan dilalui ketika menggumpal, berjalan dengan merangkak dan akhirnya meluruskan tangan tinggi-tinggi ke atas untuk menunjukkan refleksinya padaku...pikirku saat itu aku bisa tertawa mengejeknya.
Aku berteriak..."tak mungkin dengan segala kemungkinan menjangkau aku dengan tangan dan kakimu!"...dianya menggeleng dan balas aku "tak mungkin menjangkau bulan dengan menaiki awan".
Tertawa dianya padaku dan dia tunjukkan sebuah buku-buku yang dalam berbagai label dilontarkan padaku saat telah sejajar padaku. Dia lemparkan terus dan yang terjadi aku tak pernah bisa menjangkaunya walaupun hanya barang satu lembar yang tercecer beterbangan. Katanya "ini sebuah rintangan...sebuah rintangan, jangan disia-siakan dan mulailah dari bawah...itu lebih baik!"
MENCARI KESEIMBANGAN
Hujan dingin seperti tak menyurutkanku untuk pulang. Pulang? Aku kasih tanda tanya sebagai kalimat retoris yang menyiratkan geometri yang berbeda. Sekarang aku sebenarnya hendak pulang atau pergi?
Selain hujan gerimis, panas terkadang pula cukup menghantui kulitku dengan sengatan. Aku tak gentar dengan ancaman yang bakal menyantera dengan hitamlah atau bersisik atau kotor kali-kalinya.
Dari satu tempat ke tempat lain aku menatap jalanan yang beraspal. Dari satu sisi ke sisi yang lain pula, aku pelajari tak selamanya rata tetapi terkadang bergelombang. Kenapa itu bisa terjadi?
Malamku...aku ambil sebagian malamku untuk melancong dan berkendara. Aku pastikan saat itu aku sudah menguji kelayakannya...karena aku akan melakukan sebuah pengintaian, terutama jaminannya aku pasang lampu yang benar-benar terang.
Sebentar lamanya aku kutak dan katik...kutak-katik tak tahunya aku ketemu juga yang aku cari. Jalanan yang bolong...jalanan yang berhubung sekedar untuk coba kenyamanan motorku. Aku lakukan dengan tiba-tiba untuk mengecek apakah masih layak atau tidaknya untuk menempuh jalanan yang tiba-tiba tak terduga.
Kenapa aku lakukan? Seperti aku bilang tadi, semua penuh dengan legenda manusia yang silih berganti. Cerita ini adalah mengganti bahwasanya masih ada lagu untuk tak dinyanyikan.
Aku sadari, aku berhenti sebentar dan adalah jiwaku yang berguncang dengan beraneka. Aku coba untuk tetap tenang dan bertanya, panggilan apakah ini gerangan?
Cuman satu kataku, itu sekedar lorong misteri yang menjulang tanpa kepastian. Aku kira (maklum, aku pendatang di kota ini) jalanan bolong di kota keramaian cuman ada di kotaku...eee rupanya disepanjang tempat aku singgah telah menjadi kehidupan. Aku makin nggak ngerti, gerangan apakah yang menguasai?
Haruskah aku marah? Kalaupun aku tersenyum bukanlah berati mengedipkan mata. Aku tersenyum puas malam itu karena aku terhindar dari kejatuhan alias aku selamat. Betapa nikmatnya kala itu aku masih rengkuh bintang, aku katakan bintang dengan pipi kemerahan adalah 'seorang bintang tidak harus terkenal, seorang bintang adalah seorang yang mampu menghargai dan tahu bagaimana menghargai.
Aku putar ke kiri dan aku baris dengan lurus sampai aku menghilang dibalik layar. Aku bersorak lompat kegirangan, pipiku yang merona berubah merah karena tersengat tangan yang meminta bayar. Dan akupun tersadar, aku lagi berpikir dalam lamunan seorang diri.
Aku tersenyum, dianya Pak kondektur juga demikian. Aku bayar, dianya Pak Kondektur terima dan aku kembali terima kembalinya. Aku cuman bilang aku akan hanya turun diakhir perjalanan, selebihnya aku akan terus melangkahkan kedua kakiku pada pohon-pohon yang mulai terlihat.
Kebetulan yang aku duduk belakang sendiri...aku bincang dengan Pak Kondektur, berbincang tentang apa saja selama itu tidak bertentangan dan menentang peraturan.
Memang tak berapa lama, kebetulan menyambut datangnya pagi kesibukan mulai menjadi-jadi. Pak kondektur sibukkan diri dengan rutinitasnya, begitu pula aku demikian terkantuk-kantuk menahan kantuk yang mulai membuat aku suntuk kembali.
Terkantuk, kemudian terlelap dan lalu tersendat karena jalan yang aku tempuh tak selamanya lurus dan mulus. Dan yang terjadi aku tak nyaman selama aku tak menganggapnya sebagai kebahagian yang aku tempuh. Itulah kataku yang ingin mencari pembuktian membenahi kebimbanganku yang terkoyak.
Aku terus bersanding dan mentari terus meninggi. Agaknya silau yang menembus kaca agak lusuh...mungkin lelah menghitung hari. Gentar sudah berkepanjangan mengukur aspal dan menerjang angin...membuat aku selalu dan senantiasa terjaga.
Aku sama bingungnya dengan angin yang berputar, ke sana dan ke sini untuk kembali lagi. Akankah aku kembali? Aku jadi bertanya-tanya sementara itu aku mulai masuki dan rasuki kesempatan yang kedua.
Oh yaa...semalam aku ngelamun tentang apa sih?
Aku heran dan keherananku yang membuat aku bertanya-tanya. Disuatu ketika aku pernah menghembuskan angin daripada ketikanya yang lain aku tarik kembali, apakah yang didapati?
MERAMU IMAJINASI
Hari Minggu ke mana Yaa?....sebaiknya aku harus ke mana?
Apel...ke mana? Aku belum berpikir sejauh itu, untuk ke sana belumlah sampai ke sana. Masih jauh perjalanan, belum terlintas sebelum aku merasa sampai setengah perjalanan...lalu!
Ke pantai...tanpa menyadari sering aku hampir terlelap, kalau ke gunung diperlukan jalan yang terjal dan berliku. Mungkin saatnya hari ini aku menabur garam-garam yang lain yang dapat kuinsafi dan apakah itu dapat diberi sebagai yang tiada pernah jemu?
Ke 'Bunbin' alias Kebun Binatang...aku merilisnya sambil melangkah pergi. Aku rasa tanpa mengecilkan angin laut dan angin gunung, waktu yang tepat menengok kumbang beserta saudaranya dan saudara-saudara kita yang lain. Perlulah kita untuk tetap jaga komunikasi dan silaturahmi agar selalu terjalin keakraban dan tali kasih.
Maka tanpa ragu aku gayuh ke sana dan kini aku berada sudah dikomunitasnya. Selamat pagi...aku sapa semua saja sambil merekah pergi menuju tempat-tempat yang mungkin bisa kuajak bicara dan membuatku tersadar.
Pertama dan selanjutnya, tetapi sebelumnya aku setelah melewatkan pintu masuk...disambut sudah sepupu-sepupu kita. Dengan ramah kita menyimak mereka dan dengan ramah kita disambut mereka. Kita berjalan seakan awalnya mereka yang mengitari. Kita duduk mereka menghibur dengan lompat-lompat tali, tapi apakah yang telah kita saksikan ada di telinga jua?
("Ma...mama kenapa burung-burung itu, sakit yaa?")
Aku melengok dan aku berubah arah. Mataku dan segenap indera, baik yang mendengar atau yang lain berubah solidaritas ke arah ke bersihan suara anak itu. Dan akupun menyisir jejaknya selepas mereka tinggalkan jejak yang tak terlupakan.
Indah...aku foto dan jepret, setelah itu aku perhatikan dengan posisiku yang setengah melotot. 'Cenderawasih' (di papan tertulis begitu) datangnya pula dari bumi cenderawasih sana.
Saat itu aku berpikir, kenapa dia ada di sini? Dan akupun berbalik ke arah diriku sendiri, bagaimana jika aku sekarang dipaksa untuk hidup di kutub utara seorang diri?
Mungkin itu keputusanku yang berpatokan sepihak, aku berharap dari yang sepihak itu ada orang-orang lain yang mengikuti pihakku. Seperti...seperti sunset yang akan selalu diikuti bintang dan bulan, nah itulah yang aku maksudkan bukannya menjadi pengikutku atau aliansiku...aku tak butuh pengandaian yang semacam terakhir aku sebutkan.
("Hore...hore...!!!) ooeeh...ramai sekali! Â Sekali lagi aku terguncang oleh teriakan anak-anak yang dengan riang dan gembiranya mengabadikan waktu mereka. Saatnya mengubah pandangan untuk memastikan apakah gerangan yang membuat mereka begitu bersahaja dan berteriak kegirangan, mungkin saat yang tepat menghabiskan pikir bersama mereka...aku akan mencari dimana tempat itu berada.
Oh di sana...tapi aku kira sedari nanti tempatnya akan tetap di sana, kenapa aku berpikir seperti itu? aku rasa darahku tersisih dengan perlahan dan akhirnya mendidih menyaksikan kandang cukup menjanjikan di hutan depan itu.
Lumayanlah...aku bisa melihat dari dekat kebuasan-kebuasan mereka. Aku bisa pancing dengan ikan segar mungkin, bagaimana mereka bergerak lincah mengikuti insting mereka meredakan gejolak dan ambisinya. Saat terbaik berbagi cerita, jika tidak sekarang mungkin aku takkan pernah tahu karena seseorang yang mau tahu tidaklah berarti harus tahu sekarang.
Terang...selama ini aku cuman lihat kelihaian dan kecerdikan mereka dari sirkus. Aku tidak pernah tahu awalnya, bagaimana terjadinya proses yang demikian cepat menyatu. Dari sana aku berharap dapat menyatukan visi dan misi ke depan.
Di sana ada macan, singa, gajah, juga keras dan monyet dan lain-lain. Pokoknya ada dalam satu kandang dan terkadang membuat aku iri dan tak bisa berbangga diri.
Sebentar...dalam kesementaraan aku lihat gerak lamban mereka. Tidak ada darah, tak ada pula air mata...itulah jawabannya. Aku sempat berpikir, karena bantuan tangan kitalah mereka jadi seperti itu, tapi kenapa kita tidak? Apakah perlu mereka yang ganti balas jasa melatih kita? aku kira kita tak perlu malu jika memang itu jalan yang terbaik, karena adanya apa yang terjadi pastilah ada yang menyebabkan terjadinya.
Mata...agaknya mata ini yang hanya mampu memandang. Dan aku berusaha untuk memandang ke arah yang lain pada saat bersamaan...saat bersamaan bukan sekali tempo atau satu persatu.
Saking penasarannya, aku ingin berteriak sekencang dan sekeras-kerasnya. Aku ingin seluruh penghuni tempat ini dengar keluh dan kesahku yang tak berkesudahan. Aku ingin dan aku ingin redakan kedukaanku yang kalau aku biarkan bakal menjelma jadi amarah.
Jika aku marah, tentu orang-orang akan dapat bercerita...tapi bagaimana bila saatnya tiba 'mereka' yang marah? Sebelum kita berpikir sejauh itu untuk ke arah sana, apakah mereka pernah memulai marah-marah sebelum kita yang memarahi mereka?
WAKTU
(Ku...ku..ruyuk...!)
Itulah bunyinya. Ayam jantan berkokok dan akupun berkoar hari telah pagi. Aku benahi selimutku dan kemudian aku gosok mukaku dan sekujur tubuh serta jiwa dan raga dengan air suci dan mensucikan.
Karena aku tinggal seorang diri, aku mulai dari diriku sendiri. Udara pagi, kapan lagi kalau bukan di pagi hari...pikirku waktu itu. Kalau enam jam ke depan, namanya bukan lagi pagi, jadi apa yang kutunggu...apa yang akan kutunggu?
Kau tahu apa yang aku tunggu...aku ambil kunci, aku nyalakan sepeda genjot dan sepasang sepatuku membawa menjajaki jalanan yang masih menyisakan hawa dingin. Wonderfull...! Pikirku saat itu. Aku kira aku bangun paling awal, ternyata paling akhir dibanding sama rumput dan rerumputan yang tak pernah tidur...lihat mereka lebih dulu menghijau dan menorehkan bakti!
Wonderfull...! Bentuk keherananku yang artinya aku belum pernah tahu seterunya atau bisa juga tak pernah tahu.
Aku lanjut menggayuh sepedaku, menaiki tebing berbatu dan menuruni tebing berbatu pula. Di sana-sini tanah di sini tak pernah kutemui kerataan dan keseragaman. Jangankan pada tanah-tanah itu, aku sendiri sering menemukan diriku yang tak sama ratanya, jadi apa yang kuketahui kalau begini kejadiannya?
Dingin masih juga dingin. Kabut masih juga belum diberi nama lain oleh orang-orang, begitupula aku. Kabut pula yang mengelebatkan seorang rupa memunculkan sosok bayangan putih nyaris aku tak kenal, selanjutnya?
Lengkap sudah dan langkah berikutnya aku lengkapi dengan embun-embun yang menetes. Terus aku bergerak dari satu tempat ke tempat yang lain, dinding-dinding terjal menunjukkan betapa kuatnya dunia mencengkeram jendela-jendela mereka...lukisan alam yang indah menurutku.
Pertanyaanku, apakah kau sudah tahu atau apakah kau tahu isi jurang-jurang itu? ketahuilah kedalamannya dengan ketepatan ukuran rata dan rataannya!
Berkelana di pagi hari begini agaknya lebih mengasikkan. Aku tak merasa panas atau kepanasan, dinginpun perlahan mulai sirna. Aku bisa melihat perlahan sang pagi menyembul dari balik bukit sana, memangnya ada yang salah?
Makin aku tanjak sepedaku ke atas...mumpung masih segar aku beringsut dengan alasan. Nanti, jika aku sudah ingin pulang, tinggallah aku kayuh sekali dan laju sepeda kumbangku menjadi lari sendirian. Saat yang lelah, saat untuk beria-ria dari atas sepeda yang dengan sendirinya melaju.
Stamina tetap terjaga dan hatikupun senang sehingga besok di hari yang lain aku menikmati hari dalam bentuk lain pula. Jadi, dari apa yang aku tahu hari ini membawaku memahami ketidaktahuanku di esok hari dan mengilhami ketidakmengertian di hari yang lalu.
Look...look it is! Lihat bukan? Bukankah kamu sudah lihat? Seharusnya lihat, tapi apakah kau tahu apa yang aku maksudkan?
Aku teguk dulu sebotol air mineral yang memang telah aku persiapkan sejak kemarin. Dari atas bukit ini aku singgah sebentar dan sebentar kemudian aku dapat turun dan pulang.
Nikmati sajiannya dan sajikan kenikmatannya. Satu teguk lagi daku harapkan memberiku kenikmatan yang lebih. Konsistensi yang demikian mungkin akan berkurang diwaktu yang akan datang dengan segala pucuk-pucuk kemungkinan yang ada. Seperti, seperti pucuk-pucuk pinus itu yang mengontrol gelombang malam dan siang, tapi apakah kau pernah tahu apa yang dirasakannya?
Aku kira 'take a rest' aku sudah cukup, maka aku cukupkan sampai di sini. Saatnya ambil waktu yang lain untuk pulang, aku masih butuh banyak waktu untuk mengerjakan yang lain, bagaimana denganmu?
Lantas aku ambil posisi dan posisiku yang begini yang akan mengantarkan aku. Aku harap demikian dan demikian harapanku dengan sepasang roda terus menggelinding perlahan menurun mengikuti yang semestinya.
Lambat aku memang sengaja perlambat dengan pasang rem, yang semata aku perlukan saat itu kenyamanan. Aku berkendara untuk cepat saja aku bisa, lantas untuk lambat kenapa tidak? Kan sama saja...hitung-hitung perbedaan implementasinya saja.
Wuuussss....wuuuus.....suara angin, memang! Demikian aku menirukan dengan tiruan aku. Terkejut aku melihat dua anak muda memacu sepedanya menuruni bukit ini dengan fullspeed...namanya juga anak muda, mereka merasa nyaman pula dengan mereka lakukan.
Kau duluan, nanti aku tunggu di bawah...sapaku yang dikejarkan ke telinga mereka dengan angin. Aku lambaikan tangan dan demikian pula dengan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H