Jawabnya Bapak Nur, sambut kemunculannya jauh-jauh hari telah muncul. Jangan pernah anggap nggak ada, justru ada sebelum kita ada. Selesaikan dengan penuh kesadaran, sadarkan dan sadarlah di belakang sana ada titel yang diundang jauh lebih baik daripada kita harapkan. Sesuatu lebih yang terkadang sampai saat ini belum dimengerti.
Kita duduk lagi dan kita memandang lagi. Kita duduk, kita pula berdiri tanpa harus beranjak darimana kita duduk. Kita tidur dan tenggelam tanpa harus menutup mata dan mengubur diri dalam lautan pasir. Kita berayun dalam sikap diam untuk temukan sisi-sisi yang mungkin pernah terucap saat memandang sunset di barat sana.
Mentari yang telah bulat dan utuh. Mentari dengan sinar jingga masih juga lebih tinggi darimana kita berpijak, masih juga terbaring dan terlentang di langit sampai akhirnya dengan sendiri tak lagi menyaksikannya. Hanya kita sendiri belum mencermati kemanakah hilangnya padahal semua telah tahu esok pagi mentari kembali di ufuk timur sana.
Sementara, tinggalkan urusan-urusan lain, tunda dulu. Kita lihat dan kita saksikan sementara kita tinggalkan sejenak kepadatan yang telah ada. Lebih lanjut, lakukan yang ada pada saat ini, jalani saja dan lakoni saja sebagaimana mestinya.
Mestinya dan lain sebagainya Bapak Nur dan Nur menurunkan bekas pandangnya. Mereka lihat rumput-rumputan yang tetap hijau, daun-daun yang tetap hijau pula. Ranting-ranting dan daun kering luruh, embun pagi esok harinya menetes dari pucuk-pucuk daun.
Seribu seratus dan lusinan di kepala mereka. Satu dua dan tiga yang bermain dan bernyanyi. Sepintas, hitungan belasan dan sementara diaturnya berlari dan bersunyi diri. Keteraturan membuat apa yang membuat keterakhiran menjadi lebih teratur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H