Pahami...bandingkan bagaimana dengan rerumputan terlihat, apa bedanya dan bedanya apa dengan pepohonan yang tinggi? Sesederhanakah bedanya, ternyata bisa sama bilamana bisa berbagi ceritanya, hanya antara berpayung tidaklah membedakan.
"Kamu ngerti maksud Bapak?"
Menggeleng...Nur banyak menggeleng, sedangkan sang Bapak terus tersenyum. Ditambahkan lagi, inilah realita bila masing-masing tak saling pahami. Bilamana sebaliknya, mungkin ini takkan pernah terjadi. Semua akan dapat saling berbagi cerita saat-saat mentari bersinar ataupun sedang redup menatap mega.
"Nur makin nggak ngerti."
"Nanti...kita sedang belajar, Nak!"
Dengan sendirinya kelak dewasa, kelak waktu jualah menguji kedewasaan berpikir, juga kecermatan dalam bertindak serta tingkah laku yang akan diambil.
Kejar lagi setoran...lagi lihat dan terus pandangi bukit hijau di depan sana. Apa yang dapati dan dapatkan tertanam di sana jauh hari sebelum kita bertanya, entah itu kepada siapa.
Bukit sana tak hilang seandainya kita hilang tak kembali. Tapi, bila dia yang menghilang mungkin kita juga akan hilang. Kita nggak ngerti apa yang ditanamnya dan untuk apa tumbuh gundukan tanah itu, kok bukannya di sini di tanah yang lebih rendah?
"Apa yang kau lihat, Nur?"
Cuman itu...cuman itu ada pada tatapan mata Nur. Dengar jawaban anaknya, sang Bapak mengiyakan senyum manis. Ditebarkan seantero penjuru bumi sebagaimana diceritakan si Bapak untuk belajar senyum itu sebagian dari mereka. Sebagian lagi dari sempat yang terpungut sembarang tempat berikan, sungguh berikan bukan sekedar berikan, tapi sungguh berikan.
Tanpa terasa siksa hati Nur lenyap perlahan. Perlahan tergantikan dengan khayalan menuju atas bukit. Remang nada senyum tak perlu cari laju, sesaat kemudian akan terenggut di hati.