Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hanya Rindu

21 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 21 Mei 2023   17:56 504
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HANYA RINDU

MBAH HAR -- WAHYU

"Lik...ono opo?"

Aku hanya mengusap pipiku. Setidaknya dua tetes air mata tak sengaja aku biarkan menggantung di pelupuk mata. Di sisi kanan dan kiri langit mataku tampak sembab. Dan aku tidaklah menangis saat ini. Aku hanya rindu...

Siang itu di sebuah warung wedangan hik...

Di sini adalah tempat favoritku napak dan tilas perjalanan. Bercerita tentang masa mudaku dulu, sekarang dan tentu saja harapan-harapan beserta angan-angan. Sedikit bicara masa lalu, setidaknya aku akan bercerita pada teman-temanku aku pernah hebat. Aku pernah songong dan sombong jadi salah satu penantang dimensi antar waktu. Aku pernah congkak pada dunia mampu meruntuhkan dominasi orang-orang tua yang lebih dulu terlahir.

Masa lalu dan masa muda kental  aroma ambisi  yang di atas aku bahas. Dan pada akhirnya harus kuakui waktu tetaplah waktu, yang terus meninggalkan rentetan peristiwa...meninggalkan "sesungguhnya demi waktu dalam kerugian". Pijakan yang seyogyanya mengantarkanku lebih baik dan kokoh, harapanku dengan cara pandangku. Opiniku...

Di sela waktuku, aku kerap ngetem di sini. Ala kadarnya mengisi perutku dengan sebungkus nasi kucing, atau semisal kondisi sulit cukup segelas air teh manis hangat dan terkadang air es teh manis. Tapi sesunguhnya tetap luar biasa...nikmat apa yang dapat aku dustakan, diantara panas terkadang menyengat, pula terkadang redup karena mendung mengarah hujan. Selalu aku renungkan sepanjang perjalanan hari-hariku. Alhamdullilah masih ada kesempatan dan waktu buat aku...

"Itu brow....!" sembari aku menunjuk ke arah seberang jalan sana. Dan sekali lagi aku menutup mataku. Sedetik terpejam untuk membiarkan air mataku menetes. Untuk berikutnya merelakan jatuh kembali ke pipi, lalu kuusap, kataku ikut terbata-bata.

"Sabar lik!" aku tidak lihat ada atau tidak orang-orang di sekelilingku, seputarnya dingklik tempat duduk. Perasaanku sedang tidak terbawa pada mereka, tetapi yang terlintas dipandanganku adalah dua sosok dewasa dan seorang anak kecil di seberang depan sana.

Kuteguk segelas teh hangat disampingku, aku teguh lagi seteguk cukup. Satu teguk sruput, lagi dengan harapan melegakan hatiku.

("Bapak apa kabar?" jerit suara hatiku dalam hati).

Hari ini aku mencari segumpal tanah yang tersisa. Hitam dan kecoklatan, tidak ada nampak di mata temukan putih mewangi. Dan biarkan aku sendiri menyendiri bersandar pohon kamboja. Di sini aku mencari kedamaian sepi. Mencari teman sejati, hadirkan cerita biar sepi melangit meninggalkan setinggi langit.

Kembali menyongsong senyum yang hilang. Jarene koncoku " tiap anak tangga yang aku pijak, memiliki sudut kemiringan tersendiri, jadi jangan bandingkan sama ratanya."

Persis, jauh waktu berpijak aku lalui.

Kembali ke cerita di angkringan. Aku lanjutkan cerita...

Segelas teh, sederhana. Diam-diam aku membuka HP, mengambil potret kejadian. Sedikit buram, terlepas jarak di seberang jalan, pula kondisi HP karena rentang waktu terlalu jauh.

Selang berganti sepeda motor lalu lalang, gerobak-gerobak besi melintas diantara perih yang tidak terasa, adapula irisan pejalan kaki sedikit sekali melintang. Tapi sekali lagi, gambaran itu yang bukan aku ingin ungkapkan.

Perasaanku tergoda bukan karena sesosok sijoli bergoncengan. Perasaanku yang mengatakan sekali lagi, hanyalah mendekap rasa lelah dan rindu.

Kembali...aku pernah jadi anak muda hebat. Berdasi, rambut klimis. Kerja di ruang AC dingin selalu rapi dan wangi. Seolah-olah "Dewa Penolong", tiap orang datang membutuhkan tanda tanganku, aku orang yang bisa memberi solusi keuangan dengan berdalih  mengembangkan usaha memberi suntikan modal. Pula menambah pundi-pundi digit rekening, boleh jadi sebagai simbol emas yang memberat di kantong. Sekilas saja, selebihnya tidak aku ungkap di sini karena aku hanya rindu....

Sebuah bus dari kejauhan melambat. Awalnya aku berpikir, biasalah bus sedang akan menaikkan penumpang atau menurunkan penumpang. Bus favoritku yang setia kala dulu menyusuri malam gelap malam terkadang berkabut putih. Memberikan sedikit dorongan untuk selalu berjalan di sebagian malam, karena saat hujan dingin lawan-lawanmu sedang tidur. Saat itu kamu bisa melaju lebih kencang meninggalkan seorang diri tanpa sisi panas yang menyebabkan kemacetan. Tersenyum aku teringat "Tertimbun Sampah Jabatan" aku menyebutnya. Aku salah waktu itu memahami gelap malam.

Yang jelas aku bersyukur, di angka menjelang ke 40 aku di sandarkan pada pohon Kamboja, pohon yang sekarang sedang aku sandari. Di sini titik lemahku mencari keseimbangan karena panas hari dan hujan yang berlebihan.

Restu...menghampar permadani. Hasrat berjalan, surga membayangi bumi. Warna yang meyakinkan aku untuk luruh bersama. Setetes air mata terucap. Rindu...bersahaja mendinginkan suasana hati, menjerit sukmaku memaknai.

Aku tidak peduli orang lain menganggapku lemah dan atau cengeng. Aku tidak ambil pusing dengan orang bicara apa, aku ora ngagas...aku hanya rindu!!!

"Semoga ini tangga yang benar dan tepat menuju puncak yang harus aku gapai!"

Kembali ke Angkringan..

Aku menyaksikan, mataku kuat-kuat melihat. Jiwaku mengelus dada berdebar. Telinga mendengar degub jantung. Lemah bibirku berseru teriak dalam riak tanpa suara. Dan aku mengulang peristiwa selepas tadi, aku sendiri merasakan sesuatu yang lelah hilang dalam diriku. Dalam lubuk hatiku, aku hanya ingin "engkau tenang dalam damai". Bapak, aku hanya rindu.

Hilang dan hampa. Semua begitu terasa setelah semuanya tiada. Setidaknya janjiku akan kujaga dalam ingatan senyum. Akan kupegang tangan kasarmu takkan kulepas. Sampai nanti, keriput pipimu adalah gambaran perjuangan.

Kembali ke bus yang perlahan berhenti...

Sesosok anak kecil berlari menyambut uluran tangan yang keluar dari pintu depan sebelah kiri. Tertawa dalam gendongan peluk erat berseragam biru berlebelkan bad nama di dada kiri dan kondektur di dada kanan. Haru bahagia, aku terbawa rindu. Tidak sanggup menuliskan dengan tinta, kecuali kata "Rindu".

"Bapak, maafkan anakmu, anakmu tidak bisa menyediakan sepotong roti tiap hari!"

(Semoga menjadi jalan cahaya)

Allahumaghfirlii wa liwaalidayya warhamhumaa kamaa rabbayaanii shaghiiraa - Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku, kasihanilah mereka sebagaimana mereka telah mengasihiku di waktu kecil

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun