Mohon tunggu...
WAHYU AW
WAHYU AW Mohon Tunggu... Sales - KARYAWAN SWASTA

TRAVELING DAN MENULIS

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

TTK (Pelabuhan Ratu-Perjalanan Senja)

14 Mei 2023   18:00 Diperbarui: 14 Mei 2023   18:03 499
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

T.T.K (Pelabuhan Ratu -- Perjalanan Senja)

Mbah Har - Wahyu

"Aku tahu sesungguhnya bilamana doaku dijawab, yaitu bilamana aku telah menerima segala ketetapanNya (Allah) dengan Ridho"

"Rindu bersabarlah, ketahuilah tempatmu ialah di ruang rindu"

Dan perjalananku hari ini adalah mencari ruang rindu. Tepat di tanggal 17 Romadhon, semoga membuka mata hati ini, semoga alam semesta bergembira setelah apa yang aku alami.

Sengaja aku memutar arah. Seperti hanya aku melawan angin, sebut saja demikian aku mencari damai. Biarpun sekarang malam hari (Jam 0 lebih sekian), aku lebih suka menyebutnya perjalanan senja. Terlalu dini belum, terlambat aku tidak mau mengatakannya demikian. Kembali sekedar bertanya saja waktu tak pernah memperlihatkan wujudnya, tapi tanpa ragu meninggalkan dalam kerugian. Sepertinya halnya pula angin menggerakkan pepohonan tanpa terkuasai tangan-tangan dan akupun tak layak membencinya. Bulan purnama ikhlas menyinari bumi hijau sepanjang masa.

"Jika aku terus di sini, maka sama artinya aku menjauh dari hujan"

Sungai aku bawa sampai ujung mata. Tanah merah puncak aku lalui. Hamparan panorama Gede Pangrango gagah berdiri menantang. Tak luput pesona Gunung Salak menasbihkan hawa dingin turun menusuk ke jiwa-jiwa yang panas. Dan kebun teh adalah dinamika sisi hijau tertutup selaput.

Saat ini aku tidak mencari arah, tetapi mencari makna. Nyala sepotong lilin terpancar mata (redup). Gandeng tanganmu, lepas penat.

Bisa saja lepas Tol Jagorawi tepatnya di exit Tol Ciawi aku ambil arah luruh menuju Sukabumi, atau lebih tepatnya Cibadak tanpa melewati kota Sukabumi untuk selanjutnya berbelok kanan menuju Pelabuhan Ratu. Tapi seperti aku bilang, aku memilih ambil kiri naik ke Puncak dan turun di Cianjur. Selanjutnya Kota Sukabumi dan lanjut Pelabuhan Ratu.

"Sebelum cahaya, aku ingin melihat angin membelaiku, cukup bagimu hadirku"

Selepas Sukabumi aku lebih prepare dengan jalur utama. Ada alternatif lewat Cikidang, tapi tidak aku tempuh. Teduhku di sini, menemani, bercerita duduk bersama tanpa mempertanyakan banyak hal. Cukup sudah melihat ilusi tembus cahaya. Aku dan langkahku menggenggam erat tangan putih untuk menuntaskan pencarianku dengan disaksikan pengantin tanah timur dan pengantin tanah barat.

Api tanpa asap, cukup sudah! Cukup kebohongan membeli mimpi. Dari sudut mata tersorot aku coba ingat semua. Sesak di sini tersulut sudut dunia. Mimpi terbangun hanya untuk sementara, hati menawarkan suasana tanpa batas rindu.

Tiba juga aku di Pelabuhan Ratu. Perjalanan panjang begitu melelahkan. Dan aku yakinkan diri, aku tak akan pernah berhenti. Semua tempat telah aku jelajahi, semua orang telah aku tanyakan demi mencari keberadaanmu berada. Dan tinggal tempat ini yang belum aku jelajahi, untuk menjelaskan tentang harapan, tentang keinginan dan tentang beda dengan dorongan nafsu. Atau hempasan kabut malam terhempas apa itu kepastian cinta atau sesuatu yang membuatmu cemburu. Dan aku yakin di tempatnya.

Pantai Citepus, di Jl.Raya  Pelabuhan Ratu-Cisolok Sukabumi. The Legend "Samudera Beach Hotel", sejenak aku berhenti sekedar menghilangkan gambaran lalu.

Ombak berkejaran menghempas, bercumbu berbisik dengan pasir. Langit berpelangi jingga hingga ungu sesaat angin menerbangkan air berpadu dengan awan. Di sini bisikan kecil tapi lugas seolah mendengar namamu memanggil, seketika sukmaku melambung. Benar adanya mengusir sepi menggubah dunia....senyummu.

Teringat kata seorang teman "Nikmati hidupmu dengan menghadirkan diri sendiri". Senyum sepertinya bisa pasrahkan keinginan hidup alami. Sekali lagi pohon kelapa di hadapanku bergerak karena angin cukup menunjukkan eksistensinya dengan gerak suara tanpa wujud (seperti hadirmu saat ini).

Kepada hati ini, senyummu lebih terasa teduh. Kerasnya batu karang mampu aku sentuh, betapa diriku tak berdaya melawan kelembutan. Aku adalah burung kecil dimana ragaku adalah sangkar, dan sekarang aku telah terbang meninggalkan sangkarku. Kepada hati bawalah aku dimanapun kau akan berada nanti.

Antara rindu, di jejeran utara aku melihat barisan bukit seperti bayangan. Garis pantai pantai panjang tidak memilih kepada siapa menilai. Tak menyapa, tapi menjaga hati bersih tanpa tersakiti. Hujan turunlah, karena mendengar namamu adalah kepastian.

Menerawangkan pikiran sudah tidak pada tempatnya lagi. Langkah setapak pasir pantai kian dekat dengan waktu. Seruling sunda "Si Kabayan" soneta ke arifan lokal pendengar diantara gelombang tinggi menggerus kecongkakan.

Kubayangkan dan kurasakan angin bertiup di sisiku. Matahari dan bukan beredar menurut perhitungan. Tetumbuhan dan pepohonan menundukkan ranting dan daunnya. Cerita siang pula malam dipermulaan waktu.

Aku berlari menyongsong ombak. Kulepas alas kaki di jalanan beraspal. Aku tanggalkan topiku, kubuang jauh-jauh kacamata hitam selama ini sebagai celah sembunyi melirik mata dari kenaifan.

Di sini, di atas karang aku berteriak lantang. Apa yang aku cari telah aku temukan. Tempat terakhir, tempat yang hampir terlewatkan karena panas dan gemerlapnya Jakarta. Tangan putih itu terbentang diantara langit yang telah ditinggikan dan bumi yang telah dibentangkan.

Mendongak ke langit, mengangkat tangan pagi yang indah sekali. Berteriak melepas isi kepala, membawa hati bernyanyi. Lelah, aku rebahkan di tanahmu biarkan ombak mengubur bersama pasir pantai nanlembut.

"Aku akan mengambil waktuku, niscaya aku akan menerima waktumu"

Aku tidak akan pernah takut menyelam ke laut luas, tetapi aku akan berkata takut jika harus menyelam ke laut ganas. Terima kasih telah memberi jawaban untuk melepaskan. Bawalah yang kalian butuhkan, bersiaplah untuk ke sana. Ketahuilah jangan anggap kematian adalah abadi. Katakanlah kematian adalah kehidupan lain yang sangat didambakan. Dan kematian sendiri hanyalah perpindahakan dari satu rumah ke rumah yang lain. Semoga itu yang aku rasakan.

"Kata-kata terakhirku adalah Assalamu Alaikum Wr. Wb."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun