Mbah Har - Wahyu
Hari ini hari Minggu. Hari yang indah, bagi pelajar. Selama seharian mereka akan terlepas dari tugas belajar mengajar di sekolah. Biasanya kesempatan begini dimanfaatkan untuk membantu orang tua atau sekedar bermain menghabiskan waktu, mungkin juga diisi dengan hal lain lebih berguna.
Jam dinding bertalu enam kali, berarti waktu telah menunjuk pukul enam pagi. Suasana tak lagi berkabut, kabut dingin telah kembali ke gunung. Mentari perlahan menyusup menunjukkan sinarnya, burung kenari penghibur hati menyongsong hari.
"Ibu...Ibu!" Kata Andi
Berkali...bukan sekali atau dua kali anak itu memanggil ibunya. Namun tak kunjung jawaban yang menyenangkan hatinya. Andi, itulah namanya. Anak kelas empat, dimana tiap bangun hanya 'ibu dan ibu'.
Andi dan keluarga tinggal di sebuah desa kecil, jauh dari kehidupan kota. Andi tinggal bersama ibu dan Masnya.
"Mas....!" Sekali lagi Andi memanggil, yang dipanggil juga tak nampak batang hidungnya.
"Mas sudah pergi!" Kata Andi mengguman seorang diri.
Andi dengan cekatan bangkit dari kasur bambunya. Andi sadar betul dengan lingkungan di sekelilingnya, tidak ada gunanya berteriak-teriak. Pertama yang dikerjakan adalah ke belakang, membersihkan diri sekaligus menengok keberadaan kerbaunya di kandang.
"Si Hitam" begitulah Andi memanggil. Saben hari kebutuhan Si Hitam dipenuhinya, jangan kata kelaparan, kekenyangan pastilah. Tubuhnya yang gemuk dan subur adalah bukti betapa Andi tak pernah lupa memberi makan tiap waktu.
Pagi, siang dan sore, rutin. Dengan suka cita. Kemudian Andi masuk kembali untuk sarapan. Sarapan seadanya telah disiapkan Ibu tercinta sebelum ke pasar. Apapun adanya, patut disyukuri dan yang lebih berarti adalah ungkapan kasih sayang tulus.
Merasa cukup kenyang, Andi ambil ancang-ancang. Ngacir ke sawah nyusul Masnya, sampai-sampai lupa membersihkan kamarnya yang acak-acakan waktu tidur.
SI Hitam juga telah sarapan seperti tuannya. Si hitam tidak seperti kerbau-kerbau lainya, yang orang mengatakan pemalas, pekerjaannya makan dan tidur. Tidak, Si Hitam menjawabnya dengan lantang, "aku tidak demikian".
"Et...hampir lupa!" Kata Andi
Andi merasa ada yang terlupa, apakah itu? Bergegas ke dalam. Kalung si hitam kemarin dilepasnya belum dipasaangkan kembali. Kemarin dilihatnya ada tanda-tanda talinya akan putus, jadi perlu diganti, daripada hilang.
"Hitam ini kalungmu, mana kupasangkan!" Kata Andi
Si hitam menjawab dengan dengusannya. Hati dan jiwa mereka telah menyatu. Mereka telah saling mengerti, sehati.
Andi meninggalkan rumah dengan santai. Tak ada beban terlintas. Si hitam yang dulunya kerbau liar, berkat sentuhan tangan Andi penuh kasih sayang, si hitam berubah menjadi penurut.
Angin semilir, cerah berkelap-kelip. Derap langkah meniti jalanan, menerkam menusuk batu dan rerumputan. Dengan mata terang, seterang matahari melintasi liku dan jalanan belum beraspal. Berlipat maju menyusuri tanah berlumpur sekiranya di siram hujan tadi malam membawa berkah.
"Ayo...Man!" Kata Andi
"Yaa, aku nanti nyusul!" Kata Parman
Terlalu mudah menghafal. Sungguh indah alam desa. Aktivitas pagi mengisyaratkan kami bukan bangsa pemalas, kami adalah pekerja keras dan ulet. Saling menyapa, karena kami adalah bangsa yang bersahaja. Saling menghormati, karena kami punya budaya luhur.
Ribuan sawah ijo royo-royo membentang, belok kiri dan kita sampai.
"Mas!" Kata Andi
Dekat nian alam pedesaan. Kicau burung bernyanyi, kubuka hatimu alangkah indah alam desa. Aneka di sekelilingmu terasa sejuk di hati. Karunia bagi umat manusia, damailah selamanya.
"Sarapan dulu, Mas!" Kata Andi
"Makasih Adikku!
bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H