"Tahan!"
Apa, tahan? Singkat jawab Bapak Nur kepada Nur. Tambah jadi-jadinya Nur menggerutu, segala apa yang dihadapannya ditendang dan dipukul. Mana hadap, entah itu kaleng-kaleng berserakan ataupun ranting-ranting singkong tak tahu menahu dibabatnya habis, bilamana nggak ada yang tahu dan bilamana perlu dijebol sampai ke akarnya.
Si Bapak lagi menggeleng. Hilangkan kemurkaan Nur dengan merangkul perlihatkan semua hatinya. Dikatakan pada Nur, kesombongan dan segala harta ada di sini dengan segala materi. Dan bilamana telah mencatatnya, takkan lelah bersinar dan mampu lepaskan terbang meninggi meninggalkan.
"Bapak ada-ada saja...ngapain kita kemari bicara soal harta, harta apa, Emas?"
Si Bapak senyum lagi. Nur hanya lelah belum siap untuk itu. Belum lagi dapatkan sayap untuk terbang dan wujudkan perjalanan. Tak usah pikirkan wujud perjalanan saat ini, kata Bapak Nur kepada Nur dan jalani saja jalanan yang terkira berbatu dan kerikil yang dengan sendirinya akan tunjukkan jalan ke sana.
"Bapak makin aneh sih, mata saja terkadang tak bisa melihat, mana mungkin batu dan kerikil akan tunjukkan jalan?"
Banyak senyum rupanya si Bapak. Tak terbesit sedikit asapun untuk  marah kepada anak semata wayangnya, justru makin dekap erat dan dibelai dengan lembutnya.
"Nur pasti lelah, kita istirahat sebentar di bawah pohon sana. Tapi, Bapak nggak mau dengar Nur bilang lelah atau capek!"
Tambah nggak ngerti itu anak. Capek yaa tetap capek, gimanapun lelah adalah capek dan harusnya istirahat. Apanya, bukannya melulu jalan yakinkan tunjukkan tempat buat berteduh.
Enak berteduh di bawah pohon. Semilir angin sepoi membelai. Pucuk-pucuk ranting nyanyikan denyut dan denyit derit-derit, begitulah kata Bapak itu pada Nur anaknya.
Nur makin heran dibuatnya. Mana tak ditemukan pohon, mana ada lagi ranting-ranting. Bukankah itu, anak dan bapak sedang berteduh di bawah gubug?