Tapi sayang Bus yang aku naiki hanya transit sebentar. Sebentar sudah tancap gas lagi, karena memang tujuan akhirnya Jogja. Bergegas seolah tak mau waktunya terlambat. Aku kira bukan soal setoran, atau bisa jadi mengejar waktu istirahat, tapi lebih tentang komitment dan tanggung jawab. Selebihnya seperti Bapakku sering bilang, Takdir yang akan bicara melalui kebijaksanaan waktunya. Di sini Takdir yang paling berkuasa.
"Wow" Aku duduk di Kursi Kanan, 3 set tempat duduk, dekat kaca supaya bisa menghitung kecepatan bus melewati tiap tikungan. Sejenak aku tengok ke kiri, ternyata ada mata yang mempesona. Kapan dia naik dan duduk di sebelahku? Apa juga ini yang sering disebutkan brow brow pendaki itu. Tentu satu diantaranya, diantara yang berjuta.
Satu kalimat aku tulis di atas pipikku, mbaknya cantik. Putih bersih. Wangi lagi, beda sama aku memang belum mandi dari kemarin sore. Kepagian aku sampai di Kota Jogja setelah menempuh waktu. Jk aku boleh bercanda, aku akan bilang "Aku siap puasa untukmu, asal kau tersenyum!"
Menghayal halu aku. Tak lirik aja tok. Toh sebentar juga berpisah menuju tujuan masing-masing. Cukup. Aku hanya akan bilang bodoh, jika Si mbak Cantik tidak melirik balik ke aku. Mungkin Mbaknya sedang sakit mata, aku tidak sombong lho.
"Jogja antara aku, kamu dan Cinta" kata Bapakku. Nanti aku akan temukan jawabannya. Aku menginjakkan kaki aja belum, kaki masih di atas kuda besi. "Jogja dan kehangatan angkringan akan  aku tulis di diare hingga aku pulang menjemputmu dengan kereta kencana kubawa pulang ke istana cinta...Aamiin!!!"
WAIT NEXT CHAPTER....COMING SOON!!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H