(1 September)
Mbah Har - Wahyu
Mengeruk Sang Waktu
Terdiam bukannya tak bicara, aku terperana bukannya terperanjak. Aku memandang di jelaga malam menghayati ke mana aku membawakan rintihan dan jerit serta tangis suara hatiku.
Memanjang lengkuas nafasku aku lakukan selagi aku mampu. Berpangku sebelah tanganpun selagi aku bisa. Dan memandang melalui bintik-bintik bening kenapa mesti aku sangkalkan.
Lepas dan terlepas, aku tak mungkin melepaskan antara hitam dan putihnya, antara angan dan kenyataan. Aku hidup di alam nyata kawan! Tetapi jiwaku selama ini hidup di angan-angan yang terpajang bak kaki langit biru menjulang tinggi.
DARI SINI
Duduk di tepinya Bengawan...kala pagi hari hingga senja hari hingga Adzan Magrib lirih aku dengar dari seberang desa sungai.
Senja dalam bidikanku, senja dalam arti aku yang tersangkut dalam akar-akar menjurus ke akar Bengawan. Aku yang bukanlah dalam arti kepura-puraan, tapi dalam proses menuju proses selanjutnya...yang selanjutnya...dan selanjutnya hingga kemudian.
Sini...tempat yang dingin dan beku. Di tepian bengawan ini, itu tidak malam dan itu tidak pula pagi. Pula siang, pula sore sama halnya aku menyaksikan seabrek benang-benang berkembengkan sutra ungu melintas di atas jembatan tempatku berpenjar.
Aku lihat ada yang berbalut wangi, aku lihat pula sebaliknya. Aku tatap mata mereka dengan memandang sedikit berani, sebaliknya aku ditakuti dengan nyala yang menyalak menggema di ujung jeruji air mengalir sampai tepinya laut.