CINTA UNTUK CINTA (Saatnya untuk pulang....)
Mbah Har - Wahyu
Telingaku jelas mendengar. Gema gaung Takbir bergema kumandang di lingkar langit dan bumi sepanjang tempatku duduk dan berdiri saat ini. Di kota ini dalam perantauan. Dan aku harus pulang ke rumah. Tempat yang membuat aku tenang, teduh rindang berteduh di suatu senja dan atau beserta remang menatap hujan turun di dalamnya.
Dengan mengusap bisik air mata turut aku lafaskan "TAKBIR".
Pulang adalah keharusan, karena pulang hakikatnya adalah tujuan terakhirku.
Angin dingin melukis. Menusuk nyeri. Sesaat aku lirik jendela kamarku. Luruh ke arah kanan atas. Bulan tidaklah nampak jauh, kutatap jauh tanpa berkata. Aku diam karena ada beban berkata tak bisa menunggu. "Kangen" genggang berlalu samar tertutup sederhana awan menggantung tipis hitam kelihatan karena gelap tanpa warna. Sepertinya mirip mendung menjulang, menjadi satu cerita malam telah beranjak pada porosnya.
Tapi itu bukan halangan, aku sudah memutuskan. Kutatap jauh, aku akan melawan takdirku untuk mengambil takdir yang lain.
"Melawan takdir, untuk takdir yang lain". Hatiku berdebar hebat. Kalimat pendek cukup terlontar. Antara hampa dan harapan. Teringat diantara ruang kosong yang tersisa sedang aku cari. Diantara sisi-sisi janji yang pernah menawanku, diantara catatan langitku yang pernah aku pinjamkan.
Dan diantaranya harus aku lawan, karena kusadari semua telah kucoba dimana diantaranya aq tak bisa menyingkarinya. Sunyi senantiasa sunyi dan sendiri. Walaupun sesuatu itu ada, sesuatu itu telah terjadi di hati ini.
Seperti halnya tautan di telinga, masih bisa aku tutupi dengan kedua belah muka tanganku. Endusan hidung merasa bisa aku kesampingkan dengan dua jari. Tatapan mataku masih bisa aku kaburkan juga dengan kabut-kabut tipis cahaya lampu kamar dan seterusnya yang lain masih bisa aku tepiskan. Tapi, hentakan hati walaupun hanya kecil lirih memanggil dengan nada pelan (hingga nyamuk sekalipun tak mendengar), sesungguhnya aku tak dapat ingkar.Â
Menyembunyikan kebohongan aku merasa tak mendengar karena sedang tuli atau mataku sedang buta, atau kulitku seperti tak tertusuk tusuk. Tak cukup aku tutup dengan keangkuhanku, sebelah ada rona bahagia melihatku dengan bahagia. Ternyata lilin kecil ini bercerita, berpijar memberi seberkas wejangan  "ternyata ada rindu tertinggal", selebihnya harus aku luruskan.
Yang telah menuntunku menuju separuh hidupku. Yang aku sadari atau tidak, telah menjadi sebagian separuh hidupku. Yang harus aku akui menerangi cahaya gelapku. Menjaga sepanjang hidupku untuk luruh diantara tikungan fatal. Dan itulah kenangan dalam bukuku yang terdalam. Tak akan hilang.
Alunan sampai sejenak hati terdalam baru aku sadari. Dalam hati ada satu bisikan suara ternyata pelita hidupku. Rembulanku. Senada seindah diantara ceruk pegunungan diantara keindahan lembah ngarai pepopohan hijau. Dedaunan tumbuh merumput di dahan dan ranting. Burung berkicau hinggap diantaranya. Seandainya berdua seimbang sudah di dalam hidup ini.
"Astagfirullah..."
Semilir bayu sejuk menyadarkan aku. Aku harus segera melahirkan perjalanan ini. Menuntaskan pengembaraan, menyempurnakan tujuan untuk pulang. Selanjutnya, aku akan dapat melagukan kedamaian, sekedar melahirkan lagu kedamaian. Melodikan syair penghapus piluku. Menggelorakan semangatku. Janjiku yang dulu untuk tersenyum mekar menghibur melihatmu bahagia.
Jam 19.00 selebihnya dalam hitungan menit. Selebihnya aku tutup pintu kamar rapat-rapat. Tak bersuara aku ayunkan kaki menuju cahaya luar nyata. Nyata menderu menuju perjalanan pulang yang aku janjikan.
Sendiri laguku
Kopi dan camilan wajib. Untuk kesekian kalinya nafas menghela. Memastikan angin masih berhempus walaupun sepoy panas kebisingan beradu. Sebelum subuh aku harus sampai (target), tidak ada alasan. Jalan tol membentang lurus tanpa celah kerikil. Kaki-kaki karetku terbilang muda dan umur tungganganku jauh lebih kokoh dari besi baja, selalu muda karena muda dan hidupku untuk cinta. Cinta adalah pelangi yang menyinari pandangan mataku menatap ke depan jalan berdebu. Terciptalah menyentuh pelukan.
Bismillah...aku tempuh perjalanan ini "Hanya untuk sekedar kau tahu -- Hanya ingin kau tahu". Malam yang aku pilih, terasa hangat membasuh tubuh. Melodi malam sengaja kuperdengarkan agar menyulut senyum mengalun mendayu bak simfoni dua hati.
Deru nafasku terdengar teratur. Katakanlah, sudah puluhan kilometer aku melangkah sudah. Diantaranya gema takbir diakhir Ramadhan tahun ini, diantara sekali lagi lagu lagu aku perdengarkan  untuk menggugah kehadiranmu disebelahku. Sengaja sampul biru pemberianmu sepuluh tahun silam aku letakkan di jok kursi sampingku untuk mendampingiku. Katakanlah kau menuntunku, sebagaimana kuakui engkaulah inspirasi  sehingga tercipta sejauh cerita hidupku saat ini. Kau bagian separuh nafasku.
Selebihnya jarak yang aku ambil, sesungguhnya menguras air mata. Mendekatkan dalam arti yang terindah. Sejujurnya itu hanya sehari saja, sehari saja bilamana waktuku cukup jauh.
Dan sepertinya aku telah menempuh perjalanan dengan menyisakan sepertiga perjalanan jauh. Memanjang aku lihat burung camar terbang bermain di deru air. Suara gitar alam elok memainkan rumusnya menyayat sembilu, mengiris kalbu.
Melodi...getar seluruh jiwaku takjub. Hati tertambat di pantai ini. Hatiku tertambat landai. Pasir terlihat putih tersaput air tersirami bulan memakan pilu campur bahagia perasaanku. Dan ternyata sejauh ini aku telah berhasil dengan takdirku.
Mengalun di kota ini, ada hati erat memegang lembut pasir putih. Membayangkan kemesraan bertulis "LOVE" dipasir yang baru aku tulis dengan jari jari ini tidak tersapu ombak pasang. Membayangkan "LOVE" tidak terbawa terbang membelah malam. Jauh terbayangkan abadi terpatri dilihat berjuta pasang mata esuk harinya, selebihnya aku buat cemburu berpasang-pasang burung camar. Damai...merepih bersama air.
"Sadar...!"
Di sisi lain aku harus tetap sadar. Tidak boleh bobo atau di nina bobokan. Halus senyap bergerak dalam lompatan langkah lebih jauh waktuku belum usai. Tak elok berhenti di pantai elok ini. Ini hanyalah gambaran saja menuju pantai yang sesungguhnyaa aku dambakan....aku idam-idamkan.
Maka, kubiarkan saja embun pagi membasahi kacaku...sesekali aku seka untuk tetap terbuka tali pandanganku.. aku harus mencapai "PANTAI PASIR PUTIH".
Kuteguk kopi. Mengemas hampa lautan api. Kucari ketenangan sepi diantara sepi. Mutiara hiasi, kembali dikau teringat teramat ingin jumpa lagi. Aku sengaja mengacak-acak rambut kepalaku untuk membuyarkan lamunan mataku...perjalanan belum usai.
Salahkan sendiri? Sendiri berjumpa malam panjang. Kesunyian seiring menyeribak. Lama mencari sendiri kenangan mutiara hilang. Dan sekali lagi terpaksa aku acak acak rambut kepalaku untuk membebaskan diri dari lamunan awan putih tipis...perjalanan masih jauh.
Aku tegaskan dengan dan sedang berteriak lantang, aku sedang tidak lelah atau letih. Aku pula tidak sedang luruh dan gugur layu. Aku akan menyegerakan diri dan terus berusaha tersenyum berdendang lagu. Hatiku untukmu, kembali untukmu kuserahkan.
Perjalanan berkembang hari baru menanti. Aku harus kesampingkan dulu target-target duniaku. Bebaskan dari emosi dan angkara. Apapun yang terjadi niatku kudu tetap lurus dan tulus datang seperti engkau senantiasa datang dalam mimpiku. Dalam matamu, wajahku kau tatap. Begitu pula laut wajahmu nampak jelas samar di mataku. Laju spedometerku saat ini untuk memastikan tiap detik waktu terlampau tidak seperti merah jingga atau ungu dalam mimpi-mimpi belaka.
Kusadari yang aku lakukan sekarang mungkin...sekali mungkin sekedar pasrah saja. Takdir telah diputuskan jauh dari mataku. Yang tergenggam tetaplah ketetapan yang terbaik. Nanar langkah ini hanya berkata "seandainya 25 menit aku jauh lebih cepat". Mungkin awan ini akan berarti berbeda, awan kota ini menyatukan hati dan hati tanpa janji-janji.
Nan jauh di sana, sabar hatiku selalu akan mengatakan "bukan salah cinta", sekali lagi waktuku yang terlambat. Hanya 25 menit kawan aku terlambat mendaratkan bibir ini untuk berani berkata. Dan itu adalah catatan.
Apapun adanya, jarak mungkin menjauh setelah 25 menit berlalu. Tetapi 25 menit setelahnya jarakku lebih dekat dalam arti sesungguhnya. Terima kasih cinta telah menginspirasiku, membebaskan untuk lebih dewasa.
"KOTA SANTRI AKU DATANG DALAM ALBUM KENANGAN...SAAT INI".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H