Gerimis tiba, rinainya perlahan mengecup atap asbes tanpa suara, jejak jejak basah berkumpul mengalir tumpah melalui sulur-sulur bunga.
"Hujankah di tempatmu?" Sebuah pesan masuk ke fb messengerku.
"Yups...kenapa?" jawabku spontan.
"Di sini hujan baru saja usai, meninggalkan genangan di mana-mana," jawabnya, "Eh... Terdengar ramai suara kodok jantan menebar pesona. Aku jadi ingat kamu..hi hi hi." pesanmu masuk diikuti icon wajah tertawa lebar.
"Asyem...kok aku disamain dengan kodok..tapi ada benarnya juga sih..buktinya ada katak betina yang nyamperin aku via inbox...wkkkk.."
"Hi hi hi...iya ya.." Â kitapun tertawa bersama....
...................................................................................
Udara dingin bercampur air mengalir memenuhi teras rumah. Dua musim sudah gerimis datang menyapa, tanpa inboxmu.
"Aku kecewa dengan sikapmu"
"Lho.."
"Mungkin maksudmu baik, tapi tak seharusnya kau melakukannya."
"Duh...aku tahu, kata maaf saja tak cukup, tapi aku panik saat itu."
Kutunggu sejenak, tak ada reaksimu. Layar monitorku kosong, tapi kulihat warna hijau di akunmu, artinya kau masih ada.
"Aku sangat percaya padamu, aku bagai buku terbuka yang bisa kau baca kapan saja. Tapi kau salah gunakan." Akhirnya muncul juga pesanmu.
"Makilah aku sepuasmu, aku layak mendapatkannya." ketikku pasrah.
"Aku bukan orang yang bisa memaki." jawabmu
"Kau hilang mendadak, dan aku betul-betul panik, aku takut kamu celaka. Aku takut orang-orang papimu menangkapmu. Tak ada yang bisa kuhubungi, lalu spontan aku YM saudara kembarmu tuk menanyakan keselamatanmu."
"Itu kesalahan fatalmu!"
"Gara-gara YM-mu mereka bisa menebak dimana aku sembunyi. Papi dan suamiku terbang ke Paris, mendatanginya, dan menuduh dia melarikanku di depan jamaahnya." kata-katamu mengalir cepat, aku membayangkan betapa marahnya kamu saat ini.
"Lho, jadi kamu kesana? Bukankah sudah kuingatkan, lupakan dia."
"Tanpa saranmu, aku sudah berusaha melakukannya, tapi bayangannya semakin kuat melekat."
"Tapi kau sudah menikah...maaf."
"Aku hanya ingin melihatnya....sebelum ajalku tiba. Tidak lebih dari itu. Dengan menyamar, aku bergabung di jamaahnya. Melihat dan mendengar dia memberi tausiyah."
"Lalu," ketiknya, "saat aku merasa puas, dan memutuskan untuk pulang, bencana datang. Papi dan suamiku muncul dan marah-marah, hingga kuputuskan untuk membuka penyamaranku. Kubuka cadarku, lalu hampiri mereka. Suamiku kalap, menamparku, dan langsung menceraikanku saat itu juga."
Aku ternganga.
Gerimis berubah jadi hujan. Butiran air menampar apa saja dibawah.
"Bagaimana bisa mereka menebakmu ada di sana? Aku sekalipun tak pernah sebut tujuanmu."
"Gara-gara YMmu, ketika kau sebutkan namamu, saudara kembarku langsung teringat dia."
"Kok bisa?"
"Namamu dan namanya sama. Sam."
Hujan turun melebat, sungai meluap, mencipta banjir, menyapu segala, tapi tak mampu menyapu namamu.
Dua musim gerimis berlalu, aku bergeming menunggu inboxmu.
                  =====
Surabaya, 251016
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H