Oleh. Wira Dharmadumadi Purwalodra
Kekuasaan adalah salah satu tema sentral dalam filsafat politik, terutama dalam memahami bagaimana kekuasaan dapat diterapkan dengan bijaksana dan bagaimana ia memiliki dualitas yang mengundang kekukuhan sekaligus kerapuhan. Di sepanjang sejarah, banyak filsuf, terutama dari tradisi Islam seperti Al-Farabi dan Ibn Khaldun, yang mengeksplorasi gagasan ini dengan tujuan menjelaskan sifat kekuasaan yang sesungguhnya. Dalam konteks ini, menarik untuk mengulas bagaimana kekuasaan dipraktikkan dalam Dinasti Abbasiyah dan merefleksikannya pada kondisi kepemimpinan di Indonesia saat ini.
Dinasti Abbasiyah dikenal sebagai masa ketika peradaban Islam mencapai puncak kejayaannya dalam ilmu pengetahuan, kebudayaan, dan kekuasaan. Banyak khalifah kala itu menerapkan prinsip-prinsip kesederhanaan dan kebijaksanaan dalam memimpin. Al-Farabi, salah satu filsuf Islam ternama, menekankan pentingnya seorang pemimpin yang berwawasan luas dan beretika tinggi, menggambarkan sosok pemimpin ideal sebagai 'al-mudun al-fadila', atau 'kota yang utama', yang mana pemimpinnya bertindak layaknya jiwa bagi tubuh masyarakat. Ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang otoritatif harus senantiasa disandingkan dengan kebijaksanaan serta etika yang kuat.
Namun, dalam setiap kejayaan selalu tersembunyi ancaman kerapuhan. Ibn Khaldun, dengan teori siklus dinastinya, menekankan bahwa kejayaan yang tidak diimbangi dengan moralitas dan pemerintahan yang adil akan mengarah pada kemunduran. Pemimpin yang terlalu larut dalam kemegahan dan melupakan kesederhanaan mudah terperangkap dalam ilusi stabilitas yang rapuh. Kelemahan moral dan etika bekerja bagaikan rayap yang menggerogoti fondasi kekuasaan dari dalam.
Sekilas Perjalanan Dinasti Abassiyah
Dinasti Abbasiyah adalah salah satu dinasti besar dalam sejarah Islam, yang memerintah dari 750 M hingga 1258 M, meskipun ada cabang yang bertahan sampai 1517 di Mesir. Berikut adalah beberapa khalifah terkenal yang memerintah selama Dinasti Abbasiyah:
1. Â Abu al-Abbas as-Saffah (750--754 M) - Pendiri Dinasti Abbasiyah, yang meruntuhkan Dinasti Umayyah.
2. Al-Mansur (754--775 M) - Dikenal karena mendirikan Baghdad sebagai ibu kota baru.
3. Â Al-Mahdi (775--785 M) - Memperkuat kekuasaan Abbasiyah dan melanjutkan pembangunan Baghdad.
4. Harun al-Rashid (786--809 M) - Memerintah pada zaman keemasan Abbasiyah, yang dikenal dengan kemajuan budaya dan intelektual.
5. Â Al-Ma'mun (813--833 M) - Dikenal karena mendukung ilmu pengetahuan dan mendirikan Baitul Hikmah di Baghdad.
6. Â Al-Mutawakkil (847--861 M) - Pemerintahannya dikenal karena pemulihan ortodoksi Sunni.
Setelah al-Mutawakkil, dinasti ini mengalami kemunduran, dengan kekuasaan nyata sering kali dipegang oleh wazir atau panglima militer. Beberapa khalifah terakhir sebelum jatuh ke tangan Mongol antara lain:
7. Â Al-Mu'tasim (833--842 M)
8. Â Al-Mu'tadid (892--902 M)
9. Â Al-Qadir (991--1031 M)
10. Â Al-Mustansir (1226--1242 M)
11. Â Al-Musta'sim (1242--1258 M), Khalifah terakhir di Baghdad, di mana kekuasaannya berakhir ketika kota ini ditaklukkan oleh pasukan Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan.
Setelah kehancuran Baghdad, para anggota keluarga Abbasiyah melarikan diri ke Mesir dan mendirikan kekhalifahan simbolik di Kairo di bawah perlindungan Sultan Mamluk, yang berlangsung hingga tahun 1517 ketika Ottoman menaklukkannya.
Filsafat KekuasaanÂ
Mengamati kekuasaan di Indonesia, kita melihat dinamika yang serupa. Permasalahan politik kerap kali diwarnai oleh konflik kepentingan, korupsi, dan pengingkaran nilai-nilai luhur Pancasila. Kepemimpinan yang mengabaikan prinsip kesederhanaan dan integritas berisiko membangun istana pasir yang indah tetapi rentan terhadap setiap badai kecil yang datang. Ini mengingatkan kita pada nasihat Ibn Khaldun bahwa "kekuasaan adalah sebuah pohon yang memerlukan akar kebajikan untuk tetap berdiri teguh."
Seperti halnya para khalifah bijak Abasiyah, pemimpin Indonesia sepatutnya lebih berfokus pada kemaslahatan rakyat dan membangun hubungan timbal balik yang kuat dengan masyarakat. Sebuah kekuasaan yang sejati lahir dari legitimasi yang diberikan oleh kepercayaan rakyat. "Berkuasa bukan berarti menguasai, tetapi melayani," adalah prinsip yang harus dipegang teguh. Ketika rakyat merasa dicintai dan dilayani dengan baik, pengikut setianya akan bertambah, dan dengan demikian, posisi kekuasaan menjadi lebih kukuh.
Senada dengan pandangan itu, Al-Mawardi dalam "Al-Ahkam As-Sultaniyyah" juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus bersifat amanah dan berusaha mencapai kebaikan umum daripada keuntungan pribadi. Ia mengingatkan bahwa kedudukan bukanlah kesempatan untuk memuaskan kepemimpinan egois, melainkan sebuah tanggung jawab besar. Pelajaran ini relevan dalam pemerintahan Indonesia masa kini, di mana kepemimpinan seringkali diartikan sebagai sarana memperkaya diri dan melestarikan kekuasaan semata.
Namun, untuk mencapai keseimbangan ini tidaklah mudah. Kepemimpinan tidak hanya menuntut kecerdasan dan kebijakan, tetapi juga kebijaksanaan emosional untuk tetap rendah hati di tengah kesuksesan. "Menjadi tinggi tidak berarti melupakan bumi,"Â kata Sufi terkenal, Al-Ghazali, yang mengisyaratkan bahwa dalam setiap pencapaian, penting untuk tetap terhubung dengan asal-usul dan nilai-nilai dasar sebagai manusia yang adil dan penyayang.
Penting pula untuk membangun institusi yang kuat agar dapat mendukung keberlangsungan pemerintahan yang mandiri dan bebas dari tekanan individu atau golongan tertentu. Institusi yang kuat menjadi tulang punggung pemerintahan yang adil dan merata. Para pemimpin Indonesia harus menyadari kebutuhan ini, agar mereka dapat mengarahkan negara menuju kejayaan yang sejati, bukan sekadar mempertahankan status quo.
Kehati-hatian dalam menggunakan kekuasaan merupakan kebajikan yang besar. Dalam tutur bijak Al-Farabi, kekuasaan semestinya seperti "pedang di tangan orang yang berbudi," sebuah senjata yang digunakan untuk melindungi dan mengayomi, bukan untuk menakuti atau menindas. Di sini, kekuasaan harus menjaga kesetaraan, memberantas ketidakadilan, dan menyejahterakan rakyatnya.
Di sisi lain, pemimpin juga harus terbuka terhadap kritik dan masukan. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata, "Tidak ada kebaikan dalam diri Anda jika Anda tidak mau mendengarkan nasehat, dan tidak ada kebaikan dalam diri kami jika tidak menyampaikannya." Ini menunjukkan pentingnya dialog antara penguasa dan rakyat, di mana keterbukaan terhadap kritik adalah tanda kelembutan hati dan kemauan untuk terus belajar.
Pada akhirnya, kekuasaan yang kuat adalah kekuasaan yang tidak terlepas dari akar spiritual dan moralnya. Para pemimpin harus kembali kepada prinsip dasar agama dan etika yang menuntun mereka pada jalan yang benar. "Barangsiapa yang melihat dirinya lebih dari yang lain, maka ia telah terjatuh dalam jurang kehancuran," tulis Al-Hujwiri dalam "Kashf al-Mahjub." Nasihat ini bergema kuat dalam konteks kekuasaan, di mana kebijakan harus selalu didasari oleh introspeksi yang mendalam.
Keteladanan dari Dinasti Abbasiyah dan filosofi yang diajarkan oleh para pemikir muslim memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia masa kini. Tanpa kebijaksanaan, kekuasaan tidak ubahnya seperti awan mendung tanpa hujan; tampak menakjubkan tetapi tidak membawa kesejahteraan. Di tengah kompleksitas politik modern, esensi dari setiap pemerintahan haruslah berakar pada kebaikan dan kepentingan masyarakat luas.
Dengan memadukan pengalaman sejarah, kebijaksanaan tradisi, dan cita-cita moral, pemimpin di manapun, termasuk Indonesia, diharapkan dapat menjalankan kekuasaan yang tangguh tetapi tidak rapuh. Refleksi ini mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah jalan untuk membawa pendar kemanfaatan bagi dunia. Seperti dikatakan oleh Rumi, "Kemarin aku pintar, jadi aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijaksana, jadi aku mengubah diriku." Inilah hikmah kekuasaan yang sejati !? Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 24 Oktober 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H