Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Belajar dari Dinasti Abassiyah: Antara Kekuasaan dan Kerapuhan?!

24 Oktober 2024   23:18 Diperbarui: 24 Oktober 2024   23:18 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti halnya para khalifah bijak Abasiyah, pemimpin Indonesia sepatutnya lebih berfokus pada kemaslahatan rakyat dan membangun hubungan timbal balik yang kuat dengan masyarakat. Sebuah kekuasaan yang sejati lahir dari legitimasi yang diberikan oleh kepercayaan rakyat. "Berkuasa bukan berarti menguasai, tetapi melayani," adalah prinsip yang harus dipegang teguh. Ketika rakyat merasa dicintai dan dilayani dengan baik, pengikut setianya akan bertambah, dan dengan demikian, posisi kekuasaan menjadi lebih kukuh.

Senada dengan pandangan itu, Al-Mawardi dalam "Al-Ahkam As-Sultaniyyah" juga menjelaskan bahwa seorang pemimpin harus bersifat amanah dan berusaha mencapai kebaikan umum daripada keuntungan pribadi. Ia mengingatkan bahwa kedudukan bukanlah kesempatan untuk memuaskan kepemimpinan egois, melainkan sebuah tanggung jawab besar. Pelajaran ini relevan dalam pemerintahan Indonesia masa kini, di mana kepemimpinan seringkali diartikan sebagai sarana memperkaya diri dan melestarikan kekuasaan semata.

Namun, untuk mencapai keseimbangan ini tidaklah mudah. Kepemimpinan tidak hanya menuntut kecerdasan dan kebijakan, tetapi juga kebijaksanaan emosional untuk tetap rendah hati di tengah kesuksesan. "Menjadi tinggi tidak berarti melupakan bumi," kata Sufi terkenal, Al-Ghazali, yang mengisyaratkan bahwa dalam setiap pencapaian, penting untuk tetap terhubung dengan asal-usul dan nilai-nilai dasar sebagai manusia yang adil dan penyayang.

Penting pula untuk membangun institusi yang kuat agar dapat mendukung keberlangsungan pemerintahan yang mandiri dan bebas dari tekanan individu atau golongan tertentu. Institusi yang kuat menjadi tulang punggung pemerintahan yang adil dan merata. Para pemimpin Indonesia harus menyadari kebutuhan ini, agar mereka dapat mengarahkan negara menuju kejayaan yang sejati, bukan sekadar mempertahankan status quo.

Kehati-hatian dalam menggunakan kekuasaan merupakan kebajikan yang besar. Dalam tutur bijak Al-Farabi, kekuasaan semestinya seperti "pedang di tangan orang yang berbudi," sebuah senjata yang digunakan untuk melindungi dan mengayomi, bukan untuk menakuti atau menindas. Di sini, kekuasaan harus menjaga kesetaraan, memberantas ketidakadilan, dan menyejahterakan rakyatnya.

Di sisi lain, pemimpin juga harus terbuka terhadap kritik dan masukan. Umar bin Khattab, khalifah kedua, pernah berkata, "Tidak ada kebaikan dalam diri Anda jika Anda tidak mau mendengarkan nasehat, dan tidak ada kebaikan dalam diri kami jika tidak menyampaikannya." Ini menunjukkan pentingnya dialog antara penguasa dan rakyat, di mana keterbukaan terhadap kritik adalah tanda kelembutan hati dan kemauan untuk terus belajar.

Pada akhirnya, kekuasaan yang kuat adalah kekuasaan yang tidak terlepas dari akar spiritual dan moralnya. Para pemimpin harus kembali kepada prinsip dasar agama dan etika yang menuntun mereka pada jalan yang benar. "Barangsiapa yang melihat dirinya lebih dari yang lain, maka ia telah terjatuh dalam jurang kehancuran," tulis Al-Hujwiri dalam "Kashf al-Mahjub." Nasihat ini bergema kuat dalam konteks kekuasaan, di mana kebijakan harus selalu didasari oleh introspeksi yang mendalam.

Keteladanan dari Dinasti Abbasiyah dan filosofi yang diajarkan oleh para pemikir muslim memberikan pelajaran berharga bagi Indonesia masa kini. Tanpa kebijaksanaan, kekuasaan tidak ubahnya seperti awan mendung tanpa hujan; tampak menakjubkan tetapi tidak membawa kesejahteraan. Di tengah kompleksitas politik modern, esensi dari setiap pemerintahan haruslah berakar pada kebaikan dan kepentingan masyarakat luas.

Dengan memadukan pengalaman sejarah, kebijaksanaan tradisi, dan cita-cita moral, pemimpin di manapun, termasuk Indonesia, diharapkan dapat menjalankan kekuasaan yang tangguh tetapi tidak rapuh. Refleksi ini mengajarkan bahwa kekuasaan bukanlah tujuan akhir, melainkan sebuah jalan untuk membawa pendar kemanfaatan bagi dunia. Seperti dikatakan oleh Rumi, "Kemarin aku pintar, jadi aku ingin mengubah dunia. Hari ini aku bijaksana, jadi aku mengubah diriku." Inilah hikmah kekuasaan yang sejati !? Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun