Oleh. Mbah Dharmodumadi
Menghadapi masa remaja adalah tantangan yang kompleks dan memerlukan perhatian khusus dari orang tua dan pengasuh. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa, di mana individu mengalami perubahan fisik, emosional, dan mental yang signifikan. Dalam konteks ajaran Islam, masa remaja dianggap sebagai fase penting di mana individu mulai memahami tanggung jawabnya sebagai makhluk individu dan sosial. Komunikasi terbuka dan reseptif menjadi kunci untuk memahami perubahan ini dan mendukung perkembangan mental serta spiritual remaja. Salah satu kutipan yang relevan berasal dari Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, yang mengatakan, "Penerimaan yang positif tanpa syarat adalah fondasi dari semua hubungan manusia." Ini menggarisbawahi pentingnya mendengarkan remaja tanpa prasangka, serupa dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk mendekati setiap individu dengan empati dan pengertian.
Memahami remaja melalui komunikasi terbuka tidak hanya berarti mendengar apa yang mereka katakan, tetapi juga memahami perasaan dan perspektif mereka. Komunikasi dalam konteks ini memerlukan pendekatan yang reseptif, di mana orang tua tidak hanya berbicara tetapi juga benar-benar mendengarkan. Albert Bandura, dengan teori pembelajaran sosialnya, menekankan bahwa remaja belajar melalui observasi dan imitasi. Di sinilah peran orang tua sangat penting sebagai model perilaku yang positif. Melalui teladan yang baik, orang tua dapat menanamkan nilai moral dan spiritual yang kuat pada anak-anak mereka, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengedepankan kejujuran, kepercayaan, dan tanggung jawab.
Namun, membangun komunikasi yang efektif dengan remaja tidak selalu mudah. Mereka mungkin merasa tidak dimengerti atau tidak didengarkan, sehingga menciptakan jurang komunikasi. Untuk mengatasi hal ini, penting untuk tidak memaksakan sudut pandang pada remaja, melainkan mendampingi mereka dalam menemukan identitas mereka sendiri. Sigmund Freud menyinggung pentingnya peran identitas dalam perkembangan manusia, mengingatkan kita bahwa usaha untuk memahami remaja harus memperhatikan keunikan individu mereka, bukan hanya mengikuti pola yang diterapkan secara umum. Dalam Islam, hal ini dapat dihubungkan dengan prinsip "ijtihad," yang mendorong pemikiran kritis dan belajar mandiri dalam mencapai pemahaman hidup.
Komunikasi konstruktif memerlukan keterampilan mendengarkan yang mendalam, di mana orang tua memperhatikan bahasa non-verbal yang mungkin menyiratkan lebih banyak daripada kata-kata. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai "active listening," di mana perhatian penuh diberikan pada pembicara, dan rasa empati ditunjukkan secara terbuka. John Dewey, seorang filsuf dan psikolog, menjelaskan bahwa komunikasi yang baik bukanlah tentang berbicara tetapi tentang pertukaran makna melakukan penguatan hubungan. Di sinilah nilai "ukhuwah"Â dalam Islam menjadi relevan, menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat dan berbasis kasih sayang.
Selain mendengarkan, penting juga bagi orang tua untuk menanggapi dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka memahami remaja. Ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang mendorong dialog lebih lanjut, bukan pertanyaan tertutup yang membatasi respons. Hal ini sejalan dengan prinsip komunikasi yang diajarkan dalam ilmu komunikasi modern, yang menekankan pentingnya feedback dalam interaksi interpersonal. Aliran komunikasi ini menciptakan suasana di mana remaja merasa aman untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas tanpa takut akan penghakiman. Dalam Islam, prinsip "ta'aruf" atau saling mengenal berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya memahami satu sama lain dalam mencapai keharmonisan hubungan.
Remaja sering kali mengalami krisis identitas dan mencari makna hidup mereka. Erik Erikson, dalam teorinya tentang tahapan perkembangan psikososial, menyatakan bahwa salah satu tugas utama remaja adalah mencari jati diri. Dengan komunikasi terbuka, orang tua dapat mendukung remaja dalam pencarian ini, membantu mereka mengeksplorasi minat dan nilai-nilai mereka sendiri dengan cara yang konstruktif. Ajaran Islam juga menekankan pentingnya pencarian ilmu dan pengembangan diri, yang merupakan bagian integral dari pertumbuhan spiritual. Menyeimbangkan kebutuhan fisik, mental, dan spiritual dapat memberikan landasan yang kuat bagi remaja dalam menghadapi tantangan hidup.
Salah satu aspek penting dari mendukung pertumbuhan mental dan spiritual remaja adalah memberikan ruang bagi remaja untuk bereksperimen dan belajar dari kesalahan mereka. Jean Piaget menyoroti bahwa pembelajaran terjadi ketika individu melakukan penyesuaian terhadap tantangan baru. Dengan memberikan kebebasan kepada remaja untuk membuat pilihan mereka, serta mendukung mereka bahkan ketika pilihan tersebut salah, dapat mempercepat pematangan emosional dan intelektual. Ajaran Islam yang mendorong pencarian pengetahuan dan kebijaksanaan juga sejalan dengan konsep ini, di mana pencarian berkesinambungan untuk memahami dan belajar dari pengalaman disebut sebagai jalan menuju pencerahan.