Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Menghadapi Masa Remaja: Komunikasi Terbuka dan Reseptif untuk Mendukung Pertumbuhan Mental dan Spiritual !?

24 Agustus 2024   20:55 Diperbarui: 24 Agustus 2024   21:16 63
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Mbah Dharmodumadi

Menghadapi masa remaja adalah tantangan yang kompleks dan memerlukan perhatian khusus dari orang tua dan pengasuh. Masa ini merupakan periode transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa, di mana individu mengalami perubahan fisik, emosional, dan mental yang signifikan. Dalam konteks ajaran Islam, masa remaja dianggap sebagai fase penting di mana individu mulai memahami tanggung jawabnya sebagai makhluk individu dan sosial. Komunikasi terbuka dan reseptif menjadi kunci untuk memahami perubahan ini dan mendukung perkembangan mental serta spiritual remaja. Salah satu kutipan yang relevan berasal dari Carl Rogers, seorang psikolog humanistik, yang mengatakan, "Penerimaan yang positif tanpa syarat adalah fondasi dari semua hubungan manusia." Ini menggarisbawahi pentingnya mendengarkan remaja tanpa prasangka, serupa dengan ajaran Islam yang mengajarkan untuk mendekati setiap individu dengan empati dan pengertian.

Memahami remaja melalui komunikasi terbuka tidak hanya berarti mendengar apa yang mereka katakan, tetapi juga memahami perasaan dan perspektif mereka. Komunikasi dalam konteks ini memerlukan pendekatan yang reseptif, di mana orang tua tidak hanya berbicara tetapi juga benar-benar mendengarkan. Albert Bandura, dengan teori pembelajaran sosialnya, menekankan bahwa remaja belajar melalui observasi dan imitasi. Di sinilah peran orang tua sangat penting sebagai model perilaku yang positif. Melalui teladan yang baik, orang tua dapat menanamkan nilai moral dan spiritual yang kuat pada anak-anak mereka, sejalan dengan nilai-nilai Islam yang mengedepankan kejujuran, kepercayaan, dan tanggung jawab.

Namun, membangun komunikasi yang efektif dengan remaja tidak selalu mudah. Mereka mungkin merasa tidak dimengerti atau tidak didengarkan, sehingga menciptakan jurang komunikasi. Untuk mengatasi hal ini, penting untuk tidak memaksakan sudut pandang pada remaja, melainkan mendampingi mereka dalam menemukan identitas mereka sendiri. Sigmund Freud menyinggung pentingnya peran identitas dalam perkembangan manusia, mengingatkan kita bahwa usaha untuk memahami remaja harus memperhatikan keunikan individu mereka, bukan hanya mengikuti pola yang diterapkan secara umum. Dalam Islam, hal ini dapat dihubungkan dengan prinsip "ijtihad," yang mendorong pemikiran kritis dan belajar mandiri dalam mencapai pemahaman hidup.

Gambar: Dok. Pribadi.
Gambar: Dok. Pribadi.

Komunikasi konstruktif memerlukan keterampilan mendengarkan yang mendalam, di mana orang tua memperhatikan bahasa non-verbal yang mungkin menyiratkan lebih banyak daripada kata-kata. Dalam psikologi, ini dikenal sebagai "active listening," di mana perhatian penuh diberikan pada pembicara, dan rasa empati ditunjukkan secara terbuka. John Dewey, seorang filsuf dan psikolog, menjelaskan bahwa komunikasi yang baik bukanlah tentang berbicara tetapi tentang pertukaran makna melakukan penguatan hubungan. Di sinilah nilai "ukhuwah" dalam Islam menjadi relevan, menekankan pentingnya membangun hubungan yang kuat dan berbasis kasih sayang.

Selain mendengarkan, penting juga bagi orang tua untuk menanggapi dengan cara yang menunjukkan bahwa mereka memahami remaja. Ini dapat dilakukan dengan mengajukan pertanyaan terbuka yang mendorong dialog lebih lanjut, bukan pertanyaan tertutup yang membatasi respons. Hal ini sejalan dengan prinsip komunikasi yang diajarkan dalam ilmu komunikasi modern, yang menekankan pentingnya feedback dalam interaksi interpersonal. Aliran komunikasi ini menciptakan suasana di mana remaja merasa aman untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas tanpa takut akan penghakiman. Dalam Islam, prinsip "ta'aruf" atau saling mengenal berfungsi sebagai pengingat akan pentingnya memahami satu sama lain dalam mencapai keharmonisan hubungan.

Remaja sering kali mengalami krisis identitas dan mencari makna hidup mereka. Erik Erikson, dalam teorinya tentang tahapan perkembangan psikososial, menyatakan bahwa salah satu tugas utama remaja adalah mencari jati diri. Dengan komunikasi terbuka, orang tua dapat mendukung remaja dalam pencarian ini, membantu mereka mengeksplorasi minat dan nilai-nilai mereka sendiri dengan cara yang konstruktif. Ajaran Islam juga menekankan pentingnya pencarian ilmu dan pengembangan diri, yang merupakan bagian integral dari pertumbuhan spiritual. Menyeimbangkan kebutuhan fisik, mental, dan spiritual dapat memberikan landasan yang kuat bagi remaja dalam menghadapi tantangan hidup.

Gambar: Dok. Pribadi.
Gambar: Dok. Pribadi.

Salah satu aspek penting dari mendukung pertumbuhan mental dan spiritual remaja adalah memberikan ruang bagi remaja untuk bereksperimen dan belajar dari kesalahan mereka. Jean Piaget menyoroti bahwa pembelajaran terjadi ketika individu melakukan penyesuaian terhadap tantangan baru. Dengan memberikan kebebasan kepada remaja untuk membuat pilihan mereka, serta mendukung mereka bahkan ketika pilihan tersebut salah, dapat mempercepat pematangan emosional dan intelektual. Ajaran Islam yang mendorong pencarian pengetahuan dan kebijaksanaan juga sejalan dengan konsep ini, di mana pencarian berkesinambungan untuk memahami dan belajar dari pengalaman disebut sebagai jalan menuju pencerahan.

Perkembangan spiritual juga merupakan aspek kritis dalam mendukung remaja. Viktor Frankl menunjukkan bahwa pencarian makna merupakan motivator utama manusia. Dalam konteks remaja, membantu mereka menemukan tujuan mereka dalam kerangka nilai keluarga dan agama dapat meningkatkan kesejahteraan emosional dan spiritual mereka. Dalam Islam, tujuan hidup dan ibadah adalah konsepsi sentral yang memberikan arahan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran nilai ini kepada remaja dalam suasana komunikasi yang terbuka dapat mendorong mereka untuk merenungkan peran mereka dalam masyarakat dan mengejar tujuan yang lebih besar.

Keseimbangan antara kebebasan dan bimbingan adalah kunci dalam mendukung remaja. Orang tua harus berusaha untuk memberi remaja rasa mandiri sambil tetap hadir sebagai sosok pendukung. Berdasarkan teori attachment dari Bowlby, hubungan yang aman dengan orang tua memberikan dasar yang kokoh bagi anak-anak untuk menjelajahi dunia mereka. Dengan demikian, memberikan rasa aman dan dukungan tanpa menghalangi otonomi remaja adalah penting. Dalam ajaran Islam, prinsip "tarbiyah" atau pembinaan anak mencerminkan keseimbangan antara penanaman nilai dan kebebasan berkomunikasi secara dialogis.

Teknologi modern juga membawa tantangan dan peluang baru dalam cara kita berkomunikasi dengan remaja. Internet dan media sosial menyediakan ruang baru di mana remaja dapat mengekspresikan diri, tetapi juga membawa risiko. Psikolog seperti Sherry Turkle telah menunjukkan bahwa penggunaan teknologi yang berlebihan dapat menghambat kemampuan kita untuk berkomunikasi secara efektif. Oleh karena itu, penting bagi orang tua untuk memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk memfasilitasi komunikasi yang lebih baik dengan remaja. Melalui diskusi yang terbuka dan jujur tentang penggunaan teknologi, keluarga dapat menemukan cara untuk memanfaatkan keuntungan sambil meminimalkan dampaknya yang merugikan.

Dalam menghadapi berbagai tantangan yang dihadapi remaja, mengembangkan komunikasi yang sehat dan efektif merupakan langkah penting. Dengan menggabungkan nilai-nilai Islam, teori psikologi modern, dan teknik komunikasi yang efisien, orang tua dapat membangun hubungan lebih kuat dengan anak remaja mereka. Ajaran tentang pentingnya pengetahuan, kebijaksanaan, dan hubungan interpersonal yang sehat dalam Islam memberikan kerangka kerja yang sesuai dengan perkembangan individu pada masa remaja.

Untuk mencapai komunikasi terbuka dengan remaja, sangat penting bagi orang tua untuk menciptakan lingkungan yang mendukung di rumah. Ini termasuk memiliki sikap fleksibel dan adaptif, karena setiap remaja itu unik. Ajaran Islam yang memperlakukan setiap individu dengan rasa hormat dan kasih sayang mengingatkan kita tentang pentingnya memperlakukan anak remaja dengan cara yang menghargai keunikan mereka. Sama halnya dengan pendekatan psikologi humanistik yang menekankan nilai intrinsik setiap individu.

Penerimaan dan pengertian merupakan komponen penting untuk membangun komunikasi yang sehat dengan remaja. Rogers juga menekankan pentingnya menciptakan iklim psikologis yang positif di mana remaja merasa dihargai dan dicintai terlepas dari kesalahan mereka. Di sini, nilai "syukur" dalam Islam sejalan dengan pandangan ini, menekankan apresiasi terhadap apa yang kita miliki dan peran kita dalam mendukung orang lain, termasuk keluarga kita sendiri.

Komunikasi yang efektif juga membutuhkan kesabaran dan ketekunan dari pihak orang tua. Charles Swindoll, seorang pendidik dan penulis, pernah berkata, "Kehidupan adalah 10% dari apa yang terjadi pada kita, dan 90% dari bagaimana kita bereaksi terhadapnya." Mengingat bahwa masa remaja adalah waktu yang penuh tantangan, orang tua perlu memiliki kesabaran dan kemampuan untuk beradaptasi dengan respons remaja yang sering berubah-ubah. Prinsip "sabar" dalam Islam dapat menjadi panduan yang kuat, mengingatkan kita untuk tetap tenang dan berpikir logis dalam menghadapi situasi sulit.

Melalui komunikasi terbuka dan reseptif, orang tua dapat membangun hubungan yang lebih kuat dengan remaja mereka, memungkinkan mereka untuk tumbuh dan berkembang secara mental dan spiritual. Dari perspektif psikologi modern, pentingnya keterlibatan emosional yang sehat dalam hubungan tidak dapat diabaikan. Sementara itu, ajaran Islam menekankan pentingnya tanggung jawab dan hubungan dalam konteks spiritual dan sosial. Dengan mengintegrasikan pendekatan ini ke dalam kehidupan sehari-hari, kita dapat menyongsong masa remaja sebagai periode pembelajaran yang dinamis dan memperkaya bagi semua pihak yang terlibat. Ini bukan hanya tentang menghadapi masa remaja, tetapi tentang mempersiapkan landasan untuk masa depan yang lebih baik. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 24 Agustus 2024.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun