Oleh. Mbah Dharmo Purwalodra
Beberapa hari yang lalu teman saya melakukan tindakan yang tidak semestinya ia lakukan dalam sebuah institusi. Banyak teman-temannya merasa emphati dan menyayangkan perbuatannya tersebut. Namun apalah daya, nasi sudah menjadi bubur, semuanya sudah terjadi, dalam bahasa agama sudah menjadi 'qadarullah.' Karena, tanpa campur-tangan Allah, semua putusan, semua tindakan, bahkan semua perbuatan kita, tidak akan mungkin terjadi. Pertanyaannya, apa sebenarnya kontribusi kita dalam hidup dan kehidupan ini ?!! Jika semua gerik-gerik kita, pikiran dan hati kita, nafas kita. Semua yang ada di sekitar kita, ternyata hanyalah Allah yang mutlak berkuasa. Kita tak punya 'daya-upaya' untuk melakukan sesuatu. Bahkan hal-hal yang paling remeh-temeh sekalipun bisa saja terjadi, dan semua ini tidak lepas dari campur tangan Allah. Tentu saja, saya tidak akan fokus membahas tentang Qadarullah ini secara spesifik, tapi lebih umum dan lebih bebas.
Kata-kata terakhir yang sempat terucap dari lisan teman saya tersebut, adalah bahwa, ia melakukan ini karena ia tidak dipercaya lagi. Dalam pikiran awam saya, kepercayaan itu, tidak lebih dan tidak kurang, hanyalah sebuah perhatian dari orang-orang yang diyakini mencintainya, mengasihinya, bahkan melindunginya.  Ketika cinta, kasih, dan perlindungan tidak lagi ia miliki, maka ia melakukan perbuatan yang sangat mencoreng muka dirinya sendiri dan perusahaannya.Â
Merasa kehilangan cinta, kasih dan perlindungan ini adalah salah satu penyakit depresi yang sangat mematikan. Ia dapat membunuh siapa saja mulai dari pejabat tinggi sampai dengan orang-orang yang terbiasa kelaparan. Kehilangan cinta, kasih dan perlindungan adalah akibat dari dosis yang berlebihan terhadap cinta, kasih dan perlindungan itu sendiri. Cinta yang berlebih adalah kegagalan. Kasih yang berlebih adalah kehampaan. Dan, perlindungan yang berlebih adalah ketiadaan makna dan visi hidup, serta hilangnya 'imun' moralitas.
Para filosof dunia berbicara tentang kekuasaan dengan persepsi yang mendua. Ada yang mencerca, namun tak sedikit yang berharap. Rutger Bregman, pemikir asal Belanda, mengungkap rayuan korup dari kekuasaan. Orang-orang berhati tulus menjadi keji dan rakus, ketika memegang kekuasaan.
Lord Acton juga terkenal dengan ungkapannya. Kekuasaan cenderung membuat manusia korup (power tends to corrupt), dan kekuasaan absolut membuat manusia menjadi korup secara absolut (absolute power corrupts absolutely). Friedrich Nietzsche, pemikir Jerman, juga melihat daya dorong kekuasaan di dalam batin manusia. Bahkan, ia menyebut dorongan manusia itu sebagai kehendak untuk berkuasa.
Selanjutnya, mungkin tak ada yang mampu merasakan dilema kekuasaan, selain Abraham Lincoln, Presiden Amerika Serikat yang membawa AS keluar dari era gelap perbudakan. Ia pernah berkata, jika kamu ingin melihat karakter asli seseorang, berilah ia kekuasaan.
Kekuasaan yang sesungguhnya terletak pada pengetahuan (knowledge is power). Itulah kiranya yang ditekankan oleh Francis Bacon, salah seorang pemikir Pencerahan Eropa. Dengan kutipan itu, Eropa memasuki era kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dasyat.
Rangkaian refleksi singkat para pemikir dunia tentang kekuasaan ini, mungkin tak lengkap jika tak ditutup dengan pemahaman Mahatma Gandhi tentang kekuasaan. Hari ketika kekuatan cinta (the power of love) lebih besar dari pada kecintaan manusia pada kekuasaan (love of power), maka dunia akan mengenal kedamaian.
Sebenarnya, kekuasaan itu netral. Ia tidak baik, ataupun tidak buruk. Kekuasaan itu bagaikan pedang. Ia tajam, dan harus memiliki sarung yang pas. Jika tidak, ia akan melukai orang-orang yang tak bersalah, termasuk pemiliknya sendiri. Pertanyaan berikutnya, sarung apa yang tepat untuk kekuasaan tersebut?. Jawaban yang saya pilih adalah SPIRITUALITAS.
Spiritualitas disini bukan jargon-jargon, motto, atawa pilar-pilar moral perjuangan sebuah lembaga/institusi, namun jalan hidup orang-orang yang menyadari dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat dilakukan, jika kita mampu berjarak dari identitas sosial yang kita terima dari masyarakat. Kesadaran ini merupakan dasar dari seorang spiritualitas sejati. Spiritual melampaui batas-batas keagamaan. Di dalam filsafat dan teori politik, kesadaran semacam itu disebut juga sebagai kesadaran kosmopolit.
Selanjutnya, terkait dengan kekuasaan sebagai pedang, dan spiritualitas sebagai sarungnya, ada dua hal yang penting yang perlu kita pahami, yakni :
Pertama, identitas pemegang kekuasaan haruslah seluas semesta. Tentunya, kekuasaan tidak boleh melekat, apalagi fanatik dengan satu identitas sosial, seperti agama, ras, suku dan bangsa. Identitas manusia yang sejati adalah mahluk semesta. Oleh karena itu, sebelum memegang kekuasaan, kita harus sungguh sadar dan memahami identitas kita sebagai mahluk semesta.
Kedua, dari identitas seluas semesta ini, lahirlah moralitas yang sejati. Ketika kita berbuat baik pada orang lain, bukan karena orang tersebut telah berjasa pada kita, tetapi karena mereka adalah sesama mahluk semesta. Batas-batas diri kita adalah batas-batas semesta. Moral yang lahir dari kesadaran ini merupakan moralitas alami yang sejalan dengan hukum alam semesta, sekaligus idealisme untuk menjalankan kekuasaan. Jika ini terjadi, maka kekuasaan dapat dibhaktikan untuk merawat kehidupan, baik manusia maupun semua mahluk. Inilah kekuasaan yang sejati.  Â
Kita juga melihat banyak pedang tanpa sarung di sekitar kita. Banyak penguasa memegang kekuasaan dengan identitas yang sangat sempit. Akibatnya, moralitas menjadi sempit dan semu. Diskriminasi, korupsi dan kesalahan kebijakan kerap terjadi. Masyarakat kita hidup dalam kemiskinan dan kebodohan, karena tidak adanya teladan dari para pemimpinnya. Ini semua ditambah dengan gelombang pengaruh budaya asing yang menghancurkan budaya kita.
Ketika kemunafikan juga menjadi budaya sehari-hari, maka slogan-slogan dan motto moralitas dijadikan topeng, untuk menutupi ketidakadilan, diskriminasi dan korupsi. Semua ini tentu tak bisa dibiarkan berlanjut. Apabila tak ada sarung, maka sebaiknya pedang dibuang jauh-jauh, karena ia akan melukai banyak orang. Jika kekuasaan itu tidak diselimuti dengan spiritualitas, maka kekuasaan akan sangat beracun dan bisa membunuh orang yang memangku kekuasaan itu sendiri.
Pada akhirnya, saya kok tiba-tiba bisa menyadari, mengapa teman saya tersebut meninggalkan organisasi yang ia geluti dan ia bangun sejak lama tersebut. Tentu bukanlah sekedar faktor ketidakmampuannya dalam berorganisasi, namun karena kekuasaan yang dimilikinya perlu banyak sentuhan spiritualitas. Sehingga kekuasaannya itu, kelak menjadi netral dan melahirkan kenyamanan ?!!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 04 September 2021.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H