Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Kekuasaan, Tak Selalu, Beracun ?!

4 September 2021   01:17 Diperbarui: 26 Oktober 2023   10:49 344
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi

Spiritualitas disini bukan jargon-jargon, motto, atawa pilar-pilar moral perjuangan sebuah lembaga/institusi, namun jalan hidup orang-orang yang menyadari dirinya yang sebenarnya. Hal ini dapat dilakukan, jika kita mampu berjarak dari identitas sosial yang kita terima dari masyarakat. Kesadaran ini merupakan dasar dari seorang spiritualitas sejati. Spiritual melampaui batas-batas keagamaan. Di dalam filsafat dan teori politik, kesadaran semacam itu disebut juga sebagai kesadaran kosmopolit.

Selanjutnya, terkait dengan kekuasaan sebagai pedang, dan spiritualitas sebagai sarungnya, ada dua hal yang penting yang perlu kita pahami, yakni :

Pertama, identitas pemegang kekuasaan haruslah seluas semesta. Tentunya, kekuasaan tidak boleh melekat, apalagi fanatik dengan satu identitas sosial, seperti agama, ras, suku dan bangsa. Identitas manusia yang sejati adalah mahluk semesta. Oleh karena itu, sebelum memegang kekuasaan, kita harus sungguh sadar dan memahami identitas kita sebagai mahluk semesta.

Kedua, dari identitas seluas semesta ini, lahirlah moralitas yang sejati. Ketika kita berbuat baik pada orang lain, bukan karena orang tersebut telah berjasa pada kita, tetapi karena mereka adalah sesama mahluk semesta. Batas-batas diri kita adalah batas-batas semesta. Moral yang lahir dari kesadaran ini merupakan moralitas alami yang sejalan dengan hukum alam semesta, sekaligus idealisme untuk menjalankan kekuasaan. Jika ini terjadi, maka kekuasaan dapat dibhaktikan untuk merawat kehidupan, baik manusia maupun semua mahluk. Inilah kekuasaan yang sejati.   

Kita juga melihat banyak pedang tanpa sarung di sekitar kita. Banyak penguasa memegang kekuasaan dengan identitas yang sangat sempit. Akibatnya, moralitas menjadi sempit dan semu. Diskriminasi, korupsi dan kesalahan kebijakan kerap terjadi. Masyarakat kita hidup dalam kemiskinan dan kebodohan, karena tidak adanya teladan dari para pemimpinnya. Ini semua ditambah dengan gelombang pengaruh budaya asing yang menghancurkan budaya kita.

Ketika kemunafikan juga menjadi budaya sehari-hari, maka slogan-slogan dan motto moralitas dijadikan topeng, untuk menutupi ketidakadilan, diskriminasi dan korupsi. Semua ini tentu tak bisa dibiarkan berlanjut. Apabila tak ada sarung, maka sebaiknya pedang dibuang jauh-jauh, karena ia akan melukai banyak orang. Jika kekuasaan itu tidak diselimuti dengan spiritualitas, maka kekuasaan akan sangat beracun dan bisa membunuh orang yang memangku kekuasaan itu sendiri.

Pada akhirnya, saya kok tiba-tiba bisa menyadari, mengapa teman saya tersebut meninggalkan organisasi yang ia geluti dan ia bangun sejak lama tersebut. Tentu bukanlah sekedar faktor ketidakmampuannya dalam berorganisasi, namun karena kekuasaan yang dimilikinya perlu banyak sentuhan spiritualitas. Sehingga kekuasaannya itu, kelak menjadi netral dan melahirkan kenyamanan ?!!!. Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 04 September 2021.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun