Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Siang tadi digelar serah terima jabatan antara pejabat lama dengan pejabat baru di lingkungan organisasi, tempat dimana saya menghabiskan seluruh hidup saya untuk mengakutaliasasikan diri.Â
Mutasi karyawan sudah menjadi hal biasa, dalam organisasi yang sudah mapan, hal ini dilakukan guna membangun personality (kepribadian), kepemimpinan dan motivasi bekerja. Dalam mutasipun biasanya ada istilah mutasi ke tempat yang basah atawa mutasi di tempat yang kering.Â
Istilah ini, mungkin tidak mencerminkan iklim kinerja, namun lebih kepada kesempatan atau keluasan kewenangan yang dimiliki oleh seseorang yang dimutasikan. Kamus Besar Bahasa Indonesia menafsirkan bahwa mutasi adalah pemindahan pegawai/ karyawan dari satu jabatan ke jabatan lain.
Pada saat seseorang dimutasi dari tempat kerjanya, yang pertama-tama terbersit dalam pikiran, adalah peluang untuk berkembang dan bisa hidup nyaman dari jabatan baru tersebut. Sulit kiranya kita mendengar, bahwa dengan adanya mutasi beraroma promosi, seseorang berniat untuk bisa kembali duduk di bangku perkuliahan.Â
Bahkan biasanya orang yang dipromosikan (ditingkatkan status jabatannya), sibuk dengan berbagai acara perayaan, ziarah, mempersiapkan perjalanan, dan lain sebagainya.Â
Mereka lupa bahwa mutasi karyawan, apalagi yang berbau promosi, memiliki konsekwensi pengetahuan yang lebih dari sebelumnya. Oleh karena itu, semestinya ketika seseorang dimutasikan, yang pertama-tama dipikirkan adalah dimana saya bisa meningkatkan pendidikan, baik formal maupun non formal, untuk menunjang jabatan baru saya ini ?
Hanya sebagian kecil, teman-teman yang kemudian mendaftarkan diri di bangku perkuliahan, pada saat mutasi berlangsung. Itupun teman-teman yang terkena mutasi berbau Demosi.Â
Sementara, untuk teman-teman yang mendapatkan mutasi, beraroma promosi, ketika saya dorong untuk kembali ke bangku kuliah, ia hanya bisa tersenyum dan menceritakan kesibukan-kesibukan yang bakal ia temukan dalam jabatan baru nanti.Â
Sebagian besar manusia dalam rangka menjalani hidup, tidak lepas dari upaya untuk mencari kebahagiaan dan menghindari penderitaan. Inilah fakta semesta yang sulit dibantah, bahwa salah satu unsur pembentuk kebahagiaan adalah kenikmatan.Â
Oleh karena itu, di dalam hidup ini, kita dituntut untuk terus mencari kenikmatan. Seperti, makanan yang nikmat akan membuat kita merasa segar. Tidur yang nikmat akan mengisi tenaga kita kembali. Persahabatan dan percintaan yang nikmat akan mengisi hidup kita dengan warna-warni keindahan, dan seterusnya. Â Â
Kenikmatan, seakan merupakan bagian tak terpisahkan dalam hidup manusia. Karena itu, Allah Swt, mengatakan 31 kali dalam QS Arrahman, "nikmat mana lagi yang kamu dustakan," Namun kenikmatan tidak bisa berdiri sendiri.Â
Sebab, manusia itu multi dimensi. Dia pertama-tama hidup berdampingan dengan orang lain, terutama dengan sanak keluarga dan orang-orang dekatnya, lalu dengan masyarakat di mana ia tinggal.
Namun, paradoksnya adalah, apabila kita hanya menjadikan kenikmatan, kesenangan dan kemewahan menjadi tujuan hidup, maka kita tidak akan mampu mengenali diri kita sendiri. Kita juga tidak mampu membedakan mana alat dan mana tujuan hidup.Â
Yang jelas, ketika kita selalu mengejar kesenangan, maka tingkat kesenanganpun semakin hari semakin meningkat, begitupun kenikmatan dan kemewahan. Sehingga, pada titik tertentu kenikmatan, kesenangan dan bahkan kemewahan yang kita harapkan, tidak mungkin akan kita peroleh lagi. Ujung-ujungnya adalah penderitaan yang berkepanjangan.
Jika ada sebagian kita, beranggapan bahwa sesuatu yang mendatangkan nikmat dan kesenangan dianggap sebagai hal yang baik, sehingga layak dikejar dalam hidup. Namun, jika sesuatu yang mendatangkan rasa sakit dianggap tidak baik, sehingga pantas untuk ditolak.Â
Maka sikap semacam ini bukan hal yang baru dalam filsafat hidup manusia. Karena itu, para hedonis selalu menetapkan bahwa kenikmatan dan kesenangan sebagai ukuran yang baik. Hedonisme adalah pandangan yang menempatkan kenikmatan dan kesenangan sebagai tujuan, bahkan tujuan tertinggi dari hidup manusia.
Kembali pada pokok tulisan ini, bahwa apapun yang menjadikan kita menemukan hal-hal baru, baik itu berupa nikmat ataupun bukan, perlu kita jalani dengan sungguh-sungguh. Karena setiap hari, setiap waktu, adalah hal baru dalam hidup kita.Â
Dengan begitu, peluang dan kesempatan yang tersembunyi dibalik perubahan-perubahan tersebut, tidak menjadikan kita apatis dan putus asa, tetapi justru akan membawa kita pada semangat yang tertinggi dalam hidup kita! Bukan begitu? Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 19 September 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H