Sumber Gambar : Dok. Pribadi.
Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Banyak orang masih percaya dan yakin, bahwa kesuksesan itu dapat direkayasa dengan pikiran. Ia merencanakan berbagai hal, termasuk uang, kepopuleran dan merekayasa jabatan-jabatan pada organisasi publik. Sehingga perilaku konspiratif, yang akan membuat orang lain menderita, mau tak mau menjadi sebuah keharusan. Â Pertanyaannya, siapa sih yang tidak mau sukses dalam hidupnya ?.Â
Dan sukses, kini selalu dikaitkan dengan harta dan nama besar. Pandangan ini tentu tidak datang secara tiba-tiba. Alasan utama, mengapa sukses selalu dihubungkan dengan harta dan kepopuleran adalah, tidak lain dan tidak bukan, karena semangat dari kapitalisme dan materialisme yang amat kuat mempengaruhi pemahaman kita tentang kesuksesan.
Kita juga tahu, bahwa kapitalisme adalah paham yang menekankan perburuan dan penumpukan modal sebagai tujuan utama aktivitas ekonomi. Modal pun dipahami secara sempit sebagai harta benda, terutama uang dan turunannya.Â
Pada awalnya, paham kapitalisme merupakan tata-kelola ekonomi semata, tidak lebih dan tidak kurang. Tetapi, kini kapitalisme menjadi pandangan yang menyentuh semua lini kehidupan kita, termasuk menjadi ukuran utama kesuksesan.
Karena sukses itu sama dengan harta dan nama besar, maka tak heran kita menjadi rakus. Semua aktivitas dilihat dari sudut untung-rugi. Hitung-hitungan 'cashflow'Â menjadi buku putih yang wajib ditaati, melebihi realitas yang ada. Kita menjadi rakus. Menjadi mata duitan.Â
Segalanya diukur dengan uang, termasuk harga diri dan kesuksesan hidup seseorang. Inilah paham materialisme yang meruanglingkupi seluruh kehidupan kita. Tujuan hidup hanya dilihat dari sisi harta benda semata, dan melupakan unsur-unsur lainnya, terutama unsur spiritual.
Sudah semestinya agama menjadi benteng terakhir dari nilai-nilai moral dan spiritual manusia modern. Dan, agama mestinya bisa membentengi masyarakat dari terpaan badai kapitalisme dan materialisme ini. Tetapi, apalah daya, justru kapitalisme masuk dan bersinergi dengan agama. Agama pun jatuh ke dalam terkaman materialisme dan kapitalisme.Â
Para tokoh agama menjadi rakus uang dan nama besar, serta melupakan kedalaman hidup spiritual mereka. Jadi jangan heran, banyak tokoh agama kegiatannya hanya menjadi makelar haji dan umroh dari perusahaan travel. Institusi keagamaan hanya alat untuk menumpuk uang semata, bukan untuk memupuk spiritualitas !!!.
Aktivitas politik di negeri ini, juga tak mampu lepas dari cengkraman kapitalisme dan materialisme. Para politisi berlomba, hanya untuk menjadi pejabat dan wakil rakyat, agar  memiliki peluang dan kesempatan korupsi. Jadi jangan pernah heran, jika negara pun hanya menjadi pelindung dari kaum kaya pemilik modal (capital).