Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Merekayasa Kesuksesan?

31 Agustus 2018   07:39 Diperbarui: 26 Oktober 2023   11:07 425
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber Gambar : Dok. Pribadi.

Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra

Banyak orang masih percaya dan yakin, bahwa kesuksesan itu dapat direkayasa dengan pikiran. Ia merencanakan berbagai hal, termasuk uang, kepopuleran dan merekayasa jabatan-jabatan pada organisasi publik. Sehingga perilaku konspiratif, yang akan membuat orang lain menderita, mau tak mau menjadi sebuah keharusan.  Pertanyaannya, siapa sih yang tidak mau sukses dalam hidupnya ?. 

Dan sukses, kini selalu dikaitkan dengan harta dan nama besar. Pandangan ini tentu tidak datang secara tiba-tiba. Alasan utama, mengapa sukses selalu dihubungkan dengan harta dan kepopuleran adalah, tidak lain dan tidak bukan, karena semangat dari kapitalisme dan materialisme yang amat kuat mempengaruhi pemahaman kita tentang kesuksesan.

Kita juga tahu, bahwa kapitalisme adalah paham yang menekankan perburuan dan penumpukan modal sebagai tujuan utama aktivitas ekonomi. Modal pun dipahami secara sempit sebagai harta benda, terutama uang dan turunannya. 

Pada awalnya, paham kapitalisme merupakan tata-kelola ekonomi semata, tidak lebih dan tidak kurang. Tetapi, kini kapitalisme menjadi pandangan yang menyentuh semua lini kehidupan kita, termasuk menjadi ukuran utama kesuksesan.

Karena sukses itu sama dengan harta dan nama besar, maka tak heran kita menjadi rakus. Semua aktivitas dilihat dari sudut untung-rugi. Hitung-hitungan 'cashflow' menjadi buku putih yang wajib ditaati, melebihi realitas yang ada. Kita menjadi rakus. Menjadi mata duitan. 

Segalanya diukur dengan uang, termasuk harga diri dan kesuksesan hidup seseorang. Inilah paham materialisme yang meruanglingkupi seluruh kehidupan kita. Tujuan hidup hanya dilihat dari sisi harta benda semata, dan melupakan unsur-unsur lainnya, terutama unsur spiritual.

Sudah semestinya agama menjadi benteng terakhir dari nilai-nilai moral dan spiritual manusia modern. Dan, agama mestinya bisa membentengi masyarakat dari terpaan badai kapitalisme dan materialisme ini. Tetapi, apalah daya, justru kapitalisme masuk dan bersinergi dengan agama. Agama pun jatuh ke dalam terkaman materialisme dan kapitalisme. 

Para tokoh agama menjadi rakus uang dan nama besar, serta melupakan kedalaman hidup spiritual mereka. Jadi jangan heran, banyak tokoh agama kegiatannya hanya menjadi makelar haji dan umroh dari perusahaan travel. Institusi keagamaan hanya alat untuk menumpuk uang semata, bukan untuk memupuk spiritualitas !!!.

Aktivitas politik di negeri ini, juga tak mampu lepas dari cengkraman kapitalisme dan materialisme. Para politisi berlomba, hanya untuk menjadi pejabat dan wakil rakyat, agar  memiliki peluang dan kesempatan korupsi. Jadi jangan pernah heran, jika negara pun hanya menjadi pelindung dari kaum kaya pemilik modal (capital).

Semua ini terjadi, karena kesuksesan hidup hanya dipahami secara sangat sempit sebagai kekayaan harta dan nama besar. Sehingga, banyak orang tak pernah berhenti berlomba mencari jalan pintas untuk menjadi kaya dan memiliki kepopuleran atawa nama tenar.

Pada kondisi semacam ini, kehidupan bersama  menjadi kacau. Penuh prasangka yang sia-sia. Pembunuhan kharakter maupun fisik, dengan motif uang pun meraja lela. Karena kemiskinan tersebar di berbagai tempat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi semakin besar. Para kapitalis berlomba-lomba membangun mall dan apartemen, sementara si miskin dipaksa menjadi konsumtif. Seiring dengan ini semua, kehidupan pribadi lebih banyak dipenuhi dengan berbagai penderitaan fisik maupun psikhis.

Jika kita sedikit sadar dan memiliki pikiran jernih, ternyata uang dan nama besar tidak membawa kebahagiaan dan kedamaian hati. Sebaliknya, keduanya justru menciptakan kecemasan hidup yang lebih besar. Hanya orang-orang yang membohongi dirinya sendiri saja, yang masih percaya dan yakin bahwa uang dan nama besar akan membawa kebahagiaan dan kedamaian. Lihat apa yang terjadi, ketika banyak orang menjadi semakin rakus, gampang iri hati dan tergelincir ke dalam penderitaan hidup yang berkepanjangan !!?.

Sepertinya, kita tak mampu merekayasa kesuksesan hanya dengan pikiran semata. Dan kita perlu melakukan dekonstruksi tentang kesuksesan itu sendiri. Kata dekonstruksi berasal dari pemikir Perancis di abad 20 yang bernama Jacques Derrida. Ia merumuskan dekonstruksi sebagai upaya untuk menunda kepastian makna, sehingga makna baru yang sebelumnya tak terpikirkan memiliki ruang untuk berkembang. Kebaruan pemahaman bisa muncul melalui proses dekonstruksi ini.

Yang juga perlu kita pahami dalam proses dekonstruksi, bahwa dibalik uang dan nama besar, terselip kedamaian hati dan sikap emphati  yang terus terpinggirkan. Dekonstruksi ini akan membalik semua pemahaman kita. Kita menempatkan emphati dan kedamaian hati menjadi titik utama. 

Sebenarnya, kita semua mencari kedua hal ini dalam hidup. Tapi kita mengira, bahwa keduanya bisa dicapai dengan harta benda dan nama besar. Inilah salah satu kesalahpahaman terbesar yang wajib kita akui, dan untuk kita dekonstruksi.

Harta dan kepopuleran justru kerap kali mengorbankan kedamaian hati dan emphati. Kita justru hidup dalam kekacauan batin, kerakusan dan penderitaan, ketika memperoleh setumpuk uang serta nama besar. Kedamaian hati dansikap emphati bisa kita peroleh, jika kita menemukan jati dirinya yang asli. Jati diri ini terletak sebelum semua konsep, identitas, pikiran dan emosi muncul.

Apabila kita mampu menemukan siapa diri kita ini, maka kedamaian hati dan rasa emphati akan muncul, walaupun keadaan sulit sedang menimpa kita. Penderitaan tetap datang, karena itu merupakan bagian dari hidup. Namun, kejernihan tidak akan pernah pergi. Kejernihan membuat penderitaan bisa dijalani dengan tulus, sehingga ia berlalu dengan cepat, tanpa jejak. 

Pada akhirnya, kita menjadikan uang dan nama besar hanya semata sebagai alat, ia tidak lagi menjadi tujuan utama, apalagi menjadi ukuran kesuksesan kita. Bukan begitu ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.

Bekasi, 31 Agustus 2018.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun