Semua ini terjadi, karena kesuksesan hidup hanya dipahami secara sangat sempit sebagai kekayaan harta dan nama besar. Sehingga, banyak orang tak pernah berhenti berlomba mencari jalan pintas untuk menjadi kaya dan memiliki kepopuleran atawa nama tenar.
Pada kondisi semacam ini, kehidupan bersama  menjadi kacau. Penuh prasangka yang sia-sia. Pembunuhan kharakter maupun fisik, dengan motif uang pun meraja lela. Karena kemiskinan tersebar di berbagai tempat. Kesenjangan antara si kaya dan si miskin menjadi semakin besar. Para kapitalis berlomba-lomba membangun mall dan apartemen, sementara si miskin dipaksa menjadi konsumtif. Seiring dengan ini semua, kehidupan pribadi lebih banyak dipenuhi dengan berbagai penderitaan fisik maupun psikhis.
Jika kita sedikit sadar dan memiliki pikiran jernih, ternyata uang dan nama besar tidak membawa kebahagiaan dan kedamaian hati. Sebaliknya, keduanya justru menciptakan kecemasan hidup yang lebih besar. Hanya orang-orang yang membohongi dirinya sendiri saja, yang masih percaya dan yakin bahwa uang dan nama besar akan membawa kebahagiaan dan kedamaian. Lihat apa yang terjadi, ketika banyak orang menjadi semakin rakus, gampang iri hati dan tergelincir ke dalam penderitaan hidup yang berkepanjangan !!?.
Sepertinya, kita tak mampu merekayasa kesuksesan hanya dengan pikiran semata. Dan kita perlu melakukan dekonstruksi tentang kesuksesan itu sendiri. Kata dekonstruksi berasal dari pemikir Perancis di abad 20 yang bernama Jacques Derrida. Ia merumuskan dekonstruksi sebagai upaya untuk menunda kepastian makna, sehingga makna baru yang sebelumnya tak terpikirkan memiliki ruang untuk berkembang. Kebaruan pemahaman bisa muncul melalui proses dekonstruksi ini.
Yang juga perlu kita pahami dalam proses dekonstruksi, bahwa dibalik uang dan nama besar, terselip kedamaian hati dan sikap emphati  yang terus terpinggirkan. Dekonstruksi ini akan membalik semua pemahaman kita. Kita menempatkan emphati dan kedamaian hati menjadi titik utama.Â
Sebenarnya, kita semua mencari kedua hal ini dalam hidup. Tapi kita mengira, bahwa keduanya bisa dicapai dengan harta benda dan nama besar. Inilah salah satu kesalahpahaman terbesar yang wajib kita akui, dan untuk kita dekonstruksi.
Harta dan kepopuleran justru kerap kali mengorbankan kedamaian hati dan emphati. Kita justru hidup dalam kekacauan batin, kerakusan dan penderitaan, ketika memperoleh setumpuk uang serta nama besar. Kedamaian hati dansikap emphati bisa kita peroleh, jika kita menemukan jati dirinya yang asli. Jati diri ini terletak sebelum semua konsep, identitas, pikiran dan emosi muncul.
Apabila kita mampu menemukan siapa diri kita ini, maka kedamaian hati dan rasa emphati akan muncul, walaupun keadaan sulit sedang menimpa kita. Penderitaan tetap datang, karena itu merupakan bagian dari hidup. Namun, kejernihan tidak akan pernah pergi. Kejernihan membuat penderitaan bisa dijalani dengan tulus, sehingga ia berlalu dengan cepat, tanpa jejak.Â
Pada akhirnya, kita menjadikan uang dan nama besar hanya semata sebagai alat, ia tidak lagi menjadi tujuan utama, apalagi menjadi ukuran kesuksesan kita. Bukan begitu ?!! Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 31 Agustus 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H