Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra.
Menjadi sederhana itu, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Karena apapun yang kita lakukan, yang mungkin menurut kita sederhana, namun orng lain justru menganggap kita tidak sederhana. Kesederhanaan adalah perilaku yang begitu relatif. Bagi orang kaya mengendarai mobil seharga dibawah 200 juta bisa dikatakan sederhana. Tapi, lain halnya ketika ia tergolong menengah kebawah, mengendari mobil seharga tersebut sudah terbilang kaya raya. Orang yang tidak pernah makan di restoran, ketikaa ia ditraktir temannya makan di restoran, pasti ia menganggap temannya itu orang kaya. Sederet analogi seperti ini, bisa lebih panjang lagi dibuat.
Hampir setiap manusia yang menyadari bahwa kesederhanaan akan membawa ketenangan dan kedamaian, inginnya sih, bisa hidup dalam atmosfir kesederhanaan. Karena kesederhanaan akan membantu diri kita dalam mencapai tujuan-tujuan hidup yang kita kehendaki. Selain itu, kesederhanaan juga memberikan kebahagiaan. Namun, seringkali, usaha untuk mencapai kesederhanaan amatlah rumit. Disinilah paradoks yang seringkali kita jumpai : dimana, ketika kita semakin menginginkan hidup sederhana, semakin rumit pula cara-cara yang akan kita tempuh ?!!
Mungkin kita harus lebih banyak belajar dari Rasulullah Saw, dimana pada suatu situasi beliau menjadi orang "kaya". Dan, pada kondisi lain, beliau menjadi orang yang tak memiliki harta apapun. Pada saat tertentu, beliau juga berada pada posisi di antara keduanya. Semua ini, tidak terlepas dari figur beliau untuk menjadi Uswatun Hasanah (teladan yang baik) bagi kita semua. Rasulullah saw pernah menjadi orang kaya, dimaksudkan agar umatnya yang dianugerahi kelebihan rezeki dapat mencontoh beliau tatkala berinteraksi dengan hartanya, cara memperoleh harta yang halal, mensyukuri kekayaan, dan senantiasa membelanjakannya di jalan yang benar.
Rasulullah, Muhammad Saw pernah pula menjadi orang miskin. Dimana hikmah yang bisa kita pelajari adalah agar kita yang masih mengalami kekurangan bisa meneladani beliau, dengan  bersabar dan menjaga kehormatan diri, sekaligus keluar dari jerat kemiskinan dengan cara-cara yang baik dan benar.
Rasulullah Saw., juga telah dianugerahi harta yang begitu berlimpah, namun pada saat yang sama beliau berada dalam kesederhanaan, hartanya dapat menghidupi dan menafkahi para yatim dan dhuafa. Kesederhanaan kehidupan ekonomi Rasulullah Muhammad saw tercermin dari berbagai riwayat berikut : Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. Anas ra mengatakan: "Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau." (HR. Bukhari No. 2068, Kitabul Buyu')
Khalifah Umar bin Khattab juga pernah berkisah: "Aku masuk menemui Rasulullah saw yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekat beliau, lalu beliau menurunkan kain sarungnya. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. Aku melihat segenggam gandum, kira-kira seberat satu sha', dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar, juga sehelai kulit binatang yang samakannya tidak sempurna. Seketika dua mataku meneteskan air mata tanpa dapat aku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasulullah saw bertanya: "Apakah yang membuatmu menangis, wahai Putra Khattab?" Aku menjawab: "Wahai Rasulullah bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar itu telah membekas di tubuhmu, dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain daripada apa yang telah aku lihat. Sedangkan Raja Romawi dan Persia bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya, hanya ada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini." Rasulullah saw lalu berkata: "Wahai Putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita, dan dunia menjadi bagian mereka?" (HR. Muslim No. 3768, kitab at-Thalaq)
Selanjutnya, riwayat lain menceritakan, bahwa suatu ketika para istri Nabi serentak menuntut beliau agar keperluan nafkah mereka segera dipenuhi. Mereka menuntut demikian karena Nabi mendapat harta rampasan setelah memperoleh kemenangan di Hunain, namun kebutuhan keluarga tidak didahulukan. Semua harta tersebut habis dibagi-bagikan Rasulullah kepada yang lebih berhak, termasuk memberikan banyak unta kepada orang-orang dari suku Arab yang baru memeluk Islam. Dalam kondisi tiadanya bahan makanan seperti itu, Rasulullah beserta para istri beliau sering memilih berpuasa.
Kehidupan sederhana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, juga tercermin dari rumah beliau beserta isinya, serta pakaian yang dikenakan. Rumah beliau hanyalah berupa bilik-bilik yang teramat sederhana di samping masjid Nabawi. Beliau makan apa adanya, secukupnya dan tidak berlebihan. Tidak jarang, beliau memerah susu kambing dengan kedua tangannya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Dalam hal pakaian, Nabi mengenakan pakaian yang tidak mahal. Malah beliau seringkali menjahit pakaiannya sendiri, dan memperbaiki sepatunya dengan tangan sendiri.
Perlu pula kita fahami, bahwa Rasulullah tidak menganjurkan apalagi memerintahkan umatnya untuk anti kepada kesenangan atau kenikmatan. Menurut salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda: "Sungguh menyenangkan kekayaan itu jika didapat dengan cara yang halal dan oleh orang yang tahu cara membelanjakannya."Masih menurut beliau, "Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan."
Kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah kepada ummatnya ini, merupakan teladan penting dalam hidup kita di era digital sekarang ini. Karena boleh jadi, manusia yang terlena dalam kehidupan yang berlebihan, justru akan memperumit kehidupan manusia itu sendiri, apalagi diperolehnya dengan cara-cara yang tidak baik dan tidak benar, alias tidak halal.Â
Sementara itu, kegagalan terbesar kita sebagai manusia adalah kegagalan untuk menyederhanakan hidup kita. Kita menciptakan hal-hal yang membuat hidup kita rumit. Kita memilih gaya hidup yang membutuhkan banyak uang dan energi. Akhirnya, hidup kita menjadi sedemikian rumit, karena kita harus bekerja membanting tulang, guna memenuhi kebutuhan dari hidup kita yang rumit tersebut.
Gagasan atawa ide tentang kesederhanaan bukan hanya ide filosofis maupun seni, tetapi juga merupakan ide bisnis dan politik. Ide ini begitu sederhana dan emosional, tetapi juga memiliki dampak yang amat besar untuk bisnis dan politik. Ketika kita mulai berani memikirkan dan menggenggam ide ini, hidup kita sebagai manusia juga akan berubah. Ketika hidup banyak orang berubah, maka dunia pun juga akan berubah.
Contoh paling jelas dari ide tentang kesederhanaan, adalah Sushi, makanan Jepang yang terkenal di dunia itu. Jiro Ono bekerja di restoran Sukibayashi Jiro di Ginza, Tokyo, Jepang. Ia dianggap sebagai master Sushi terbaik di dunia. Ketika ia bekerja, ia bekerja dengan dedikasi dan konsentrasi yang amat tinggi, guna menghasilkan sushi yang indah, enak namun sekaligus amat rumit. (Gelb, 2011)
Filsafat dasar dari Jiro Ono adalah Shibumi yang berarti "kesempurnaan yang tidak membutuhkan usaha" (effortless perfection). "Di dalam konteks ini", demikian tulis Hoque tentang Ono, "Shibumi menyatakan harmoni, ketentangan dan keseimbangan." Dengan kata lain, Shibumi adalah cara berpikir yang berpijak pada ketenangan yang indah dan pemahaman yang dalam. Ini semua lebih dalam dari sekedar pengetahuan.
Jiro Ono berusaha setiap harinya membuat Sushi dengan tingkat berpikir yang dalam dan tenang. Ia mencoba setiap harinya membuat Sushi dengan pikiran seorang pemula. "Ia", demikian Hoque, "tidak memikirkan apa yang belum dan apa yang akan dibuatnya." Dengan kata lain, ia sungguh hidup disini dan saat ini, guna mencapai kesempurnaan karyanya, yakni Sushi yang sempurna.
Ada tiga prinsip dasar yang dijalankan oleh Ono. Yang pertama adalah displin, yakni kemampuan untuk mengatakan "tidak", ketika ada hal-hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan. Kedisplinan juga berarti ketegasan dalam konteks ini. Kita seringkali takut untuk menerapkan hal ini, karena khawatir merusak hubungan dengan orang lain. Sikap menghormati atas dasar rasa takut inilah yang harus kita buang jauh-jauh.
Prinsip kedua, adalah kesabaran. Kesabaran, dalam konteks ini, berarti sikap tenang yang membiarkan cinta dan pengalaman mewujud ke dalam sebuah produk. Kesabaran berarti tidak memaksa kenyataan untuk sesuai dengan pikiran kita. Kesabaran berarti membiarkan keindahan mewujud dengan sendirinya ke dalam kenyataan.
Prinsip ketiga adalah fokus pada satu tujuan. Pikiran kita seringkali terbelah. Kita tak tahu, apa yang kita inginkan dalam hidup kita. Seringkali, rasa takut akan masa depan menghantui kejernihan berpikir kita. Ketika ini terjadi, kita kehilangan fokus, dan tak akan pernah mencapai kesempurnaan dari karya kita. Kesempurnaan membutuhkan fokus yang tak terbagi. (Hoque, 2013).
Pada akhirnya, ternyata menjadi sederhana itu, tidaklah sederhana. Kita perlu terus berusaha untuk menemukan kesederhanaan hidup yang tertinggi, melalui cara berpikir yang mendalam dan kesabaran yang panjang. Tentu, kita juga tidak ingin mencari kekayaan, hanya untuk memuaskan keinginan-keinginan jangka pendek saja. Kita ingin menemukan kesempurnaan dari hal-hal yang kita cintai, dengan begitu hidup akan menjadi lebih berarti. Wallahu A'lamu Bishshawwab.
Bekasi, 19 Juni 2017.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H