Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menjadi Sederhana itu, Tidak Sederhana!?

19 Juni 2017   22:01 Diperbarui: 26 Oktober 2023   11:12 1043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Mbah Dharmodumadi Purwalodra.

Menjadi sederhana itu, ternyata tidak semudah yang kita bayangkan. Karena apapun yang kita lakukan, yang mungkin menurut kita sederhana, namun orng lain justru menganggap kita tidak sederhana. Kesederhanaan adalah perilaku yang begitu relatif. Bagi orang kaya mengendarai mobil seharga dibawah 200 juta bisa dikatakan sederhana. Tapi, lain halnya ketika ia tergolong menengah kebawah, mengendari mobil seharga tersebut sudah terbilang kaya raya. Orang yang tidak pernah makan di restoran, ketikaa ia ditraktir temannya makan di restoran, pasti ia menganggap temannya itu orang kaya. Sederet analogi seperti ini, bisa lebih panjang lagi dibuat.

Hampir setiap manusia yang menyadari bahwa kesederhanaan akan membawa ketenangan dan kedamaian, inginnya sih, bisa hidup dalam atmosfir kesederhanaan. Karena kesederhanaan akan membantu diri kita dalam mencapai tujuan-tujuan hidup yang kita kehendaki. Selain itu, kesederhanaan juga memberikan kebahagiaan. Namun, seringkali, usaha untuk mencapai kesederhanaan amatlah rumit. Disinilah paradoks yang seringkali kita jumpai : dimana, ketika kita semakin menginginkan hidup sederhana, semakin rumit pula cara-cara yang akan kita tempuh ?!!

Mungkin kita harus lebih banyak belajar dari Rasulullah Saw, dimana pada suatu situasi beliau menjadi orang "kaya". Dan, pada kondisi lain, beliau menjadi orang yang tak memiliki harta apapun. Pada saat tertentu, beliau juga berada pada posisi di antara keduanya. Semua ini, tidak terlepas dari figur beliau untuk menjadi Uswatun Hasanah (teladan yang baik) bagi kita semua. Rasulullah saw pernah menjadi orang kaya, dimaksudkan agar umatnya yang dianugerahi kelebihan rezeki dapat mencontoh beliau tatkala berinteraksi dengan hartanya, cara memperoleh harta yang halal, mensyukuri kekayaan, dan senantiasa membelanjakannya di jalan yang benar.

Rasulullah, Muhammad Saw pernah pula menjadi orang miskin. Dimana hikmah yang bisa kita pelajari adalah agar kita yang masih mengalami kekurangan bisa meneladani beliau, dengan  bersabar dan menjaga kehormatan diri, sekaligus keluar dari jerat kemiskinan dengan cara-cara yang baik dan benar.

Rasulullah Saw., juga telah dianugerahi harta yang begitu berlimpah, namun pada saat yang sama beliau berada dalam kesederhanaan, hartanya dapat menghidupi dan menafkahi para yatim dan dhuafa. Kesederhanaan kehidupan ekonomi Rasulullah Muhammad saw tercermin dari berbagai riwayat berikut : Dari Aisyah ra, bahwa Rasulullah membeli makanan dari seorang Yahudi dan menjaminkan kepadanya baju besi. Anas ra mengatakan: "Rasulullah menggadaikan baju besinya kepada seorang Yahudi di Madinah dan mengambil darinya gandum untuk keluarga beliau." (HR. Bukhari No. 2068, Kitabul Buyu')

Khalifah Umar bin Khattab juga pernah berkisah: "Aku masuk menemui Rasulullah saw yang sedang berbaring di atas sebuah tikar. Aku duduk di dekat beliau, lalu beliau menurunkan kain sarungnya. Terlihatlah tikar telah meninggalkan bekas di tubuh beliau. Kemudian aku melayangkan pandang ke sekitar kamar beliau. Aku melihat segenggam gandum, kira-kira seberat satu sha', dan daun penyamak kulit di salah satu sudut kamar, juga sehelai kulit binatang yang samakannya tidak sempurna. Seketika dua mataku meneteskan air mata tanpa dapat aku tahan melihat kesederhanaan beliau. Rasulullah saw bertanya: "Apakah yang membuatmu menangis, wahai Putra Khattab?" Aku menjawab: "Wahai Rasulullah bagaimana aku tidak menangis, sedangkan tikar itu telah membekas di tubuhmu, dan di tempat ini aku tidak melihat yang lain daripada apa yang telah aku lihat. Sedangkan Raja Romawi dan Persia bergelimang buah-buahan dan harta, sedangkan engkau adalah utusan Allah dan hamba pilihan-Nya, hanya ada dalam sebuah kamar pengasingan seperti ini." Rasulullah saw lalu berkata: "Wahai Putra Khattab, apakah kamu tidak rela jika akhirat menjadi bagian kita, dan dunia menjadi bagian mereka?" (HR. Muslim No. 3768, kitab at-Thalaq)

Selanjutnya, riwayat lain menceritakan, bahwa suatu ketika para istri Nabi serentak menuntut beliau agar keperluan nafkah mereka segera dipenuhi. Mereka menuntut demikian karena Nabi mendapat harta rampasan setelah memperoleh kemenangan di Hunain, namun kebutuhan keluarga tidak didahulukan. Semua harta tersebut habis dibagi-bagikan Rasulullah kepada yang lebih berhak, termasuk memberikan banyak unta kepada orang-orang dari suku Arab yang baru memeluk Islam. Dalam kondisi tiadanya bahan makanan seperti itu, Rasulullah beserta para istri beliau sering memilih berpuasa.

Kehidupan sederhana yang dicontohkan oleh Rasulullah Saw, juga tercermin dari rumah beliau beserta isinya, serta pakaian yang dikenakan. Rumah beliau hanyalah berupa bilik-bilik yang teramat sederhana di samping masjid Nabawi. Beliau makan apa adanya, secukupnya dan tidak berlebihan. Tidak jarang, beliau memerah susu kambing dengan kedua tangannya untuk memenuhi konsumsi keluarga. Dalam hal pakaian, Nabi mengenakan pakaian yang tidak mahal. Malah beliau seringkali menjahit pakaiannya sendiri, dan memperbaiki sepatunya dengan tangan sendiri.

Perlu pula kita fahami, bahwa Rasulullah tidak menganjurkan apalagi memerintahkan umatnya untuk anti kepada kesenangan atau kenikmatan. Menurut salah satu hadits, Rasulullah saw bersabda: "Sungguh menyenangkan kekayaan itu jika didapat dengan cara yang halal dan oleh orang yang tahu cara membelanjakannya."Masih menurut beliau, "Kekayaan merupakan bantuan yang baik bagi ketakwaan."

Kesederhanaan yang diajarkan Rasulullah kepada ummatnya ini, merupakan teladan penting dalam hidup kita di era digital sekarang ini. Karena boleh jadi, manusia yang terlena dalam kehidupan yang berlebihan, justru akan memperumit kehidupan manusia itu sendiri, apalagi diperolehnya dengan cara-cara yang tidak baik dan tidak benar, alias tidak halal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun