Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi
Mbah Dharmodumadi Mohon Tunggu... Dosen - Mbah Dharmodumadi / Wira Dharmadumadi Purwalodra adalah nama pena dari Muhammad Eko Purwanto

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masih Banyak Orang yang Tidak Tahu di Tidak Tahunya!

17 Oktober 2016   08:30 Diperbarui: 29 Januari 2017   22:30 287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto koleksi pribadi (Okt-2016)

 Oleh. Purwalodra

Seringkalai kita menemukan teman-teman yang merasa dirinya mengetahui segala hal, termasuk hari esok dalam hidup ini. Mungkin, mereka belum menyadari bahwa tak ada manusia yang mampu mengetahui hari esok itu akan seperti apa, dan bagaimana ? Bahkan ikhtiar kita, sebagai manusia, hanyalah sebatas usaha saja, sementara hasilnya pun, kita tak pernah mampu memprediksinya dengan tepat.

Hakekatnya, orang yang merasa dirinya tahu segala hal, adalah mereka yang sebenarnya tidak tahu apa-apa. Begitupun sebaliknya, justru orang yang merasa dirinya tidak tahu itu, akan mengetahui apa yang tidak ia ketahui.Ujung-ujungnya, karena kerendahan hatinyalah ia bisa jadi mengetahui apa-apa yang ada pada dirinya. Hal ini terbukti dari sikap kepemimpinan seseorang, dimana seorang pemimpin yang merasa paling tahu ternyata adalah orang yang paling tidak tahu atawa bodoh. Bahkan, juga terbukti bahwa atasan yang selalu meremehkan bawahannya adalah atasan yang tidak pernah tahu bahwa dirinya pernah jadi bawahan ?!

Dalam Filsafat Ilmu, dinyatakan bahwa, ada 4 (empat) kategori pada  diri manusia, yakni : Ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya; ada pula orang yang tahu di tidak tahunya; lantas ada orang yang tidak tahu di tidak tahunya; dan terakhir adalah ada orang yang tahu di tahu nya. Ternyata, dari keempat kategori tersebut, ada orang yang paling berbahaya bagi kehidupan sesama, yakni orang yang tidak tahu di tidak tahunya ?!

Orang yang tidak tahu di tidak tahunya ini, adalah orang yang justru merasa paling benar, pintar dan tidak pernah mewaspadai sikap serta perilakunya sendiri. Apa yang ia ucapkan akan nampak selalu benar, dan apa yang dilakukannya merasa tidak pernah salah. Orang seperti ini tidak buta matanya, dan tidak tuli telinganya. Tetapi, yang buta dan tuli itu adalah hatinya ?!

Bahkan orang yang tidak pernah menyadari kesalahannya ini, adalah orang yang selalu benar, kalau pun ada yang salah, itupun bukan kesalahan langsung atas dirinya sendiri. Dengan mudahnya, ia juga bisa mencari kambing hitam diantara orang-orang yang tidak memiliki kekuasaan di sekitarnya.

Orang yang memiliki kategori ‘tidak tahu di tidak tahunya’ ini, jika saja memiliki kekuasaaan dan memimpin sebuah lembaga, maka sudah bisa dipastikan bahwa ia akan menjadi pemimpin yang otokratik sekaligus merasa dirinyalah yang pantas menjadi pemimpin, bukan orang lain. Ujung-ujungnya, orang seperti ini akan mudah lupa diri, alias lupa siapa dirinya ?!

Ingat ?! bahwa orang yang tidak tahu di tidak tahunya ini, kebanyakan adalah orang-orang yang sibuk, namun tak jelas kesibukannya. Kita biasa menyebutnya sebagai busy fool, yakni orang-orang bodoh yang tampak sibuk. Mereka sibuk dengan hal-hal kecil, dan tak melihat gambaran besar, bahkan tenaga habis namun hasil sangat minimal. Orang-orang semacam ini akan gagal. Bukan hanya gagal, mereka pun tidak banyak belajar dari kegagalan yang telah dialaminya terdahulu, bahkan tidak mampu merefleksi masa lalu dirinya sendiri. Mereka akan terus mengulang kesalahan yang sama, dan jatuh pada lubang yang sama. Hasilnya pun tetap sama, yakni tak ada?!

Menurut Peter Bregman, 2011, di dalam artikelnya di Harvard Business Review, menyebut hal ini sebagai ritual kegagalan, yakni kegagalan yang telah menjadi begitu biasa, sehingga ia menjadi ritual yang berulang terus, tanpa disadari. Kegagalan akhirnya menjadi suatu kebiasaan, dan mengental menjadi identitas diri. Mereka pun menjadi orang-orang yang tidak produktif.

Banyak orang mengira rantai kegagalan bisa diputus, jika orang bisa meyakinkan diri mereka sendiri, bahwa mereka adalah orang yang produktif. Sayangnya saran ini salah. Sugesti diri tidak cukup untuk melenyapkan ritual kegagalan, bagi orang yang berkategori tidak pernah tahu di tidak tahunya itu. Salah satu upaya, untuk memutus ketidaktahuan kita pada apa yang tidak kita tahu ini, adalah dengan melakukan kontrol diri. Pada esensinya kontrol diri adalah kemampuan seseorang untuk menunda semua bentuk kenikmatan, demi mewujukan suatu misi tertentu.

Tanpa kontrol diri kita tidak akan dapat mencapai apapun di dalam hidup. Sayangnya di era yang serba instan ini, konsep kontrol diri terlupakan. Orang terbuai dengan kenikmatan serta kemudahan hidup, dan merasa tak perlu lagi melakukan kontrol diri.

Berdasarkan penelitian Schwartz dapatlah dikatakan, bahwa pemahaman lama kita tentang kontrol diri sebenarnya salah. Selama ini kita memahami kontrol diri sebagai suatu upaya untuk menahan dorongan-dorongan diri, bertahan di bawah tekanan, mengikat pinggang, dan berjalan di dalam duri penderintaan hidup. Namun ini semua salah. Justru bagi Schwartz kebalikannyalah yang benar. Kontrol diri adalah soal memperoleh dan menggunakan energi diri secara tepat.

Di dalam setiap tindakan, termasuk tindakan mengontrol diri, orang perlu energi. Juga ketika kita harus melakukan pekerjaan yang membutuhkan tingkat konsentrasi tinggi, ataupun menahan diri, ketika sedang diprovokasi oleh orang lain. Semuanya butuh energi. Bahkan menurut Schwartz semua kesulitan dunia sekarang ini terjadi, akibat gagalnya manusia mengontrol dirinya sendiri. Seolah manusia kehabisan energi untuk mengontrol dirinya sendiri. Maka untuk melakukan kontrol diri, yang pertama diperlukan adalah kemampuan mengatur energi yang diperlukan untuk mengontrol diri. Caranya sederhana mulai dari menggunakan energi yang ada secara efisien, atau memiliki cara yang efektif untuk mengisi energi yang sebelumnya telah terbuang.

Pada akhirnya, kita perlu untuk menjaga energi, supaya tetap ada untuk melakukan kontrol diri, lalu menyadari bahwa kita masih banyak membutuhkan pengetahuan dalam hidup ini. Karena, semakin banyak kita isi pikiran kita dengan informasi yang penting untuk hidup kita, ternyata kita akan semakin kekurangan ?!  Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 17 Oktober 2016.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun