Oleh. Purwalodra.
Status seorang teman dalam FB-nya, mengatakan begini, “setiap hari raya, bentuk masyarakat konsumsi nampak lebih jelas. Bukankah kefitrian seharusnya mempertegas masyarakat religi. Mengapa, justru Konsumerisme terus tumbuh subur ?!” Apa yang dirasakan oleh teman saya ini, mungkin juga dialami oleh orang-orang kritis lainnya, yang merasa terheran-heran melihat perilaku masyarakat kita. Yang ternyata, bulan Ramadhan tidak mampu merubah sikap, pikiran bahkan perbuatan orang-orang yang menjalankannya ?!
Tidak bisa kita pungkiri, bahwa sejak kemerdekaan bangsa ini dari cengkeraman penjajah dulu, negri ini sudah distempel oleh negara-negara produsen, sebagai masyarakat konsumen terbesar di dunia. Karena itu, sepertinya tak perlu lagi kita mendeklarasikan diri sebagai masyarakat konsumen. Karena, kita sejak lama sudah diciptakan demikian oleh para kapitalis.
Dalam tulisan saya berjudul, ”Aku Konsumtif, Maka Aku Ada” saya menegaskan bahwa fenomena di masyarakat kita menjelang, selama dan pasca lebaran, telah banyak dipicu oleh kekuatan dari sistem kapitalisme, dengan daya pikat konsumtivismenya. Sistem ini begitu mencengkram pikiran banyak orang, sehingga sebagian besar kita menjadi kehilangan kesadaran sebagai komunitas beragama yang mengajarkan kesederhanaan dan kebersahajaan. Perilaku sehari-hari kita hanya semata sibuk untuk mengumpulkan uang, serta membeli lebih banyak barang (consumo ergo sum= aku membeli maka aku ada).
Yang lebih jelas lagi, bahwa motif terbesar masyarakat kita untuk bisa pulang mudik, hanya ingin berwisata ke tempat-tempat rekreasi atawa kuliner, daripada bersilaturrahmi ke sanak keluarga di kampung. Mereka menghabiskan uangnya selama setahun itu, ke tempat-tempat yang menurut mereka menyenangkan dan menggembirakan, jauh dari kesederhanaan.
Dalam sistem kapitalis di negeri ini, kita hidup dalam masyarakat yang amat individualistik. Setiap orang mengejar kepentingan pribadinya, dan seolah tak terlalu peduli dengan kepentingan bersama. Kita hidup dalam masyarakat yang amat kompetitif, dimana setiap orang mengurus dirinya sendiri.
Mengejar kepentingan pribadi memang tidak salah, namun bisa juga dikatakan bahwa pengejaran kepentingan pribadi adalah esensi dari kapitalisme. Dan, kita juga menyadari, sistem kapitalisme, lepas dari segala kekurangannya, adalah sistem terbaik yang dikenal umat manusia dalam hal produksi dan distribusi barang maupun jasa. Namun, ada bahaya besar yang tertanam di dalam kapitalisme, yakni orang menjadi fokus melulu pada pemenuhan kebutuhan dirinya semata, dan menjadi tak peduli dengan keluarga, teman, ataupun masyarakat sekitarnya. Kita makin menjadi manusia-manusia individualitik ?!
Kita juga sulit menyadari, bahwa multiplier effect dari masyarakat individualistik adalah menjadikan banyak orang mengalami kegelisahan hidup. Karena, banyak orang merasa terasing dan terpisah dari orang lain. Dalam kondisi seperti inilah, kita berusaha mengobati kegelisahan maupun kecemasan hidup itu, dengan membeli barang dan jasa, yang ditawarkan oleh produsen.
Lantas kita memenuhi kekosongan hati ini, dengan berbagai barang. Padahal kita juga bisa memenuhinya dengan menciptakan hubungan yang bermakna dengan orang lain. Tapi, lagi-lagi kita dibuat tidak sadar, bahwa upaya mengisi hati dengan barang-barang ini merupakan tujuan dari para kapitalis, melalui industri pemasaran maupun periklanan. Tujuan industri ini adalah untuk menciptakan keinginan akan barang-barang dari para produsen.
Dengan kondisi individualitik sekarang ini, kita memperlihatkan status diri kita dengan simbol-simbol tertentu, seperti titel, pekerjaan, jumlah barang-barang yang kita miliki, baju yang kita pakai, mobil yang kita bawa mudik, dan sebagainya. Kualitas kita sebagai pribadi dilihat dari seberapa banyak barang yang kita punya, dan apa status pekerjaan kita.
Oleh karena itu, jangan heran jika di masyarakat kita, soal gaji adalah soal yang paling sensitif. Bahkan mendiskusikan soal gaji adalah sesuatu yang amat tabu. Karena dengan mengetahui gaji seseorang, kita bisa tahu level mereka di masyarakat. Kita bisa tahu berapa “harganya” sebagai manusia.
Kita bisa berbicara macam-macam dengan sahabat kita. Tetapi soal gaji kita, pasti menolak membicarakannya. Semua ini merupakan sesuatu yang tabu dalam masyarakat konsumtif. Jika saja kita mengetahui gaji seseorang, kita bisa langsung melihatnya dengan kaca mata yang baru. Apabila gaji mereka lebih rendah dari kita, maka kita langsung melihatnya sebagai orang-orang yang levelnya di bawah kita. Jika gaji mereka lebih besar, maka kita akan cemburu, dan bahkan melihat diri kita lebih rendah dari mereka.
Tanpa kita sadari masyarakat konsumtif ini telah merubah perpektif kita, dimana kita selalu melihat dan menilai diri kita dengan jumlah gaji, pekerjaan, jumlah barang yang kita miliki, ataupun produktivitas kita. Dari titik inilah, mungkin ada baiknya kita menyadari, bahwa jika kita hanya melihat diri kita dengan kriteria-kriteria tersebut, maka kita tidak lebih dan tidak kurang, hanya menjadi ‘human doing’ belaka, dan tidak lagi menjadi ‘human being’?! Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi, 11 Juli 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H