Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jiwa yang Sakit Itu, Merusak Fisik

4 Desember 2015   08:10 Diperbarui: 6 Desember 2015   19:12 186
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam status FB teman saya, tertulis bahwa dirinya sedang menderita penyakit paru dan liver. Dalam tulisannya itu, ia memohon ampun pada Allah atas semua dosa-dosanya yang mungkin ia perbuat selama hidupnya, dan memohon agar penyakitnya segera diangkat Allah dan pulih kembali seperti sediakala. Dari statusnya ini, saya coba mengomentarinya dengan do’a agar penyakit yang ada dalam tubuh fisiknya segera dipulihkan oleh Allah Swt.

Saya meyakini, bahwa kebanyakan penyakit fisik yang ada pada diri kita sebagai manusia, akarnya seringkali bukan melulu karena fisik (bakteri, kuman dll), tetapi justru karena aspek kejiwaan atawa psikis. Dalam banyak kasus, seperti halnya penyakit dalam (paru-paru, liver, dan lain-lain), obat fisik tidak akan cukup. Saya juga meyakini, bahwa kesehatan manusia tidak pernah hanya merupakan kesehatan tubuh semata, tetapi juga kesehatan jiwa. Jadi, ada hubungan yang signifikan antara tubuh, pikiran dan jiwa.

Dalam beberapa kasus penyakit dalam, yang di derita seseorang, ada beberapa hubungan yang sangat erat antara, kondisi psikhis/kejiwaan dengan tubuh fisiknya. Seperti, terlalu sedih atau merasa tak berguna dengan penyakit Liver. Terlalu kuatir, was-was atau ketakutan pada masa lalu dan masa depan, dengan penyakit Paru-paru. Terlalu emosi, memendam emosi atau terlalu mudah emosi, dengan penyakit Ginjal. Terlalu senang, terlalu obsesif, menghalalkan segala cara, menganggap enteng suatu masalah, dengan penyakit Jantung. Dan, mungkin yang lebih menakutkan saya, bahwa ada hubungan antara sikap Pendendam dengan Kangker dalam tubuh kita ?!. 

Karena itu, saya seringkali mengatakan untuk diri saya sendiri dan sahabat-sahabat saya, bahwa menjaga hati/jiwa itu, sama halnya dengan menjaga kehidupan. Karena jalan hidup ini, sejatinya adalah pancaran dari hati atau jiwa kita sendiri ?!. Artinya, bahwa jiwa manusia sangat berpengaruh terhadap tubuh fisik dan lingkungan kehidupan manusia itu sendiri. Makanya, ada pepatah egini, ‘dalam jiwa yang sehat terdapat raga yang sehat pula, begitupun sebaliknya. Sama halnya dengan pernyataan, kemiskinan membawa pada kekufuran, begitupun sebaliknya ?!’. 

Jika hal tersebut diatas merupakan hubungan jiwa terhadap tubuh fisik kita secara internal, maka secara eksternal semua peristiwa hidup kita sehari-hari yang datang dan pergi dari hidup kita, selalu meninggalkan medan morfic yang sulit bisa dihilangkan. Karena medan morfic adalah energi yang ditinggalkan oleh suatu benda atau orang di ditempat tertentu dalam setiap kejadian. Sehingga, kita kadang sulit melupakan suatu peristiwa pahit di suatu tempat, karena medan morfic itu selalu beresonansi dengan pikiran kita saat ini.

Dan, kita juga hidup di dunia yang tak selalu sesuai dengan keinginan kita. Ketika keinginan dan harapan kita hancur di depan mata, kita mengalami krisis hidup. Pada saat krisis itu berulang kali terjadi, kita pun lalu merasa putus asa. Kita mengira, bahwa hidup ini tidak bermakna, dan tidak layak untuk dijalani.

Padahal, jika dipikirkan lebih dalam, hidup adalah kemungkinan tanpa batas. Orang bisa melakukan apapun, selama ia memiliki komitmen untuk bekerja dan berpikir, guna mewujudkan harapan serta keinginannya. Salah satu kemampuan penting untuk mencapai cara berpikir ini sudah selalu terletak di otak kita sendiri. Rasa putus asa dan frustrasi sebenarnya tidak perlu terjadi.

Berbagai penelitian terbaru tentang otak dan kesadaran kita dikembangkan dalam filsafat dan neurosains (Begley, Davidson, Schwartz, Hüther) menunjukkan satu hal, bahwa perubahan di dalam diri manusia itu adalah sesuatu yang mungkin. Ini bukan hanya sekedar perubahan cara berpikir, tetapi juga termasuk perubahan struktur biologis otak kita sendiri. Di dalam berbagai wacana ilmiah, hal ini dikenal sebagai neuroplastisitas, yakni kemampuan otak untuk terus berubah, sepanjang hidup manusia. Otak bukanlah mesin biologis tak bernyawa, melainkan sebuah sistem biologis yang bisa terus berubah dan berkembang, sepanjang hidup manusia.

Secara definitif, neuroplastisitas adalah kemampuan otak manusia untuk mengubah beragam jaringan saraf dan sel yang ada di dalamnya. Hal ini bisa terjadi sepanjang hidup manusia. Dulu, para ilmuwan dan filsuf mengira, bahwa otak hanya bisa berubah, ketika orang masih berusia muda. Orang dewasa sudah memiliki pola jaringan otak yang tetap dan tak akan bisa diubah, apalagi jika ia sudah berusia senja. Namun, sekarang pandangan itupun berubah.

Setelah melalui beragam penelitian yang panjang dan berulang, pandangan ini pun dipatahkan. Dengan melakukan beberapa tindakan tertentu, atau mengubah pola hidup secara keseluruhan, struktur otak seseorang bisa berubah. Bahkan, orang-orang yang telah mengalami luka di otaknya, misalnya telah mengalami stroke atau memiliki semacam penyakit di otaknya, juga bisa mengubah struktur otaknya. Ia tidak hanya bisa menjadi sembuh, tetapi juga bisa meningkatkan kinerja otaknya.

Oleh karena itu, dengan latihan yang sistematis dan jiwa yang damai, otak bisa menjadi sehat kembali, walaupun ia telah mengalami luka sebelumnya. Struktur otak kita, dan fungsi serta kinerjanya, amat tergantung dari bagaimana kita menggunakan otak kita di dalam berpikir. Jika kita bermalas-malasan sepanjang hari, maka jaringan sel saraf di otak juga akan membentuk pola hubungan tertentu. Sebaliknya, jika kita rajin belajar sesuatu yang baru, jaringan saraf di otak kita akan menebal, dan kinerja serta kesehatannya pun juga akan membaik.

Selanjutnta, kita seringkali terbentur situasi-situasi sulit dalam menjalani hidup. Situasi sulit ini menurut Karl Jasper, seorang filsuf Jerman, adalah situasi batas, termasuk di dalamnya adalah penderitaan, kematian, rasa bersalah, ketergantungan pada nasib, dan perjuangan di tengah bencana. Inilah yang membatasi manusia dalam hidupnya. Situasi batas ini membuat manusia sadar, betapa kita lemah dan tak berdaya. Situasi batas ini mengantarkan manusia pada kesadaran, bahwa Tuhan itu ada.

Dalam hidup kita yang senantiasa dikepung oleh krisis tanpa henti. Kematian dari orang yang kita cintai. Kehancuran bisnis yang dibangun di atas rencana dan mimpi-mimpi. Hati yang terluka akibat pengkhianatan orang yang dikasihi. Sampai ditipu sahabat yang dipercaya. Inilah saatnya kita untuk mampu berlapang dada, dan berusaha agar hati/jiwa kita tetap damai. Tetap mampu bersyukur dan ikhlas. Dengan begitu, tubuh fisik kita tak terbinasakan oleh hati/jiwa kita sendiri.

Pada akhirnya, kita akan menganggap bahwa krisis dalam hidup ini merupakan situasi di mana kita senantiasa terbuka pada yang tak terbatas, atau Tuhan itu sendiri. Pada saat krisislah kita mampu menyadari, betapa kita bukan apa-apa. Krisis adalah pintu pencerahan dan penemuan kesejatian diri yang sesungguhnya!?. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi, 04 Desember 2015.

Oleh. Dharmodumadi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun