Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tak Ada Kedamaian, Tanpa Mawas Diri?!

2 November 2015   08:37 Diperbarui: 5 Desember 2015   22:49 110
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Oleh. Dharmadumadi

Masih hangat diingatan kita, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti pada 8 Oktober 2015 lalu, mengeluarkan Surat Edaran (SE) tentang penanganan ujaran kebencian atau hate speech, dengan Nomor SE/06/X/2015. Munculnya Surat Edaran ini merupakan ekses dari berkembangnya Media Sosial di tengah-tengah kehidupan kita. Pesatnya perkembangan teknologi informasi, membuat kita sebagai manusia, bebas berpikir dan berkehendak untuk menuliskan banyak ide, gagasan dan pemikiran. Ketika kita menuliskan ide, gagasan dan pemikiran di Medsos, ternyata ada banyak orang juga, yang merasa terganggu dan tidak nyaman dengan ide, gagasan dan pikiran-pikiran kita itu. Hal ini menimbulkan akibat negatif dan friksi, di tengah-tengah kehidupan masyarakat kita yang majemuk ini.

Pada Nomor 2 huruf (f) Surat Edaran itu, disebutkan bahwa “ujaran kebencian dapat berupa tindak pidana yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan ketentuan pidana lainnya di luar KUHP, yang berbentuk antara lain : 1. Penghinaan, 2. Pencemaran nama baik, 3. Penistaan, 4. Perbuatan tidak menyenangkan, 5. Memprovokasi, 6. Menghasut, 7. Menyebarkan berita bohong, dan semua tindakan di atas memiliki tujuan atau bisa berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa, dan atau konflik sosial”. Dari ekses negatif yang ditimbulkan dari perkembangan Media Sosial ini, sudah selayaknya kita melakukan kritik dan instrospeksi terhadap diri kita sendiri, agar apa yang kita lakukan berada pada garis kritis kedamaian dan ketenangan bersama.

Tekait dengan Ujaran Kebencian (hate speech) dan berbagai hal tentang perilaku hidup, baik secara individual maupun kelompok ini, sejak lama kita memahami bahwa tidak ada kebaikan hidup yang bisa kita alami, tanpa adanya mawas diri. Artinya, bahwa kenyamanan dan kedamaian hidup kita banyak dipengaruhi oleh seberapa dalam kita mampu menilai diri kita sendiri, hubungannya dengan lingkungan yang kita tinggali, saat ini.

Tak bisa kita bantah lagi, bahwa dengan media sosial yang ada sekarang ini, kita lebih sibuk untuk mengubah orang lain dan dunia di sekitar kita, supaya sesuai dengan keinginan kita. Namun, kita selalu saja gagal dan justru apa yang kita nyatakan dalam media sosial itu banyak mendapatkan perlawanan dari orang-orang yang bergabung di dalamnya. Lalu, kita pun kecewa, bersedih dan bahkan marah. Dengan kondisi semacam ini, lalu munculah benih-benih dendam dan konflik di masyarakat, yang justru berasal dari hal-hal yang tidak subtansial.  

Bagaimanapun kita berusaha, dunia di luar kita, termasuk orang-orang di sekitar kita, tidak akan pernah sejalan dengan keinginan kita. Inilah akar dari segala penderitaan di dunia, yakni ketika kita memaksa dunia luar sejalan dengan keinginan kita, lalu gagal. Jika seperti itu terjadi, maka kita patut mengajukan pertanyaan sederhana berikut. Apakah ide, gagasan dan pikiran-pikiran kita di Media Sosial itu baik untuk dimunculkan ?.

Mawas diri berarti kita mengawasi diri kita sendiri, terutama emosi dan pikiran-pikiran yang muncul di dalam diri. Ketika kita marah, sedih, cemas, ataupun gembira, kita lalu mengawasi perasaan-perasaan tersebut sebagai sesuatu yang sementara, bahkan ilusi. Ketika ide, gagasan dan pikiran-pikiran yang sarat dengan emosi-emosi itu muncul di Medsos, maka resonansinya justru akan lebih memicu munculnya emosi-emosi tambahan, baik kesedihan, kecemasan, kemarahan dan lain-lain. Sehingga kita tak lagi mampu berpikir jernih, ilmiah, dan kritis.

Emosi dan perasaan adalah hasil dari pengalaman-pengalaman hidup kita sebelumnya. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa marah, ketika dihina. Kita belajar dan kemudian dikondisikan untuk merasa senang, ketika mendapatkan sanjungan. Emosi maupun perasaan kita adalah bentukan sosial yang sifatnya semu dan bahkan menipu ?!.

Pikiran kita pun merupakan hasil dari bentukan masa lalu kita. Kita berpikir dengan pola tertentu, sebagaimana yang kita pelajari dan lakukan di masa lalu. Ketika keadaan tidak sesuai keinginan, kita lalu dibentuk dan dikondisikan untuk berpikir, bahwa ini adalah masalah. Pikiran dan emosi menciptakan ketegangan di dalam diri manusia yang merupakan sumber dari segala penderitaan batin manusia.

Ketika kita menyadari dan menjadi pengawas atas pikiran dan emosi kita itu, sebagai sebentuk ilusi yang semu dan menipu, kita bisa masuk ke dalam ketenangan batin. Jadi, hasil dari sikap mawas diri ini adalah hancurnya semua ilusi dan pengkondisian dari masa lalu kita. Pada saat, emosi dan pikiran kita hancur, maka kita masuk ke “titik nol” kehidupan, yakni kebahagiaan batin. Di dalam kebahagiaan batin itulah, kita merasa bebas dan damai, sehingga mampu melihat segala sesuatu dalam kejernihan.

Kejernihan di dalam melihat dunia akan melahirkan sikap-sikap yang baik dan tepat. Kita tidak lagi bereaksi secara anarkhis dan keras terhadap berbagai tantangan dunia. Kita lalu menanggapi semuanya dengan sikap dan analisis yang tepat, sesuai dengan keadaan dan kebutuhan yang ada. Kejernihan yang lahir dari kebebasan serta kedamaian batin inilah yang menjadi inti utama dari kebijaksanaan. Sehingga, ide, gagasan dan pikiran-pikiran yang lahir dan muncul di media sosial akan beresonansi positip.

Di dalam kejernihan batin ini, kita lalu tidak lagi sibuk ngotot mengubah orang lain atau memaksakan pikiran-pikiran kita di dunia maya, supaya sejalan dengan keinginan kita itu. Kita lalu menerima apa yang terjadi, lalu berusaha melakukan perbaikan, sesuai dengan kebutuhan dan keadaan yang nyata. Kita tidak lagi sibuk dengan prinsip-prinsip di kepala kita, yang kerap kali dibarengi dengan emosi keras dan membuat bathin kita terus gelisah. Kita lalu sibuk untuk mengawasi diri kita sendiri, termasuk semua emosi, perasaan dan pikiran yang lewat di dalamnya sebagai sebentuk pengkondisian yang sifatnya semu dan menipu.

Perjalanan mawas diri menuju kejernihan batin dan kebijaksanaan hidup ini tentu harus dilalui. Ada yang bisa langsung memahami dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada yang perlu waktu lama untuk memahaminya terlebih dahulu. Karena, tidak ada rumus universal untuk hal ini ?!.

Di dalam prosesnya, tentu ada keberhasilan dan kegagalan. Kerap kali, kita lalu kembali terjebak di dalam emosi dan pikiran-pikiran kita yang lahir dari pengalaman masa lalu dan pengkondisian kita. Kita pun kembali mengalami konflik bathin, dan lalu merasakan kegelisahan. Namun, semua ketegangan batin itu haruslah tetap diawasi dan disadari sebagai ilusi. Kita tidak boleh hanyut ke dalamnya, bahkan kita terus menyadari bahwa tak pernah ada kedamaian di dunia kita sendiri, tanpa mengawasi diri sendiri !?. Wallahu A’lamu Bishshsawwab.

Bekasi 02 November 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun