Mohon tunggu...
Mbah Dharmodumadi Purwalodra
Mbah Dharmodumadi Purwalodra Mohon Tunggu... Dosen - Mati sa'jroning urip iku kudu dilakoni, kanggo ngunduh kamulyan.

Simbah mung arep nulis, sa' karepe simbah wae, ojo mbok protes. Sing penting, saiki wacanen ning ojo mbok lebokke ning jero dodo, yooo ?!!

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Menjadi Tawanan Mimpi !?

30 Juni 2015   10:10 Diperbarui: 5 Desember 2015   21:59 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh. Dharmodumadi

 Terus terang, sampai saat ini aku masih merindukan sebuah organisasi yang membangun jiwa para anggotanya, bukan cuma fisiknya. Aku merindukan sosok pemimpin yang mengayomi dan menumbuhkan kreativitas manusia-manusia yang ada di dalamnya. Aku juga merindukan teman-teman dan orang-orang yang satu sama lain saling menghargai, membangun kreatifitas dan saling melengkapi, bukannya saling membunuh. Aku merindukan aturan dan kebijakan yang adil, yang menghormati hak masing-masing orang. Aku merindukan suasana dan iklim kekeluargaan tanpa diskriminasi. Aku merindukan semuanya. Kerinduan-keriduan inilah yang selalu memenjarakanku dalam mimpi-mimpi di setiap jengkal perjalanan hidupku.

Aku sering bertanya-tanya, mengapa sampai di batas usiaku yang nyaris setengah abad ini, aku masih merindukan sesuatu yang seharusnya bisa kubangun sejak dulu ?!. Mengapa juga aku masih bermimpi bahwa ada cita-citaku yang belum kesampaian selama aku bekerja dengan orang lain ?!. Mungkin, kepentinganku selama ini masih terbalut nafsu, atau mungkin apa yang kuimpikan selama ini terlalu tinggi, sehingga aku masih menjadi tawanan bagi mimpi-mimpiku sampai detik ini.

Ketidakpuasan dalam bekerja, ketidaksenangan dalam menjalani tugas-tugas, dan kejenuhan dalam menyelesaikan persoalan-persoalan organisasi, menjadi sarapan pagi dan makan siangku di kantor. Rasa syukurpun terkikis karena letihnya menjadi tawanan mimpi. Aku seakan keluar-masuk penjara hampir setiap hari. Penjara pikiran dan penjara bathin.

Kegalauanku yang paling dalam adalah ketika banyak orang di dalam oganisasi hanya mementingkan dirinya sendiri. Orang yang bersalah akan menerima kesalahannya seratus persen, orang yang merasa benar menjadi sangat berkuasa. Kadang mereka tidak menyadari bahwa semua orang yang berada dalam satu organisasi adalah berada dalam sebuah sistem. Dimana kesalahan seseorang tidak bisa dianggap sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, tapi ia berada dalam suatu koridor sistem. Pada saat orang-orang yang berada dalam sebuah sistem tidak menyadari, bahwa dirinya menyatu dengan lainnya, maka disinilah letak penyakit organisasi itu berada. Di dalam sebuah sistem tidak ada satu sama lain yang terpisah di dalamnya. Seluruh elemen organisasi terikat di dalam sistem yang dibangunnya. Justru organisasi yang sakit akan menimbulkan lebih banyak penyakit pada orang-orang yang berada di dalamnya.

Dari paparan di atas, aku teringat pada seorang pemikir abad pertengahan, Boethius, yang hidup pada 480 sampai dengan 526 masehi. Ia menulis buku yang berjudul “Hiburan dari Filsafat”. Ia juga penerjemah karya-karya Plato dan Aristoteles. Sewaktu menulis buku ini, ia sedang berada dalam penjara, dan menanti hukuman mati yang dijatuhkan padanya. Ia juga seringkali menulis dengan gaya puitis untuk menyampaikan pemikirannya.

Buku yang ia tulis ini dimulai dengan renungannya tentang betapa rapuhnya kebahagiaan yang bisa dirasakan manusia. Ia begitu mudah datang dan kemudian pergi meninggalkan manusia. Ia tidak dapat dipercaya, kata Boethius.

Boethius juga membayangkan berdiskusi dengan Fortuna, sang Dewi Kebahagiaan dan Keberuntungan. Ia pun bertanya, mengapa kebahagiaan begitu rapuh, dan begitu cepat meninggalkan manusia? Sang Dewi lalu menjawab, bahwa tugasnya sebagai Dewi hanyalah mendorong roda kebahagiaan, yang juga merupakan roda takdir itu sendiri.

Terkadang, manusia berada di atas, dan dia merasa bahagia. Namun, terkadang, ia berada di bawah, dan merasakan penderitaan. Maka dari itu, manusia tidak perlu untuk mengeluh atas keadaannya. Ketika ia menderita, ia harus ingat, bahwa roda terus bergerak, dan ia akan segera mengalami kebahagiaan. Sebaliknya juga benar, bahwa ketika ia bahagia, ia harus bersiap akan penderitaan yang menanti di depan matanya. Itulah roda kebahagiaan dan roda takdir bagi setiap manusia, kata sang Dewi.

Untuk bisa menjalani itu semua, manusia haruslah bersyukur atas apa yang telah ia punya. Ia harus belajar melihat ke belakang dan kemudian menyadari, bahwa banyak pula kebahagiaan yang telah ia dapatkan, di samping penderitaan yang ia alami. Lagi pula, kata Boethius, jika kita berpikir lebih dalam, yang rapuh sebenarnya bukanlah kebahagiaan itu sendiri, tetapi apa yang kita kira sebagai pembawa kebahagiaan, yakni harta, kehormatan, kenikmatan dan kekuasaan. Semua itu akan berlalu, dan hanya akan membawa kepalsuan bagi hidup manusia.

Kebahagiaan yang sesungguhnya itu tidak berada di luar manusia, misalnya di benda-benda atau uang atau kekuasaan, tetapi justru berada di dalam diri pribadi kita sebagai manusia. Hanya kita yang dapat menemukan dan merengkuhnya. Tidak ada orang lain yang bisa mengambil kebahagiaan tersebut. Tidak ada peristiwa yang bisa menghancurkan kebahagiaan itu.

Berbagai musibah dan penderitaan boleh datang. Namun, itu semua tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati kita tersebut. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru bisa mendorong kita menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup kita justru mendorong kita untuk mencari apa yang paling penting dari hidup ini.

Pemikiran Boethius dapat dilihat dari pemikiran Filsafat Yunani Kuno, terutama kaum Stoa, yang berkembang pesat di abad pertengahan Eropa. Berpijak pada titik ini, ia lalu berpendapat, bahwa Kebahagiaan yang sejati, yang abadi dan tidak dapat direbut oleh siapapun, adalah kebahagiaan yang terikat dengan “Yang Maha Baik” itu sendiri, yakni Tuhan. Tuhan berada di dalam hati manusia, dan hanya manusia yang bisa mencapainya di dalam hatinya. Ketika manusia menemukan Tuhan di dalam hatinya, ia tidak takut akan apapun lagi, termasuk akan penderitaan dan kematian.

Kembali pada pokok pikiran dalam tulisan ini, sebenarnya aku sadar bahwa apa yang selama ini kurindukan, adalah apa yang menjadi sisi gelap dalam kehidupanku. Apa yang kurindukan selama ini merupakan ilusi yang justru mengaburkan perjalanan hidupku sendiri. Ketika kerinduan-kerinduan itu memenjarakanku, maka aku berada dalam perangkap mimpi, dimana aku tidak mungkin lagi bisa merasakan keindahan dan rasa syukur, kenikmatan dan kebahagiaan hidup yang selalu melintas di setiap tikungan jalan hidupku. Sekarang aku harus memampukan diri untuk bisa lepas dari penjara pikiran dan bathin ini, dan bisa menghirup udara kebebasan, kedamaian dan kebahagiaan, dalam menjalani sisa-sisa usiaku. Wallahu A’lamu Bishshawwab.

Bekasi 30 Juni 2015.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun