Berbagai musibah dan penderitaan boleh datang. Namun, itu semua tidak akan menghancurkan kebahagiaan sejati di dalam hati kita tersebut. Sebaliknya, semua musibah dan penderitaan itu justru bisa mendorong kita menjauhi kenikmatan semata, dan mulai mencari kebahagiaan yang sesungguhnya di dalam hati kita. Hal-hal jelek dalam hidup kita justru mendorong kita untuk mencari apa yang paling penting dari hidup ini.
Pemikiran Boethius dapat dilihat dari pemikiran Filsafat Yunani Kuno, terutama kaum Stoa, yang berkembang pesat di abad pertengahan Eropa. Berpijak pada titik ini, ia lalu berpendapat, bahwa Kebahagiaan yang sejati, yang abadi dan tidak dapat direbut oleh siapapun, adalah kebahagiaan yang terikat dengan “Yang Maha Baik” itu sendiri, yakni Tuhan. Tuhan berada di dalam hati manusia, dan hanya manusia yang bisa mencapainya di dalam hatinya. Ketika manusia menemukan Tuhan di dalam hatinya, ia tidak takut akan apapun lagi, termasuk akan penderitaan dan kematian.
Kembali pada pokok pikiran dalam tulisan ini, sebenarnya aku sadar bahwa apa yang selama ini kurindukan, adalah apa yang menjadi sisi gelap dalam kehidupanku. Apa yang kurindukan selama ini merupakan ilusi yang justru mengaburkan perjalanan hidupku sendiri. Ketika kerinduan-kerinduan itu memenjarakanku, maka aku berada dalam perangkap mimpi, dimana aku tidak mungkin lagi bisa merasakan keindahan dan rasa syukur, kenikmatan dan kebahagiaan hidup yang selalu melintas di setiap tikungan jalan hidupku. Sekarang aku harus memampukan diri untuk bisa lepas dari penjara pikiran dan bathin ini, dan bisa menghirup udara kebebasan, kedamaian dan kebahagiaan, dalam menjalani sisa-sisa usiaku. Wallahu A’lamu Bishshawwab.
Bekasi 30 Juni 2015.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H