Di kalangan ulama dari semua mazhab dalam Islam tidak ada khilâfiyah (perbedaan pendapat) dalam masalah kewajiban mengangkat Khalifah. Pasalnya, kewajiban ini telah ditetapkan berdasarkan al-Quran, as-Sunnah, Ijmak Sahabat dan Qaidah Syar’iyyah. Hanya segelintir ulama—yang menolak kewajiban ini, red.—yang perkataan dan pendapatnya lâ yu’taddu bihi, tidak diperhitungkan (Mawsû’ah al-Fiqhiyah, VI/217).
Karena itulah, Syaikh Abdul Qadim Zallum (Amir kedua Hizbut Tahrir) menegaskan, “Mengangkat seorang khalifah adalah wajib atas kaum Muslim seluruhnya di segala penjuru dunia. Melaksanakan kewajiban ini—sebagaimana kewajiban manapun yang difardhukan Allah atas kaum Muslim—adalah perkara yang pasti, tidak ada pilihan di dalamnya dan tidak ada toleransi dalam urusannya. Kelalaian dalam melaksanakan kewajiban ini termasuk sebesar-besar maksiat yang (pelakunya) akan diazab oleh Allah dengan azab yang sepedih-pedihnya.” (Abdul Qadim Zallum, Nizhâm al-Hukm fi al-Islâm, hlm. 34)
Lalu bagaimana jika jabatan Khilafah kosong, baik karena khalifahnya meninggal, mengundurkan diri atau diberhentikan? Adakah masa (jelang waktu) saat kaum Muslim boleh hidup tanpa khalifah, dan kaum Muslim seluruhnya berdosa apabila masa itu telah berlalu, sementara kaum Muslim masih juga belum memiliki khalifah?
Telaah Kitab kali ini akan membahas Rancangan UUD (Masyrû’ Dustûr) Negara Islam Pasal 32, yang berbunyi: Apabila jabatan Khilafah kosong karena khalifahnya meninggal atau mengundurkan diri atau diberhentikan, maka wajib hukumnya mengangkat seorang pengganti sebagai khalifah, dalam waktu tiga hari sejak saat kosongnya jabatan Khilafah (An-Nabhani, Muqaddimah ad-Dustûr, hlm. 132).
Kewajiban Paling Penting
Keberadaan Khalifah dalam penegakan syariah merupakan tâj al-furûdh (mahkota dari semua kewajiban). Artinya, penerapan Islam secara kâffah (menyeluruh) hingga tercapai kehidupan berkah itu mustahil diwujudkan tanpa adanya Khalifah dan tegaknya Khilafah. Oleh karena itu, menegakkan Khilafah dan mengangkat khalifah merupakan kewajiban yang paling penting. Al-Hashkifi al-Hanafi berkata:
وَنَصْبُهُ أَهَمُّ الْوَاجِبَاتِ فَلِذَا قَدَمُوهُ عَلىَ دَفْنِ صَاحِبِ الْمِعْجِزَاتِ
Menegakkan Khilafah merupakan kewajiban yang paling penting. Oleh karena itu, para Sahabat Nabi saw. Mendahulukan kewajiban ini atas pemakaman jenazah pemilik mukjizat (Rasulullah saw.) (Al-Hashkifi, ad-Durr al-Mukhtâr, hlm. 75).
Bahkan lebih tegas lagi, Handzalah bin ar-Rabi’ ra.—sahabat sekaligus jurutulis Rasulullah saw.—menyebutkan bahwa tanpa Khilafah umat Islam bisa hina dan sesat sebagaimana umat Yahudi dan Nasrani (Ath-Thabari, Târîkh at-Thabari, hal. 776).
Umar bin Khaththab ra., sebagaimana yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri, hadis nomor 6829, juga pernah menyatakan, “Aku takut manusia hidup dalam waktu lama (tanpa Khalifah) sehingga ada yang berkata, ‘Saya tidak menemukan had rajam dalam Kitabullah.’ Akibatnya, ia menjadi sesat karena meninggalkan kewajiban yang Allah turunkan.”
Hal ini menegaskan bahwa menegakkan Khilafah dan mengangkat khalifah merupakan kewajiban yang paling penting (ahammu al-wâjibât). Alasannya, tanpa adanya Khilafah dan Khalifah akan banyak kesesatan di tengah-tengah masyarakat.