Mohon tunggu...
Umar Fondoli
Umar Fondoli Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jika kebisuan tidak sanggup memberikan jawaban, menulis adalah cara mudah untuk meringankan beban hidup.

Kalau susah diomongin, ditulis aja......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Melawan Arus

19 Februari 2011   21:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:27 459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

‘’Nyoto, keluar kamu. Kalau tidak, keluargamu akan aku tembak semua!’’. Saat itu adalah saat yang sangat mencekam dan paling mengerikan dalam hidupku. Aku sungguh sangat takut, sampai tidak terasa terkencing-kencing dicelana.

‘’Betul, saya tidak tahu, ndoro. Kalau tidak percaya silahkan bapak-bapak periksa kamar dan kebun dibelakang itu,’’ kata ibuku dengan giginya terdengar gemeretak ketakutan sambil mendekapku erat.

Entah siapa yang memulai, tiba-tiba aku dipanggul keluar rumah oleh salah satu dari mereka. Dari kejauhan aku lihat ibuku meronta-ronta digerayangi oleh mereka. Aku hanya bisa berteriak-teriak ‘’Jangan, jangan, jangan lakukan itu pak pada ibuku..!!!’’ teriakku.

Tapi teriakanku tidak ada artinya, tangan mereka lebih kuat dan ganas mencengkeram aku dan melemparkan aku agar tidak mengganggu mereka. Meja ruang tamu rumahku, dijadikan tempat pelampiasan nafsu setan tentara-tentara laknat itu. Darahku mendidih sampai ke otak melihat kejadian itu. Tiba-tiba saja gelap, tengkukku seperti ada yang memukulnya dengan benda tumpul.

Setelah aku sadar, ibuku sudah sudah tidak bisa diajak bicara lagi. Baju dan jarit yang dikenakan, sudah terkoyak-koyak. Darah segar terlihat mengalir dari selangkangannya. Ibuku hanya diam termangu dengan air mata terus menetesi pipinya. Seminggu setelah kejadian itu, ibuku menggantung diri dengan leher terikat tali di kandang sapi belakang rumah.

Belum habis belasungkawaku, dua hari setelah kematian ibuku, mbah Suro tetangga dekatku mengabarkan kepadaku bahwa bapakku tewas dipukuli massa di Kepanjen Malang. Konon kata orang-orang, Bapakku tertangkap basah mencuri makanan.

Begitu mudahnya di tahun-tahun itu orang membunuh orang dengan alasan yang tidak masuk akal. Suasana yang demikian kacau saat itu, sangat mudah menfitnah orang agar bisa dihabisi oleh tentara atau pemuda ormas Islam. Pernah aku lihat dengan mata kepalaku sendiri, bahwa ustadz Ali yang setiap harinya mengajari anak-anak mengaji dan tertib shollat wajibnya, mati ditembak tentara karena dituduh ikut rapat Lekra di Solo. Pak Hasan, guru sekolah rakyat, juga mati ditebas pedang anak-anak muda yang beringas dengan yel-yel atas nama Tuhan karena dituduh ikut dalam Bagitprop PKI.

Tidak terasa air mataku menetesi wajahku. Tiba-tiba ku teringat orangtuaku dan benci nasibku sendiri yang dicap sebagai anaknya PKI. Kenapa semuanya ini harus terjadi padaku. Karena mendapatkan julukan sebagai anaknya PKI, aku seperti anjing kudisan yang berbahaya. Bicara agak kritis di warung saja, aku didatangi tentara koramil dan babinsa. Dituduh yang mau melawan pemerintah, yang mau menyebarkan paham komunis, yang mau dihabisi nyawa saya. Memangnya saya ini nyamuk, yang gampang dibunuh begitu saja.

Jaman yang merubah manusia atau manusia yang merubah jaman. Kemerdekaan hak asasi dan harga diriku yang sudah terkoyak selama ini tidak cukup hanya ditukar dengan kata maaf.

‘’Aku tahu, betapa muaknya kamu dengan apa yang kamu rasakan selama ini. Tapi itu kan masa lalu, yang harusnya ditutup dan kemudian dibuka dengan lembaran baru yang lebih bermanfaat daripada hanya berzikir dan berdoa minta mati kepada Tuhanmu,’’ tiba-tiba saja suara itu terdengar jelas diantara terpaan sumilir angin.

"Betapa bodohnya aku. Kenapa tidak aku tuntut saja pemerintah melalui jalur hukum atas penindasan mereka selama tiga puluh dua tahun kepada orang-orang yang dicap PKI seperti aku ini. Padahal waktu itu usiaku masih sebelas belas tahun dan belum tahu apa-apa mengenai politik.’’ Jawabku sekenanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun