Inipun saya lihat pihak pemerintahan pusat masih setengah hati, karena pada kenyataannya pelantikan Kanjeng Sultan sebagai Gubernur baru dilaksanakan pada 3 Oktober 2003, artinya itu adalah pada (5 tahun) masa-masa akhir jabatan.
Waktu bergulir, rodapun berputar, namun yang kita lihat RUU itu hanya diendapkan sebatas bahan rapat saja. Pada proses awal jabatan periode 2003-2008 tak begitu menemui kendala. Hal itu didasarkan pada landasan kerja berupa Rapat Paripurna pada 20 Maret 2003. Dalam Rapat tersebut, Dewan menyatakan bahwa Pilkada propinsi Yogyakarta mengacu pada UU 22/1999 dan PP 151/2000.
Dan ketika Dewan mengadakan Rapat Paripurna lanjutan yang mengagendakan pengesahan Rancangan Tata Tertib Pemilihan hasil kerja Pansus, kantor DPRD didatangi ribuan massa yang menolak mekanisme Pemilihan. Sehubungan dengan keadaan yang tak kondusif itu, maka empat fraksi yakni Fraksi Amanat Nasional, Fraksi Persatuan, Fraksi TNI/POLRI, dan Fraksi Kebangkitan Bangsa mengusulkan agar Rapat Paripurna ditunda. Tapi, Fraksi PDI Perjuangan dan Fraksi Partai Golkar bersikeras agar Rapat Paripurna terus berlanjut.
Karena tak ada kata sepakat, Rapat Paripurna mengalami deadlock, empat fraksi yang mengusulkan Rapat Paripurna ditunda tidak memasuki ruang sidang saat Rapat Paripurna hendak dilanjutkan kembali setelah skorsing 15 menit untuk musyawarah Pimpinan Dewan dan Pimpinan Fraksi. Akibatnya, Rapat Paripurna ditunda sampai dengan waktu yang belum ditentukan.
Menyikapi hal ini semoga teman-teman bisa mengerti jika ada yang bertanya perihal REFERENDUM...!!! So, Where is the place of good politic is living reality....???, bukankah politik yang baik itu adalah yang melihat realitas yang terjadi pada warga yang bakal dipimpin lalu mengakomodasinya...???
Tercatat terjadi tak kurang dari tujuh kali aksi massa di DPRD yang menuntut Dewan agar menetapkan Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jogja. Dalam setiap aksi, massa selalu menuding Dewan tidak aspiratif terhadap suara masyarakat. Bahkan kerap kali dilontarkan ancaman pengerahan massa secara besar-besaran sebagaimana yang pernah terjadi pada proses Pilkada 1998.
Hal ini terus berlanjut pada Rapat Paripurna 3 September 2003, sebagai kesepakatan akhir adalah adanya tiga poin pernyataan:
- Pertama,menolak Rancangan Tatib Pemilihan karena PP No.151/2000 tidak mengakomodasi UU No.22/1999 khususnya penjelasan pasal 122 yang menyatakan bahwaisi keistimewaan adalah Pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari ketu-runan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mem-pertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam.
- Kedua, pengisian jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Yogyakarta ditempuh dengan cara Penetapan/Pengangkatan.
- Ketiga, pembentukan panitia khusus Penetapan/Pengangkatan.
Dan saat itu pula, semua fraksi menyampaikan baik secara eksplisit maupun implisit untuk menetapkan/mengangkat Sultan Hamengku Buwono X dan Paku Alam IX sebagai Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta.
Kesepakatan semua fraksi untuk menempuh mekanisme Penetapan/Pengangkatan merupakan poin yang menarik. Pihak yang ingin memilih itu tidak jadi Pemilihan, pihak yang ingin menetapkan juga tidak terjadi Penetapan.Polemik yang akhirnya menemukan solusi ini akhirnya oleh beberapa anggota Dewan (terutama yang pro-pemilihan) diminta agar hal ini dicatat sebagai minder heids nota, yaitu pencatatan dengan tujuan agar generasi sekarang dan mendatang yang mempelajari seluk-beluk pemerintahan Ngayogyakarta Hadiningrat dapat mengetahui...
MENUJU HUKUM YURIDIS
Di negeri ini, hal Penetapan Gubernur dan Wakil Gubernur secara langsung tak memiliki landasan hukum. Membaca wacana tersebut, maka Dewan menggodog proses pelaksanaan Penetapan dari warga Ngayogyakarta agar tidak menumbuhkan kebijakan yang cacat hukum.