Saya rasa tak perlu dijelaskan apa sebab Sultan di hormati dan dijunjung tinggi oleh para warga tersebut, teman-teman lebih pintar untuk menyimpulkannya. Sumangga...!
1988
Sultan wafat di Amerika Serikat. Pemerintah pusat menunjuk Wakil Gubernur Sri Paduka Paku Alam VIII sebagai Penjabat Gubernur.1998
Paku Alam wafat. Terjadi kekosongan kepemimpinan karena belum ada aturan tentang suksesi kepemimpinan di Provinsi Yogyakarta. Rakyat ingin Sri Sultan Hamengku Buwono X dijadikan Gubernur periode 1998-2003.
POLEMIK KEISTIMEWAAN
Mengenai keistimewaan Jogja secara pribadi saya menyimaknya dari sekitar tahun 1998, artinya ini sudah saya alami selama lebih dari sepuluh tahun.
Pada tahun tersebut saya yang kebetulan sebagai ponakan seorang dukuh (Kepala Dusun) sempat ikut menggelar LAKU PEPE di Stadion Mandala Kridha. Di wilayah Ngayogyakarta Hadiningrat ada wadah yang menampung aspirasi para dukuh dengan sebutansemar sumbogo.
Laku pepe
yaitu satu perbuatan berkumpul dilapangan sebagai kegiatan jemur diri karena merasa haknya tak terpenuhi.Tradisi ini sebenarnya sudah ada semenjak jaman kerajaan dahulu.Dalam laku pepe, rakyat yang merasa haknya tidak terpenuhi berjemur di alun-alun kerajaan hingga raja memenuhi hak mereka. "Biasanya raja akan keluar dan harus mengabulkan permintaan rakyat"
Saat itu pemerintahan ada dibawah kepemimpinan BJ Habibie, dan sebagai Menteri Dalam Negerinya adalah Syarwan Hamid.
Awalnya, tatkala untuk pertama kalinya DPRD propinsi Yogyakarta melaksanakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilka-da), disana ada satu kebuntuan yang sumbernya dipicu oleh polemik keistimewaan yang berpusar pada persoalan kepemimpinan daerah. Perdebatan berkutat pada landasan hukum yang mesti dipakai dalam proses pengisian jabatan Gubernur. Terjadi beberapa kubu (tentu dibalik itupun banyak kepentingan yang menjadikan alasannya), di satu pihak ada yang berkehendak pada proses Pemilihan, sementara di lain pihak tak sedikit yang menghendaki terjadinya Pengangkatan langsung oleh Presiden yang disahkan melalui Keppres.
Keadaan makin seru ketika Depdagri melalui Syarwan Hamid sebagai Menterinya bersikukuh agar DPRD Jogja mengacu pada UU No.5 tahun 1974 yang berarti diadakan Pemilihan. (see, ini siapa yang berkepentingan..???!!!) Maka tak pelak Kawula Ngayogyakarta Hadiningrat melawan kehendak tersebut. Hal ini masih tersimpan dalam memori saya sewaktu membuat spanduk bertuliskan "Ada syarwan Dhemit...? Jangan sungkan , guyur kemenyan..!!!"
Aspirasi kawula Jogja dengan tindakan laku-pepe itu membuat sikap fraksi-fraksi di DPRD propinsi Ngayogyakarta Hadiningrat akhirnya juga memainkan perannya. Mereka mengancam akan membubarkan diri jika Depdagri ngotot dengan sikapnya. Entah benar ataupun tidak, isu yang beredar saat itu adalah adanya skenario makro penghapusan status keistimewaan Yogyakarta. Dengn begitu ada banyak kepentingan birokrasi dengan alasan demokrasi bisa terakomodasi di kota Jogja ini.
Kemauan kawula Ngayogyakarta Hadiningrat demi menghendaki Ngersa Dalem sebagai Gubernur Kepala Daerah sudah tak bisa dibendung lagi. Sebagai puncak, maka pada hari Rabu, 26 Agustus 1998, sekitar 300 000 warga Jogja berkumpul untuk mengadakan sidang Rakyat demi pengukuhan Sultan sebagai Gubernur, bukan saja sebagai simbul Raja Jogja. Menolak diberlakukannya UU No.5 tahun 1974 mengenai proses Pilkada.
Dan pada akhirnya, B.J. Habibie sebagai presiden mengeluarkan Keputusan Presiden berisi Pengangkatan Sultan Hamengku Buwono X sebagai Gubernur YOGYAKARTA periode 1998-2003.