Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Api Benci di Sudut Kota

13 Januari 2024   18:42 Diperbarui: 13 Januari 2024   18:47 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dibuat oleh penulis

aku melihat api di sudut kota

menyala dari satu rumah ke rumah lainnya

membakar membara

berwarna hitam jelaga

anak-anak dan orang dewasa

sama saja

tatapan mereka penuh benci

dada mereka dipenuhi dengki

andai kau tahu, pada malam-malam yang sepi-sunyi

mereka masih terjaga dengan lilin-lilinnya

ditempat yang paling gelap

berbicara tentang persekongkolan dan revolusi

kerajaan ini telah busuk, ucapnya

dan kitalah pembaharu! lanjutnya

pada tempat-tempat gelap itu, ambisi itu begitu menyala

hampir membakar bulan dan semesta

hampir melenyapkan kita


namun orang-orang kita mengolok-olok mereka

sebab mereka kecil dan berasal dari tempat yang kumuh

mulut mereka bau, ucap kita

badan mereka busuk, tawa kita

tidak akan ada yang mendengarkan, hina kita

kemudian kita membahas tentang pajak mana yang ditinggikan

dan perayaan apa yang akan kita adakan

penyembahan kepada dewa,

tarian penghancur semesta.


orang-orang kita lupa pepatah lama

bahwa anjing hitam tidak akan pernah berhenti menatap merpati

kendati ia terbang di udara, kendati ia hinggap di atap istana

bahwa anjing hitam mau putih jua

sebab putih adalah lambang hina

dan putih adalah lambang suci surga

pun sang anjing mau terbang juga

tetapi kita berkata bahwa pepatah sudah basi

berasal dari orang-orang bodoh di masa lampau

di meja makan kita tertawa

diluar sana, kebencian itu membara


aku pernah menghadiri pertempuran demi pertempuran

atas alasan negara dan raja, keamanan serta bangsa

dan pada pertempuran itu, kerap kulihat mata penuh kebencian

tatapannya lurus kearah sang komandan

kapak mereka yang usang

pedang mereka yang kelihatan karatnya

tidak mereka berhenti ayunkan

mereka tidak hidup untuk perayaan

mereka hidup untuk membunuh sang komandan


percayalah, tuan putri

bahwa seekor ulat pun, jika ia memiliki ambisi, maka ia berbahaya

bahwa seekor belatung pun, jia ia memiliki benci, maka ia berbahaya

tidak pernah aku takut berhadapan dengan ksatria

tidak pernah aku gentar melawan tentara dari baja

namun cinta, ambisi, dan benci adalah energi yang serupa

yang aku takuti, cinta kita tidak dapat menutupi kebencian itu

dan bila tidak kita hentikan

ia akan menjelma api hitam dari neraka

membakar kita semua

memenggal raja-raja


namun orang-orang kerajaan tertawa

menghina, mencela

mabuk ketika rakyat-rakyat sedang sengsara

dan perempuan-perempuan penari di sekeliling mereka

membuatku tersenyum,

sebab penari itu berasal dari tempat-tempat yang kumuh

terbuat dari benci yang serupa

penari itu menatapku antara takut dan siaga

namun tidak kuhiraukan

sebab mata kebenciannya begitu menyala

membakar seisi istana

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun