Cerpen Kita Semua Hari Ini
Dingin menyergap saya laksana tentara pagi ini dan membuat saya tersentak dari tidur. Pukul 9 dan suara ayam memenuhi udara, kemudian aroma apak dari kamar saya yang belum dibersihkan makin membuat saya malas untuk bangun.
Pada ujung kamar, kipas angin bergerak kekiri dan kekanan seperti polisi tukang tilang di jalanan. Beberapa kali angin yang ia keluarkan menerjang kertas-kertas tugas yang tidak sempat saya selesaikan sehingga membuat suara gemerisik.
Saya ingin tidur lebih lama, menghabiskan lebih banyak waktu didalam mimpi dibandingkan realita. Saya ingin hidup dalam imajinasi dimana kuda-kuda memiliki sayap dan tanduk badak pada kening mereka, yang bisa saya tunggangi sampai menembus sidratul muntaha.
Dan ah minggu! Ya ampun minggu! Mestinya saya bersyukur kalau ini hari minggu! Tapi kehidupan saya yang biasa saja membuat semua hari menjadi nyata, pada akhirnya saya akan hidup di dunia yang sama, dengan orang-orang yang sama, dengan tanggung jawab serta kewajiban yang sama. Semuanya sama, dan untuk apa saya mesti bersyukur.
Ayam-ayam yang berkokok manja membuat saya melempar selimut ke samping ranjang dan membuatnya mencelos jatuh ke lantai. Saya membenamkan wajah menggunakan guling sembari berharap tidur membawa saya kembali ke alam mimpi, namun lima menit saya membenamkan wajah, tidak ada yang terjadi, sepertinya Tuhan menghapus rasa kantuk hari ini.
Saya kemudian meraba-raba kasur dan mencari handphone yang saya miliki, dan ingatan saya kembali kepada tadi malam yang juga mengesalkan. Ada tugas UTS yang saya abaikan, saya memilih menonton TikTok semalam suntuk dan lupa bahwa batas pengumpulannya adalah jam 8 tadi. Ah! Betapa sial! Hidup saya tidak pernah muluk-muluk, bisakah saya meminta hidup yang lebih baik?
Saya menemukan handphone saya dibawah bantal dan segera membuka pesan Whatsapp. Ada beberapa pesan yang belum saya baca, salah satunya adalah si Ridho yang meminta uangnya dikembalikan karena pernah saya pinjam dua minggu lalu. Ya ampun! Bukankah anak itu terlalu pecicilan? Saya hanya meminjam 200.000 rupiah untuk membeli rokok! Dan semua orang membutuhkan rokok! Hanya orang bodoh yang tidak mau merokok, bahkan jika saya diberi pilihan untuk sarapan atau menghisap rokok, maka saya lebih baik merokok.
Teman-teman saya yang akademis mengatakan bahwa rokok itu berbahaya sebab mengandung nikotin dan tar, juga beberapa zat berbahaya lainnya. Ah! Apa lacur! Mereka itu tidak ubahnya sekumpulan domba bodoh yang mau-mau saja dipermainkan oleh media massa. Coba saja lihat sekitar kita, bukankah banyak manusia yang masih hidup karena rokok? Dan lagipula adanya nikotin dan tar pada rokok hanya akal-akalan industri lain yang iri akan keberadaan rokok! Kalau memang rokok itu berbahaya dan dapat membunuh, saya mesti sudah mati.
Akan tetapi lihatlah saya, saya masih sehat-sehat saja, dan sudah pasti mereka yang tidak merokok hanya iri pada mereka yang merokok! Mereka para kutubuku dengki karena kami sebagai perokok bisa merasa bebas hanya dengan asap yang kami hirup, sementara mereka harus membuka halaman demi halaman buku hanya untuk mencari ketenangan atas pertanyaan yang mereka cari.
Tidak ada yang salah dengan merokok, kendati para akademisi itu selalu berdebat dengan data-data bahwa selalu ada orang yang meninggal setiap harinya karena merokok. Saya hanya tertawa terbahak-bahak kala mendengarnya, mereka yang hidup berlandaskan data selalu lupa bahwa tidak semua data itu valid! Kebenaran sebaiknya milih sepihak dan merokok atau tidak merokok, itu urusan saya!
April-27-2021
Saya menutup buku agenda tersebut dan kemudian tidak yakin apakah saya masih bisa membaca halaman-halaman diary berikutnya yang saya tulis dengan tulisan cakar ayam. Mata saya dijangkiti katarak dan apa yang saya lihat menjadi rabun, ketika mengetahui bahwa saya rabun saya segera meminjam uang untuk membeli kacamata, namun ternyata rabun tersebut semakin menjadi-jadi dan kacamata minus yang saya beli nyatanya tidak bisa dijual lagi.
Terbaring di kamar seperti seorang anjing yang menanti kematiannya, saya tidak bisa berkutik apa-apa ketika dokter memvonis bahwa paru-paru saya telah menghitam sempurna dan sebagian besar organ dalam yang saya miliki telah rusak parah. Artinya, setelah saya menjual sebagian besar perabotan rumah dan hal-hal yang masih bisa saya jual, maka saya tidak bisa menjual organ tubuh yang saya miliki.
Saya mengingat bahwa harga organ tubuh bisa ratusan juta sampai miliaran, ah! Betapa banyak uang yang bisa saya miliki untuk sekedar traveling atau membuat usaha baru? Namun andai hanyalah kata penenang dan pelarian manusia dari kehidupan, dan nyatanya, kini saya tidak bisa berlari.
Saya gagal kuliah dan memutuskan untuk cuti, namun sayangnya uang untuk pendidikan saya habis untuk biaya pengobatan dan teman-teman saya tidak ada yang mau menjenguk sebab takut untuk dihutangi. Padahal saya hanya butuh kepedulian saat ini, menyadari bahwa saya tidak sendiri menjalani semuanya, namun nyatanya, saya ternyata sendiri.
Saya mendengar suara ibu saya terbatuk-batuk sepanjang malam, ibu yang selalu merawat saya ketika saya sakit dan terpontangpanting mencari uang. Semua sebab saya. Bahkan ketika malam kembali datang dan saya mendengar suara batuk beliau lagi, saya kerapkali bertanya; apakah rasa sakit yang ia miliki juga berasal dari asap rokok yang saya hembuskan?
Ketika saya memikirkan hal tersebut, jutaan penyesalan menghampiri saya dan menari-nari laksana serbian dancing lady. Saya ingin menyerah, saya ingin mati saja dan cukuplah uang itu digunakan orangtua saya untuk berobat, atau mengejar mimpi yang mestinya dapat beliau raih.
Mengapa harus memelihara seekor anjing seperti saya? Saya hanya manusia yang akan mati, dengan selang infus yang harus menemani saya setiap hari disamping ranjang yang kini tidak akan bisa lagi saya bersihkan.
Dalam akhir kehidupan saya nampak bahwa kehidupan saya di tahun-tahun sebelumnya tidak terlalu buruk. Saya lebih banyak merenung dan menyesali waktu yang tidak akan mungkin bisa saya kembalikan kembali, semua nampak seperti cahaya kendaraan  yang melintas di malam hari, begitu cepat dan begitu jauh, begitu jauh dan tidak pernah kembali lagi.
Saya lupa bahwa syukur bukan sekedar kata, melainkan implementasi. Dan hidup sehat adalah cara paling baik untuk mensyukuri hidup, bukan malah sebaliknya.
Diatas ranjang ini saya berharap untuk mati, namun mati sepertinya dihapus Tuhan hari ini.
Baca Juga: Aku Ingin Hidup, Namun Tidak Mau Hidup Seperti Ini
Baca Juga:Â Logikaku Adalah Konstantinopel, Dan Dirimu Adalah Meriam Dardalena
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H