Mohon tunggu...
Abdul Azis Al Maulana
Abdul Azis Al Maulana Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa UIN Mataram

Jika kau bukan anak raja, bukan orang terpandang, maka menulislah.

Selanjutnya

Tutup

Book Artikel Utama

"Rubaiyat" Karya Jalaludin Rumi: Sejauh Mana Dirimu Membawamu Kembali?

6 November 2022   19:19 Diperbarui: 7 November 2022   22:25 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Review Buku Rubaiyat Karya Maulana Jalaludin Rumi: Sejauh Mana Dirimu Membawamu Kembali?

Menyelami puisi karya Jalaludin Rumi diibaratkan menyelami palung Mariana yang sulit diterka ujungnya, sebab bagaimanapun saya sebagai pembaca kebingungan untuk menguraikannya, hal itu dikarenakan Jalaludin Rumi kerap menggunakan bahasa yang sebenarnya sederhana namun tidak bisa saya mengerti. 

Dalam hal ini sudah jelas kemampuan tasawuf saya dan pemahaman saya dalam mengartikan keinginan Rumi itu sendiri seolah berhadapan langsung dengan jalan buntu; saya tidak bisa bergerak kemana-mana selain harus mundur kebelakang.

Jadi pada tulisan saya ini, saya tidak berharap banyak bisa membuat para pembaca bergairah dengan review yang akan saya lakukan, saya bahkan merasa---kendati belum menulis---gagal untuk menyampaikannya.

Namun buku Rubaiyat telah saya beli dan baca bersamaan dengan buku Animal Farm karya George Orwell, dan kendati saya mungkin akan kesusahan mengartikannya, namun tentu tidak ada alasan untuk mencoba.

Baca Juga: Layla Majnun: Sejauh Mana Manusia Bisa Waras Dalam Cinta?

Mengenai Maulana Jalaludin Rumi, saya dulu hanya pernah mendengar namanya sebagai seseorang yang besar dan masyhur pada zamannya. Saya kerap mendengarnya sebagai salah satu tokoh tasawuf terkemuka dan sastrawan dari Timur yang namanya melambung ke angkasa.

Semakin beranjak umur saya, saya semakin mengetahui bahwa tulisan-tulisannya tidak hanya dikaji oleh orang-orang Timur, melainkan juga dikaji oleh orang-orang Barat.

Namun saya masih belum paham mengapa hal itu terjadi, karena sedari dulu saya pernah membaca sedikit tentang puisinya namun tetap kebingungan; apa yang bisa dikaji dari puisi-puisinya yang membingungkan?

Ada sebuah cerita yang membuat saya jatuh cinta kepada Jalaludin Rumi, yaitu adalah ketika dirinya beradu pendapat dengan seorang tokoh tasawuf yang iri kepada Jalaludin Rumi.

Hal yang membuatnya iri sederhana, sebab Jalaludin Rumi merupakan seorang alim ulama yang kaya dan bergelimang harta, sementara temannya ini hidup dalam kemiskinan.

Kemiskinan yang menghadapinya bukan tanpa sebab, karena sebagai seorang yang bergelut pada dunia tasawuf maka adalah hal yang lumrah untuk meninggalkan kehidupan dunia dan berperilaku zuhud. Temannya ini hidup disamping pantai, memakan tulang ikan yang ia temukan hanya karena kezuhudannya.

Maka ketika ia bertemu dengan Jalaludin Rumi, berpendapatlah temannya ini "Duhai Rumi! Mengapa engkau jadikan dunia sebagai singgasanamu, mengapa engkau tidak berperilaku zuhud? Mengapa engkau jatuh dalam kemewahan dunia?"

Maka Jalaludin Rumi dengan santai berkata "Wahai kawanku, ketahuilah bahwa sesungguhnya zuhud bukan berarti miskin papa dan menderita, kehidupan dunia tidak pernah menggenggamku namun akulah yang menggenggamnya, tidak sepertimu yang memakan tulang ikan agar engkau berperilaku zuhud namun di hatimu engkau menginginkan kenikmatan dunia yang kumiliki"

Baca Juga: Kedai 1001 Mimpi: Apa Yang Kau Cari ke Arab Saudi?

Selanjutnya ketika saya semakin dewasa, saya menemukan buku karya Jalaludin Rumi, sebuah kitab Fihi Ma Fihi yang membuat saya lebih dalam menyelami dunianya. 

Tidak seperti puisi-puisi Jalaludin Rumi yang multitafsir, kitab Fihi Ma Fihi nyatanya lebih mudah masuk ke logika, sebab mungkin diisi dengan penjelasan dan prosa-prosa yang indah. Bahkan Fihi Ma Fihi, kendati tidak semua ilmunya terserap oleh saya, namun saya menyadari bahwa saya telah terkontaminasi oleh beliau dan bahkan menjadikan pemikirannya menjadi salah satu landasan pemikiran dalam hidup saya.

Namun Rubaiyat? Sebagai buku puisi yang harus ditafsir, saya mati kutu. Entah mengapa, sebab saya rasa dialektika saya tidak mencapai ilmu setinggi beliau.

Namun dari blurb dan kata pengantar buku ini, Kuswadi Syafie'e selaku penerjemah mengatakan bahwasanya Rubaiyat adalah salah satu karya besar Jalaludin Rumi, dan selanjutnya Kuswadi sedikit menafsirkan beberapa syair Rumi dan menjabarkannya lebih lebar, namun saya tetap tidak bisa memahaminya.

Akan tetapi sebelum saya mencoba menafsirkan beberapa, alangkah lebih baik saya menerangkan dulu perihal fisik bukunya, sebab siapa tahu anda juga tertarik untuk menafsirkan sendiri buku ini.

Mengenai kitab Rubaiyat, seperti yang saya katakan sebelumnya ia berisi puisi-puisi karya Jalaludin Rumi, dan dalam buku ini, setidaknya ada 50 puisi karya beliau yang termuat bersama ilustrasi-ilustrasi yang nampaknya untuk memudahkan pembaca berimajinasi dan memahami keinginan Jalaludin Rumi.

Salah satu puisinya, yang merupakan Rubaiyat ke-7 mengatakan:

Aduh, sungguh waktu telah berlalu
Sementara kami para pecinta
Berada di samudera yang pantainya tidak kelihatan
Hanya ada perahu, malam, dan mendung
Kami berlayar pada samudera kebenaran
Dengan karunia dan petunjuknya

Salah satu gambaran buku Rubaiyat, foto dari penulis
Salah satu gambaran buku Rubaiyat, foto dari penulis

Dalam tafsiran saya, Rubaiyat ketujuh ini sedang menyampaikan bagaimana Jalaludin Rumi dan pecinta-Nya melewati hari-hari tanpa kepastian yang akan berakhir dimana. Sebab mereka sedang berada pada samudera kehidupan dan sedang menunggu kapan kehidupan itu akan berakhir.

Kemudian bait selanjutnya yang adalah tiga bait terakhir sedang mengutarakan bagaimana kehidupan itu sendiri. sebagai seorang sufi, perahu yang dimaksud diibaratkan dirinya yang hanya membawa diri, sementara malam mengindikasikan bagaimana hari-hari berlalu, atau juga mengindikasikan bagaimana para sufi terjaga setiap malam untuk beribadah, sementara mendung mengindikasikan bagaimana kehidupan yang memiliki ritme kesedihan.

Para pecinta tersebut berlayar pada samudera kebenaran, yang dimaksud kebenaran disini tentu tiada lain tiada bukan adalah Islam itu sendiri.

Dan bait terakhir, dengan karunia dan petunjuknya kemungkinan merujuk kepada Al-Quran, atau merujuk kepada dunia dan Al-Quran. Sebab dunia itu sendiri merupakan suatu karunia sementara petunjuk kehidupan sudah jelas adalah Al-Quran dan Sunnah.

Dalam Rubaiyat ke 27, Jalaludin Rumi melantunkan syair berikut:

Aku setitik debu
Dan perjumpaan denganmu adalah matahari
Aku sakit dirundung gundah
Dan kau adalah sumber obatku
Aku terbang dibelakangmu
Tanpa sayap, tanpa bulu
Sungguh aku adalah jerami,
Dan kau lampu bagiku

Dalam hal ini kita dapat mengetahui bagaimana Jalaludin Rumi yang seolah merepresentasikan dirinya seperti setitik debu yang tidak berguna. Benar, sebuah debu yang diterbangkan oleh angin, sebuah debu yang tidak ada apa-apanya bila dibandingkan dengan matahari yang nyatanya jauh berkali-kali lipat daripada Bumi.

Rumi merasa bahwa ia bahkan buka siapa-siapa dihadapan Yang Maha Besar, akan tetapi pada bait selanjutnya Jalaludin Rumi mengatakan bahwa kendati dirinya sakit dan gelisah, Tuhan yang Maha Suci adalah sumber obatnya.

Ketidakadaannya tersebut menjadikan Jalaludin Rumi sebagai seorang hamba yang pasrah akan Tuhannya, menjadi pasrah dan tidak memiliki apa-apa.

Hal itu dibuktikan bagaimana beliau yang menggambarkan bahwasanya dirinya tidak memiliki sayap maupun bulu, yang merupakan representasi bahwasanya ia memang tidak memiliki kekuatan apapun, tidak memiliki upaya apapun untuk melawan. Hal ini menandakan ketidakberdayaan Jalaludin Rumi sendiri bila dibandingkan dengan Yang Maha Kuasa, Allah.

Baca Juga: Animal Farm: Seberapa Babi Pemerintahan Kita? 

Namun dua bait terakhir membuat saya berpikir keras; apa kaitannya jerami dengan lampu? Apakah ada suatu lampu yang membuat jerami nyaman? Atau mungkin ada hal yang tidak saya ketahui mengenai kaitan jerami dengan lampu?

Akan tetapi saya merasa bahwasanya ini bentuk asonansi kata, karena tentu dalam hal ini ada banyak kemungkinan, yang sedikit diantaranya adalah kesalahan penerjemah, dan kedua adalah perubahan syair yang dari Arab ke Indonesia yang berubah.

Sebab seperti yang kita ketahui, Arab merupakan suatu negeri yang kuat akan sastranya dan menjadi bagian dari budaya. Hal yang dibuktikan dengan bagaimana Arab pada masa jahiliah menggunakan kain kakbah yang bertuliskan syair-syair yang Indah.

Dan kemungkinan terbesarnya adalah, kemungkinan saya yang tidak bisa menerka makna dari Jalaludin Rumi itu sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun