Modernisasi Kartini dan Kemerdekaan Emansipasi
Hampir tidak ada masyarakat Indonesia yang tidak tahu sosok perempuan bernama Kartini, namanya disebut pada buku pelajaran dan kerapkali disebut oleh perempuan-perempuan aktivis zaman sekarang. Tentu saja, sebagai perempuan ikonik Kartini adalah lambang perlawanan akan diskriminasi terhadap kesetaraan gender yang telah mengakar sejak penjajahan Belanda silam.
Raden Ajeng Kartini merupakan salah satu perempuan di masa lampau yang menggagas bahwasanya perempuan juga berhak memiliki kesetaraan pendidikan seperti kaum adam. Kecemburuan tersebut acapkali terlahir dari perempuan-perempuan di zaman tersebut yang hanya berkutat dengan dapur, kasur, serta sumur. Menjadi babu dalam rumah, kendati setiap perempuan di bumi berhalusinasi untuk dijadikan ratu. Â
Gerakan-gerakan yang disebut emansipasi wanita kemudian mencuat ke permukaan, bersamaan dengan H. Rangakyo Rasuna Said yang juga memperjuangkan adanya persamaan hak antara perempuan dan wanita. Maka perempuan mulai memiliki tempat yang sama dengan kaum lelaki, bisa bersaing dan mendapatkan hak yang sama serta tidak lagi berkutat pada permasalahan ruang tamu. Â
Namun Kartini hanyalah masa lalu, kendati semangat-semangatnya menjelma pada tubuh pemudi milenial di zaman sekarang, namun mau tidak mau kita harus menyadari bahwasanya perlawanan tersebut bukanlah masalah yang paling substansial untuk perempuan zaman sekarang. Sebab musuh utama perempuan milenial sekarang adalah permasalahan sosial yang menjangkiti diri mereka sendiri.
Alasan saya mengatakan hal ini sebab perempuan sekarang telah merdeka dan telah memenangkan hak-haknya, hanya saja mereka cenderung gagal dalam melakukan gerakan-gerakan untuk sampai pada hak-hak tersebut. Sebagai perempuan mereka bisa bersuara untuk menuntut hak-hak mereka, namun tanpa aksi yang pasti, bukankah suara lantang itu menjadi sumbang pada akhirnya?
Terlebih tidak semua perempuan memiliki jiwa pemimpin dan cenderung sulit untuk dipilih menjadi pemimpin. Alasannya lagi-lagi sederhana, sebab lelaki juga memiliki ego yang tinggi dan tidak mau dipimpin oleh perempuan, selain itu perempuan memiliki ciri khas kepemimpinan yang terlalu ikut campur pada urusan bawahannya sekaligus menuntut kesempurnaan. Akhirnya, anggota-anggota yang tidak sefrekuensi dengan karakteristik kepemimpinan tersebut hanya bisa gigit jari dan ongkang kaki.
Adanya globalisasi membuat perempuan tidak lagi melawan permasalahan 'emansipasi wanita' yang bersifat regional melainkan permasalahan sosial yang kini bersifat global. Adanya westernisasi pada akhirnya membuat kaum wanita menjadi hedonis dan terlalu berekspektasi tinggi pada kehidupan duniawi. Sehingga tanpa mereka sadari sebenarnya mereka sendirilah yang melepas makna dari emansipasi tersebut.Â
Naasnya adanya globalisasi ini juga menjadikan perempuan tidak hanya melakukan perlawanan pada hasrat mereka terhadap hal-hal eksternal, melainkan mereka juga melakukan perlawanan terhadap faktor internal, yaitu diri mereka sendiri.
Berbeda dengan Kartini dan Hajjah Rasuna Said sang pelopor emansipasi sekaligus sebagai pengembang sayap agar perempuan bisa terbang lebih tinggi, perempuan zaman sekarang mengekang diri mereka sendiri dan menjadi budak atas pikirannya sendiri.Â
Mereka terlalu fokus pada permasalahan kecantikan dan iri hati dengan orang lain, mereka juga terlalu fokus pada harta dan ingin diperlakukan sebagai ratu. Padahal untuk menjadi seorang pemimpin maka siapapun harus siap menjadi budak, siap sakit hati, dan tentu saja siap dipecundangi.
Namun melihat perempuan zaman sekarang yang menggunakan kata 'emansipasi' untuk memperlihatkan lekukan tubuh mereka dan untuk menari bebas di layar handphone kita. Maka tentu ada pembaharuan mengenai emansipasi tersebut. Perlu adanya pengembalian jati diri agar perempuan kembali kepada fitrahnya.
Kartini Millenial dan PR Mereka Untuk Merdeka Â
Sebagai perempuan yang memiliki emosional yang tinggi maka perempuan sudah tentu menjadi salah satu makhluk yang mudah terkontaminasi oleh permasalahan sosial yang terjadi. Itulah mengapa banyak perempuan millenial yang terjangkit penyakit hati serta terlalu fokus pada permasalahan tersebut.
Dalam hal ini tentu saja yang menjadi faktor utama hal tersebut bisa terjadi, diantaranya adalah faktor intelektualitas, faktor emosional, dan faktor spiritualitas.
Faktor Intelektualitas
Perempuan cenderung banyak bicara dengan koloninya, akan tetapi ketika mereka menyampaikan gagasan terkadang gagasan tersebut seperti angin bolong yang menampar dedaunan kering.
Ternyata hal itu difaktori oleh permasalahan intelek mereka yang masih kurang, dan dalam hal ini tentu saja hal tersebut terjadi karena perempuan jarang membaca maupun berdiskusi mengenai hal-hal substansial dalam kehidupan mereka.
Sebenarnya minat baca perempuan bisa dikatakan lebih baik daripada laki-laki, dan kadar intelektualitasnya juga cenderung baik. Hal itu bisa dibuktikan dengan banyaknya prestasi akademik yang perempuan dapatkan serta banyaknya kaum hawa yang membaca Wattpad.
Namun kembali lagi, perempuan adalah makhluk akademis dan cenderung menganggap nilai rapor dan IPK sebagai penentu kesuksesan, dan mengenai Wattpad, kita tentu tahu bahwasanya tulisan disana cenderung jatuh pada permasalahan emosional dan bukan intelektual. Sehingga bacaan Wattpad bukannya menjadi bacaan peningkat rasionalitas dan ketajaman berpikir, namun Wattpad menjadi sarana halu perempuan dan tempat mereka melepaskan hormon mereka. Yaitu seks dengan membaca.
Faktor Emosional
Permasalahan perempuan adalah ketidakmampuan mereka untuk melakukan reaksi yang tepat atas permasalahan yang sedang terjadi. Perempuan cenderung rapuh dan membawa permasalahan tersebut kedalam hati mereka sehingga masalah-masalah eksternal yang ada menjelma masalah internal.
Hasilnya tentu saja mereka menjadi insecure atas apa yang mereka terima dan malah menjadi beban yang berkelanjutan. Padahal semestinya kemampuan mereka untuk menerima hal-hal eksternal tersebut bisa diolah oleh perasaan mereka. Ini mungkin terjadi karena ketidakseimbangan antara EQ dengan IQ. Dan untuk membuatnya menjadi lebih baik, maka perlu mereka banyak melakukan kegiatan serta mendengarkan mereka yang berpengalaman dalam hal-hal terkait.
Faktor Spiritualitas
Dalam faktor Spiritualitas kaum perempuan saya rasa baik-baik saja sebab kepatuhan membuat mereka dekat dengan agama, hanya saja terkadang nilai spiritual ini telah terdistorsi oleh hal-hal luar yang menjadikan nilai ini menukik. Ketidakmampuan perempuan mengatasi permasalahan yang berkaitan dengan rasa seperti jatuh cinta dan sebagainya juga adalah masalah.Â
Sebab karena itulah gerbang awal mereka menuju dunia penuh ketidakpastian yang bernama pacaran, dan selanjutnya seperti yang kita duga, mereka gagal dan terbuai akan permasalahan internal mereka. Yang paling parah dalam kasus ini adalah mereka tidak lagi melihat diri mereka sebagai perempuan, melainkan seorang wanita yang gagal dalam kehidupan cinta.Â
Mereka menenteng mental mereka yang hancur dan diwaktu bersamaan juga menyeret harapan agar lubang dalam hati mereka terisi kembali, sayangnya itu sulit, sebab mereka pada akhirnya akan berpangku diri.
Perempuan bisa terus menyuarakkan hak emansipasi mereka, namun bagaimanapun negara juga telah berjuang untuk memenuhi emansipasi tersebut. Belakangan ini RUU PKS telah disahkan, dan akan ada program vaksin gratis dari pemerintah untuk kaum perempuan dalam menangani kanker serviks.
Dari hal ini sebenarnya perempuan telah diratukan sebagaimana keinginan mereka, dan tentu emanispasi tersebut telah ada pada altar yang mereka inginkan. Hanya saja permasalahan mereka bukanlah lagi emansipasi belaka, melainkan permasalahan mereka dengan diri mereka sendiri, yang dalam hal ini hanya mereka sendiri yang mampu mengatasinya.
Baca Juga :Â Polemik Baju Lebaran dan Runtuhnya Makna Ramadhan
Baca Juga :Â Ramadahan Sebagai Cermin Sifat Manusia
Baca Juga :Â Anarkisme Dalam Ramadhan, Ade Armando Sebagai Samsaknya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H